"Kak Galvin! Kak Galvin! Kak Galviiin!!!"
"Apa? Ada apa?!" Galvin ikut berteriak kebingungan melihat Jia yang panik berlarian ke arahnya. Wajahnya sangat serius.
"Coba Kakak liat, Papa nyimpen obat maagnya di mobil nggak?" titah Jia tak sabaran. Dia menyembulkan kepalanya ke dalam jendela mobil yang terbuka.
"Buat apa?"
"Cepetan!! Cepet cari!"
Mendengar itu, Galvin langsung menggeledah mobil. Mencari obat yang biasa Adam bawa ke mana pun karena penyakitnya. Dia menemukannya di kantung, di belakang bangku kemudi. "Ini!" serunya menyerahkan botol obat berwarna hijau pada Jia dengan tampang yang masih kebingungan. Dipandangnya Jia yang terlihat sangat tergesa-gesa. Siapa sebenarnya yang sakit maag?
Jia mengguncang isinya mengintip isi di dalamnya, "untunglah, masih ada beberapa,"
"Siapa yang sakit?"
"Kak, bilang sama Mama dan Papa, Jia malem ini nggak jadi nginep, Mas Alan sakit. Kasian dia nggak ada yang nemenin." jelas Jia akhirnya.
Galvin kaget namun kemudian mengerti. Setelah mengatakan pada Jia untuk merawat Azlan dengan baik, ia langsung melajukan mobilnya untuk pulang. Sedangkan Jia cepat-cepat kembali ke dalam rumah. Mengambil segelas air putih suam-suam kuku lalu membawanya ke kamar Azlan.
Azlan sudah terbaring di bawah selimutnya. Walau tubuhnya masih gelisah, matanya terpejam, tangannya terus memegangi perut. Berharap itu bisa mengalihkan rasa sakitnya.
"Mas, aku bawain obat maag punya Papa," Jia mendekati ranjang Azlan, lalu duduk di sisinya, membantu Azlan agar bisa duduk, "aku nggak tahu ini cocok atau nggak buat Mas Alan, Papa biasanya minum ini sih," katanya sembari mengulurkan sebutir tablet berwarna hijau dengan aroma mint.
Azlan mengambil obat itu lalu mengulumnya. Beberapa detik kemudian ia kembali membaringkan tubuhnya.
"Habisin dulu obatnya baru baringan!" tukas Jia saat Azlan kembali merapihkan selimutnya, mencari posisi yang enak.
Azlan tersenyum lemas, dia membuka mulutnya untuk menunjukkan obatnya sudah hilang.
"Cepet banget? Mas Alan telen ya obatnya? Itu kan nggak boleh di telen!" sergahnya karena yang dia tahu obat itu lumayan besar. Sebesar koin sepuluh dua ratus rupiah. Bagaimana bisa Azlan cepat melarutkan obat itu dengan mulutnya?
Azlan mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Jia. Tidak kencang, tapi dia menggoyangkan capitannya itu hingga Jia mengeluh protes dengan wajah kesal.
"Aku yang sakit, tapi kenapa kamu yang pucat begitu?" tanya Azlan melepaskan cubitannya.
"Sori..." Jia menunduk, menatap sisi selimut yang ia duduki.
"Buat apa?"
"Karena aku..." Jia mengepalkan tangannya, "Mas Alan sakit begini..."
"Bukan karena kamu, tapi mungkin karena aku salah ngomong, harusnya aku bilang 'nggak bisa makan pedas' bukan 'nggak suka makan pedas'," terang Azlan kadang sedikit mendesah nyeri di antara kata-katanya.
"Sama aja kan, karena aku..." suara Jia melirih karena hampir menangis.
Dia benar-benar merasa bersalah. Ini semua karenanya. Mana tahu kalau Azlan punya sakit maag dan tidak bisa makan pedas sedikit saja. Dan tadi apa? Jia memberinya setumpuk makanan pedas dan Azlan menghabiskannya! Ahh, tidak bisa di tahan. Mau nangis lagi!
Azlan mengalihkan pandangannya, dia tidak suka air mata itu. Bagaimana cara menghentikannya. "Aaah! Panas!" Keluh Azlan dengan tampang garangnya, menendang-nendang selimut tebal hingga melorot ke kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My High School Bride
أدب المراهقين[SUDAH DITERBITKAN] [Cerita di Posting Ulang] Azlan Adipta dipaksa menikah oleh orang tuanya karena tak memiliki keinginan untuk mencari pendamping hidup. Tapi dia tidak menyangka orang tuanya menikahkannya dengan anak SMA. Namanya Giana (Jia) sifat...