Sudah lima hari aku, Ardhan, dan keluarga kami menghabiskan waktu di Bali. Bakhan Mas Atta dan istrinya pun menyempatkan diri untuk menghadiri acara lamaranku yang berlangsung di Bali kemarin. Kini kami semua sudah mulai beraktifitas seperti biasa. Aku kembali ke cafe, Arla, Arkan, dan Ardhan pun kembali ke kantor.
Aku sedang berdiam diri di ruangan. Tidak mengerjakan apa-apa. Semua pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini. Tapi waktu masih menunjukkan pukul satu siang. Untuk pulang ke apartemen pun aku sangat malas. Jadi kuputuskan untuk berdiam sejenak diruanganku ini. Pikiranku melayang pada saat hari lamaran kemarin. Aku yang sangat bahagia di lamar oleh lelaki pujaanku. Orang tua kami pun sangat setuju. Karena seperti keinginan mereka saat kami masih menjadi tetangga dulu, menjadi keluarga.
Aku pun terngiang kata-kata Ardhan yang akan mempercepat pernikahan kami. Yaitu seminggu dari sekarang. Bahkan kami belum menyiapkan apapun. Kadang aku kesal dengan tindakannya yang tanpa perundingan. Tapi pada kasus ini berbeda. Ardhan sudah berunding dengan calon adik iparku yang notabene adalah sahabatku sendiri agar mempercepat pernikahan kami. Dengan begitu, Arkan pun akan menyusul kami melamar dan menikahi gadis pujaannya sedari dulu, Arla. Sahabatku.
Aku pikir itu tidak masalah kalau memang itu alasan dibalik percepatan acara pernikahanku. Bahkan akan menggembirakan jika aku dan Arla nanti akan sama-sama mempunyai anak yang lucu. Dan kami akan memperbesar keluarga ini. Aku tersenyum simpul memikirkan apa yang telah aku bayangkan sebentar ini. Tanpa sadar telfon genggamku berdering dengan keras.
"Ya, Hun. Kenapa?" sahutku.
"Aku di bawah. Kita makan diluar ya. Sekalian ada yang mau aku omongin." jawabnya diseberang sana.
"Ok. Sebentar, aku turun." Ardhan pun memtikan sambungan.
Aku segera merapikan riasan wajahku agar terlihat senatural mungkin. Aku segera menarik tas ku yang terleltak diatas meja dan segera turun.
"Kamu dari tadi?" ucpku sesaat setelah menutup pintu mobil.
"Nggak kok. Aku barusan sampai. Jadi kita mau makan dimana?"
"Terserah kamu aja. Kan kamu yang ngajak." Ardhan hanya tersenyum kearahku dan segera melajukan mobil sport kesayangannya meninggalkan area cafe.
Kami sangat menikmati hidangan siang yang sudah tersedia. Ardhan terlihat sangat lahap, membuatku gemas melihatnya. Suapan demi suapan terus masuk ke mulut kami masing. Sesekali senda gurau pun tak terlewatkan. Rasanya sudah lama sekali kami tidak seperti ini.
"Kamu masih ada kerjaan habis ini?"
"Gak ada, aku udah selesai dari tadi. Tapi males pulang, soalnya gak ada siapa-siapa di apartemen." ucapku.
"Kebetulan."
"Kebetulan?"
"Iya, kebetulan. Aku juga udah selesai ngantor. Jadi hari ini kita ke butik Brenda buat fitting."
"Kok kamu gak ngabarin aku dulu? Aku belum punya gambaran apa-apa. Kamu sih suka gitu, apa-apa gak bilang dulu. Aku gak mau ngebebanin semuanya ke kamu. Aku gak mau duduk santai sementara kamu repot sama persiapan pernikahan kita.terkadang aku suka kesal dengan sikapnya yang terlalu memanjakanku seperti ini.
"I'm sorry Hun. Aku gak bermaksud buat nentuin semuanya sendiri. Aku cuma gak mau kamu terlalu lelah untuk mengurus semua persiapan pernikahan kita."
"Iya, aku ngerti. Tapi gak begini juga. Apa-apa kamu juga harus ngabarin aku dong. Gak bisa kamu putuskan semuanya sendiri. Come on hunny, be wise. Aku juga gak mau kamu terlalu lelah mengurus semuanya. Yang mau nikah kita. Yang menyiapkan semua persiapan ini kita. Bukan aku atau cuma kamu." Aku pun diam sejenak. Ardhan pun tak berkata apa-apa. "Aku minta maaf, mungki akau terlalu sensitif sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Will Be Happy Ending (Revisi)
General FictionZeevanya Diandra seorang gadis muda cantik yang masih terbayangi oleh kepergian sahabat sekaligus cinta pertamanya Leon Deannova. Hingga suatu ketika secara tidak sengaja ia bertemu seorang lelaki tampan dan mapan. Dia adalah Ardhana Wirya Kusuma se...