Thinking of You

14.3K 505 5
                                    

Ardhan sedang bersiap untuk berangkat ke Bandung. Ia terbiasa untuk menyetir sendiri. Karena baginya, terlalu berlebihan jika harus mempunyai supir pribadi.

Lewat dari dua jam ia berada di jalan dan memasuki sebuah komplek perumahan mewah di daerah Dago. 'Rasanya sudah lama banget gw gak pulang ke Bandung.' Ucapnya dalam hati. Mobil sport nya memasuki sebuah rumah dengan gerbang tinggi berwarna perunggu. Memarkirkan mobilnya di car port dan segera memasuki pintu rumah nan mewah.

Ardhan mengedarkan pandangannya di sekeliling rumah. Namun, yang pertama kali ditemuinya adalah Bi imah. Bi imah adalah salah satu asisten rumah tangga yang sudah hampir lima belas tahun ini tetap setia bersama keluarga Adhi Wirya Kusuma.

"Eh, den Ardhan. Akhirnya pulang juga. Sudah lama selalu rasanya tidak bertemu dengan aden." Sambut bi Imah padanya dengan logat khas medok jawanya.

"Ia bi, sudah lama gak ketemu Bibi. Kangen masakan Bibi juga." Ucapnya sambil menyalami bi Imah. Ardhan dan Arkan memang diajarkan selalu sopan dengan orang tua. Tidak peduli ia orang tua, teman papa atau pun mama, bahkan asisten rumah tangga dan penjaga rumah sekalipun.

"Mama dimana bi?" Tanya Ardhan pada bi Imah.

"Oh, itu den. Ibu lagi di taman belakang sama bapak."

Ardhan segera menuju taman belakang, dan meninggalkan bi Imah. Tanpa sepengetahuan orang tua nya, ia merangkul kedua orang yang ia sayangi dari belakang.

"Lho kamu dateng kok gak ngabarin Dhan?" Ucap mama sambil menarik Ardhan dalam pelukannya.

"Gimana aku mau ngubungin? Yang ada malah ganggu mama pacaran sama papa." Ledeknya.

"Ya abis gak Ada kerjaan. Pengen nimang cucu tapi cucunya gak ada." Skak mat! Ardhan terkejut, tak menyangka mama bicara begitu padanya.

"Gimana perusahaanmu Dhan? Lancar?" Kali ini papa yang membuka suara.

"Alhamdulillah lancar pa. Ada sedikit kendala, tapi sudah aku atasi." Jawabnya bangga.

"Nah, sekarang papa mau tanya. Umurmu sudah 27 toh? kapan mau nikah?" Double skak mat!! Ardhan hanya bisa diam saat diberondong pertanyaan dengan topik sensitif seperti saat ini.

"27 itu sudah lebih dari matang lho Dhan. Kalau bukan secepatnya, yang ada malah kamu jadi perjaka tua." Lanjut papa menceramahi. "Lihat adikmu, dia sudah berniat untuk melamar kekasihnya. Sedangkan kamu? Mengenalkan pacarmu saja tidak pernah. Apalagi mau menikah."

Ardhan hanya menundukkan kepala. Berpikir bagaimana membalas perkataan papa. Ini memang topik yang paling sensitif baginya. Bahkan lebih sensitif dari putri malu.

"Tenang pa, ma, suatu saat aku bawa dia kesini kok." Ucapnya sambil berlalu menuju kamar.

"Dasar anak gak sopan. Orang tua nya ngomong makan pergi. Susah memang kalo anak tinggal jauh dari orang tua. Hidup seenak hatinya." Gerutu papa saat melihat Ardhan berlalu.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Setelah mandi, Ardhan mengambil benda persegi tipis dan berwarna hitam dari atas nakasnya. Ia segera men-cek apakah ada yang menghubunginya ataupun email penting yang masuk untuknya.

Sekitar sepuluh menit ia bergelut dengan ponsel pintarnya, sekelebat banyangan Zee muncul diingatannya. Sejak hari itu, Ardhan belum ada menghubungi Zee hingga saat ini. Rasa rindu pun menyeruak. Bagaimana bisa dia sehari sama tidak mendengar suara gadis itu? Bahkan ia belum tau kapan akan kembali ke ibu kota. Karena memang saat ini Ardhan ingin meluangkan waktunya untuk mama dan papa.

Will Be Happy Ending (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang