Suasana kelas tampak hening, sepi. Giana Dwi Grassera, cewek— yang kata orang—cantik yang lebih sering di panggil Jia itu kini sedang sibuk berkutat dengan buku pelajarannya. Dia tampaknya berusaha memecahkan soal yang tertulis di papan, membolak-balik buku, mencoret-coret buku catatannya meski terkadang hanya gigit jari mencenung melihat hasil yang ia kerjakan. Hmm, nggak yakin!
Kenapa sih guru selalu memberikan contoh soal gampang tapi soal latihannya kayak racun? Kesah Jia dalam hati.
Pak Seno memang guru fisika yang paling suka menyiksa muridnya dengan ancaman 'kerjakan soal halaman bla bla bla, limabelas menit lagi nama kalian akan bapak panggil'. Padahal soal yang diberi adalah soal-soal maut dengan tingkat kesulitan expert dan 100% berbeda dengan contoh soal gampang. Jadilah, anak-anak tiba-tiba hening, sok rajin, sok sibuk, sok bisa padahal nyatanya takut kebagian sial hari ini.
Memang sih, Pak Seno tidak memberi sangsi apa pun, berdiri di depan kelas atau menyikat lantai kakus kalau mereka gagal. Hanya saja, rasa malu dan harga dirilah yang mereka perjuangkan. Kalian pasti tahu gimana malunya berdiri kaku di depan kelas dengan spidol yang tak bisa tuliskan. Itu mimpi buruk bagi Jia, juga teman-teman sekelasnya.
"Giana Dwi Grassera." Panggil Pak Seno akhirnya. Guru itu menunduk menatap absen sembari melirik murid-muridnya lewat bagian atas kacamatanya.
Jantung Jia hampir melompat keluar. Lambat-lambat dia mengangkat tangannya. "Y-ya Pak! Saya Giana..." gagapnya menggigit bibir. Setelah berminggu-minggu lolos akhirnya dia dapat giliran juga. Jia bisa merasakan teman sekelasnya memandangnya iba. Jia hanya mampu menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba mengering. Huh, dia gugup.
"Yang di sebelah Giana, siapa nama kamu? Kamu maju, kerjakan soal nomor satu!" tunjuk Pak Seno pada murid cowok yang duduk di sebelah Jia.
"YA? Sa.. Saya pak? Saya Mino Wijoyo." Cowok itu gemetar, dia tidak sadar sedang bertingkah konyol berpura-pura mengecek bukunya. Sengaja memperlambat waktu berharap bel istirahat menyelamatkannya.
"Cepat Mino, sebentar lagi waktu habis!" perintah Pak Seno, nadanya tidak tinggi tapi cukup membuat merinding.
Jia memandang iba pada Mino yang duduk di sebelahnya. Oke, dia sudah selamat dari neraka Pak Seno tapi sekarang dia kasihan pada sahabatnya. Tapi setidaknya hari ini dia bisa selamat, dan Mino tidak akan pernah dipanggil untuk mengerjakan soal lagi di kelas berikutnya. Pak Seno pernah berkata bahwa semua yang ada di daftar absen setidaknya maju sekali seumur kelas fisika miliknya. Bagaimana mereka tidak stress saat masuk kelas ini? Huh...
Mino mengerling pada Jia. Jia tahu apa maksudnya. Mino meminta jawabannya dan itu mustahil. Dia menggeleng-geleng seraya mengucapkan 'nggak punya' tanpa bunyi.
Mino tak punya banyak pilihan. Cowok bermata belo itu menarik paksa buku catatan Jia. Dengan gerakan nyaris 'slowmotion' dia beranjak maju ke depan kelas, lalu mengerjakan soal maut itu ragu-ragu, sesekali melihat ke arah buku bersampul pink di tangannya.
Jia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak sanggup melihat apa yang terjadi di depan kelas. No, no... kamu nggak akan menuliskan jawabanku di sana kan, Mino?
Kelas fisika berakhir dramatis dengan murid yang 50% tak mampu mengerjakan apa pun di atas whiteboard—yang mereka lakukan hanya tulis dan hapus. Harap-harap cemas Pak Seno mau melirik jam tangannya untuk menyadari bahwa dua kali empat puluh lima menit telah berlalu. Lima menit berikutnya keinginan mereka terkabul, diiringi seluruh helaan napas lega penghuni kelas. Hampir seluruh dari mereka berhamburan keluar kelas setelah Pak Seno keluar. Tapi, tidak bagi Mino yang duduk lunglai di bangkunya. Menurut Jia sih mirip ayam kelaperan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My High School Bride
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN] [Cerita di Posting Ulang] Azlan Adipta dipaksa menikah oleh orang tuanya karena tak memiliki keinginan untuk mencari pendamping hidup. Tapi dia tidak menyangka orang tuanya menikahkannya dengan anak SMA. Namanya Giana (Jia) sifat...