iv. Dilamar Jalan Tol

95.5K 3.8K 144
                                    

Entah kenapa Jia berujung di sini, terjebak berdua dengan 'Om' yang menurutnya sangat menyebalkan setelah menghadapi makan malam yang terasa tak kunjung habis. Lelaki itu melipat kedua tangannya di dada, bersandar pada tiang teras belakang rumahnya dan tatapan itu, seakan mengintimidasi Jia, menscaning dirinya. Mata itu menatap lurus ke arahnya, tanpa ekspresi sedikit pun, membuat Jia terlihat benar-benar melakukan suatu kesalahan yang besar.

Setelah makan malam, keluarga mereka menyuruh mereka untuk berduaan saja dengan alasan perkenalan. Terpaksa Jia menuruti perkataan orang tuanya.

"Jadi, kamu yang jemput kemarin?" tanya Azlan akhirnya setelah 15 menit mereka adu pandang saling menilai tanpa bersuara.

"Iya, terus kenapa?" balas Jia ketus, dagunya terangkat percaya diri ia tidak melakukan kesalahan apa pun.

"Jadi, kenapa kamu nggak jemput? Malah menabrak orang dan menumpahkan es krim sialan itu pakaiannya tanpa minta maaf dan ngomel nggak karuan?" singgung Azlan sarkatik, menaikkan alisnya penuh rasa penasaran namun terkesan menyudutkan.

"Hah? Aku jemput kok. Kamu aja yang nggak lihat! Dan kamu masih hutang satu gelato matcha padaku dasar Om-om tua!!" Jia membela dirinya, tak mau kalah.

"Jelas-jelas aku memperhatikan semua barisan penjemput saat itu, dan aku sama sekali nggak melihat namaku." jawabnya lagi dengan tampang selempeng jalan tol. Duh, Jia kesal kenapa lelaki itu tidak banyak mengekspresikan kekesalan seperti dirinya. Apa dia meremehkan?

"Itu... err.. eeehm..." Jia menggaruk lengannya yang tidak gatal.

"Cepat bilang alasannya! Gara-gara kamu nggak menjemputku, aku jadi bertemu bocah labil yang nggak bertanggung jawab." tutur Azlan.

"Kamu tuh yang nggak bertanggung jawab? Menumpahkan es krim aku terus nggak diganti." lawan Jia tak sabaran.

"Harusnya kamu minta maaf saat kamu nabrak orang, bukannya kamu di ajarkan begitu sama orang tuamu?" Azlan mulai menunjukkan reaksinya, bocah di hadapannya ini sungguh pintar memancing uratnya keluar. Meski begitu dia masih berusaha menjaga sikapnya untuk tidak meladeni Jia dengan berlebihan. Dia hanya tidak habis pikir. Menyesal jika harus membawa nama Banu dan istrinya untuk menanggapi perdebatan ini.

"Hei! Jangan ngomong sembarangan dasar Om-om." balas Jia kesal mendengar orang tuanya diseret, suaranya yang cukup besar mungkin terdengar sampai ke dalam rumah.

"Hei justru kamu yang bocah! berhenti memanggilku Om! Aku belum setua itu!" Azlan agak menaikkan suaranya yang sedari tadi tenang, mendelik mata sabitnya pada Jia. Dari segala kelakuan Jia yang paling dia tak tahan adalah ketika Jia memanggilnya Om. Yang benar saja...

"Kamu juga! Berhenti manggil aku bocah aku sudah 17 tahun, dan tahun ini aku berusia 18." Jia lagi, tak mau kalah. Dia membuang pandangannya ke arah lain saat Azlan mendekatinya. Entah kenapa tiba-tiba dia jadi tak tahu harus berbuat apa.

"Astaga... aku menikah dengan anak berumur 17 tahun? Papa sudah gila kurasa." Azlan memperhatikan Jia dari atas sampai bawah.

"Lebih buruk jika kamu menikah dengan Om-Om berumur 30 tahun!!" Jia memberanikan diri menatap Azlan yang berada di hadapannya. Matanya mendelik berani pada lelaki itu dan dia menemukan mata Azlan yang dalam dan tajam balik menatapnya. Sekujur tubuhnya terasa menggigil.

Jia sendiri tidak habis pikir, bagaimana orang tuanya bisa menjodohkan mereka? Dua orang dengan age gap yang sangat jauh. Bayangkan saja! Hei 12 tahun! Bukan maiiiiin!! Jia manyun dengan pikirannya sendiri.

Azlan menatap Jia—yang sekarang memanyunkan bibirnya, sama seperti Jia yang tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan calon istri, pendamping hidup dengan sifat yang benar-benar kekanak-kanakan dan manja. Tipe yang benar-benar tidak ia sukai. No! Dia tidak bisa membayangkan bagaimana menjalani kehidupan dan serumah dengan Jia nanti. Apakah dia akan menciptakan neraka baru? Padahal dia sudah bebas dari neraka yang sebelumnya.

My High School BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang