Bab 3

98.1K 6.7K 229
                                    

"Cuma kamu yang bisa menolong bapak dan ibumu, Tari."

"Tapi permintaannya nggak masuk akal, Buk! Apa dia Datuk Maringgih? Kenapa harus meminta Tari menikahinya sebagai syarat melepaskan kalian?"

"Ibu yakin dia menyukai kamu. Masa kamu enggak bisa lihat, bagaimana dia sampai enggak berkedip lihatin kamu pas pertama kali?" Sundari menggengam tangan putrinya erat. "Nak Ammar keliahatan baik. Apalagi yang kamu pikirkan? Dia seorang pilot, gajinya gede, terus pasti jarang di rumah kamu akan punya banyak waktu bebas. Kedua orang tuanya juga sudah meninggal, tidak akan ada mertua bawel yang omelin kamu. Rumahnya besar, mobilnya bagus. Dapetin dia sebagai suami tuh udah kayak menang lotre, kita bakal untung banyak."

"Buk aku enggak bisa, aku punya Bibie. Kami sudah pacaran delapan tahun. Bagaimana perasaannya kalau aku tiba-tiba menikah sama pria lain?" Satu bulir air mata jatuh ke pipi putih Utari. Tatapannya sendu, napasnya berat, seolah jantungnya yang tengah memompa sedang kepenuhan beban.

"Sekarang kamu pilih saja. Lebih berat ke pacarmu, atau ke orang tua yang melahirkan dan membesarkanmu. Bapakmu akhir-akhir ini sesak napas, batuknya semakin menjadi saat kedinginan. Biar saja dia dijebloskan ke penjara. Biar tambah parah kondisinya. Mungkin kamu baru akan menyesal kalau sudah dengar kabar bapakmu meninggal di bui," tutur Sundari dengan getir. Ia mengigit bibir bawah sambil berdoa dalam hati semoga ucapannya tak diamini para malaikat.

Sunardi yang sedari tadi diam langsung bangkit dan menepuk bahu putrinya. "Jangan dengarkan ibumu, Tari. Pilihlah masa depanmu, jangan khawatirkan Bapak. Semua salah Bapak, biar Bapak yang akan bertanggung jawab. Kamu sebaiknya kembali kerja, tadi Cici Vani telepon nyariin 'kan?"

"Bapaaaaak." Utari memeluk ayahnya, tangisnya kian pilu melihat keikhlasan di wajah renta Sunardi. "Tari akan menikahi pemilik rumah ini."

Mata Sundari berbinar, bibirnya melebar mengembangkan senyum kepuasan.

"Jangan, Nak, jangan. Satu-satunya yang bisa Bapak jaga darimu saat ini hanyalah hatimu. Jangan korbankan itu cuma demi pria tua ini, yang selalu merepotkanmu."

Utari menggeleng cepat. "Aku enggak apa-apa, Pak." Ia mengusap air mata dan memaksakan bibirnya tersenyum. "Pak Ammar bukan akik-akik peyot seperti Datuk Maringgih, dia muda, tampan, dan kaya. Aku pasti bahagia bersamanya. Tadi itu, aku hanya bingung bagaimana cara memutuskan Bibie karena kami sudah cukup lama bersama."

"Pria yang kamu cintai bukan Ammar, tapi Habibie. Kamu yakin bisa bahagia menikah tanpa cinta?" Sunardi yakin Utari tadi hanya melantur untuk membuat perasaannya lebih tenang.

"Sejak Bibie mengajar di madrasah, dia jadi sibuk dan jarang menghubungiku, Pak. Kami sudah tidak seperti dulu. Aku merasa cintaku ke dia lambat laun memudar. Bapak jangan khawatirkan apa pun, aku yakin keputusan ini akan menjadi jalan terbaik untuk kita semua." Tentu saja Utari berdusta. Hubungannya dengan Habibie kian erat dan tak terpisahkan. Habibie bahkan berjanji menikahi Utari tahun depan.

"Benar kata Utari, Pak," sahut Sundari sambil mengerjapkan mata, memberi kode.

"Bapak khawatir kamu akan menyesal, Tari."

"Tidak akan, Pak. Yuk kita temui Nak Ammar untuk membicarakan keputusan Tari." Sundari bersemangat kembali ke ruang tamu.

Berbeda dari Sundari yang berbahagia menyambut keputusan Utari, Sunardi justru merasa bersalah. Hati nurani Sunardi terluka karena selalu menjadi kelemahan Utari. Putri satu-satunya itu tak sampai lima menit menyetujui pernikahan dengan pria asing untuk menebusnya. Ayah macam apa dirinya? Sunardi rasa, kutukan saja tak akan cukup untuk mengganjar kesalahannya. Ia ingin menghentikan Utari, tapi di sisi lain Sunardi tak berdaya. Semoga saja Ammar benar-benar memberikan kebahagiaan untuk Utari.

LOVE PILOTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang