Bab 8

92.9K 6.2K 300
                                    

Masa kini....

"Lepas," rengek Utari sambil berusaha melepaskan diri. "Lepasin aku, Ammar. Kita sudah berjanji nggak akan ada anak dalam pernikahan ini."

"Aku berubah pikiran. Aku ingin bayi." Ammar menyeringai sambil terus memberi kehidupan dalam kewanitaan istrinya.

Utari semakin memberontak. Ia gunakan tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya untuk melepaskan diri dari Ammar.

Ammar sudah gila, sejak kapan dia gila? Aku tidak mau mengandung anaknya. Tidak, tidak, tidaaaaaaak!

Hentakan kuat bertubi-tubi di tengah kepanikan Utari seolah belum cukup, Ammar tanpa pemberitahuan melumat bibir istrinya. Mata Tari terbelalak, jantungnya nyaris mencelus. Ia membuang kepala ke arah lain, berpaling sebisa mungkin agar Ammar tak bisa merenggut paksa ciumannya. Namun Ammar lihai meraup bibir Tari, mengimbangi kecepatan wanita itu mengelak.

"Hentikan Ammar! Kenapa kamu mengingkari janjimu?" tagih Tari dengan mata nanar menatap lurus ke netra Ammar.

"Persetan dengan janjiku, bukankah kamu akan segera menceraikanku? Jadi apa pentingnya memegang janji itu lagi?"

Cengkraman tangan Ammar pada kedua tangan Utari kian kuat. Pinggang Ammar menghujam tanpa ampun, membuat Tari turut terserang gelombang besar yang meledakkan kenikmatan tak terkatakan dalam dirinya.

NERAKA.

Neraka, seneraka-nerakanya, itulah kata yang bisa Tari gunakan untuk menggambarkan beberapa menit terakhir. Kengerian bercampur ketidakberdayaan. Tubuh Ammar yang perlahan lemas berguling ke samping. Cairan hangat terasa meleleh keluar, seiring air mata Utari menetes dari ekor matanya. Ammar telah menyemburkan benih-benihnya di dalam, ia bahkan berani merenggut paksa ciuman Tari. Demi apapun Utari tak akan memaafkan Ammar.

Utari bangkit, tapi Ammar menahan lengannya. "Mau ke mana?"

Utari tak menjawab. Ia menghempaskan tangan Ammar dengan kasar. Berlari kecil ke kamar mandi. Agak kesal, tapi Ammar tahu Utari jauh lebih kesal. Berkat kabar buruk yang dihantar Braga, hari ini Ammar akhirnya mencicipi bibir istrinya, yang lebih dari dua tahun ia dambakan.

Lebih dari sepuluh menit Utari tak keluar kamar mandi. Ammar sudah mengenakan kembali pakaiannya. "Berapa lama lagi kamu mau semedi di sana? Cepat ambilin aku minuman!"

Tak ada tanggapan. Hanya suara air gemericik dari pancuran yang bisa daun telinga Ammar tangkap. Apakah Utari benar-benar merajuk?

Ammar akhirnya pergi ke dapur untuk mengambil air. Tenggorokannya sudah amat kering, tak bisa menunggu lebih lama. Setelah meneguk setengah botol air dingin yang ia ambil dari lemari es, mata Ammar menangkap ponsel Tari yang tergeletak di meja dapur. Pesan yang menyembul di gawai tersebut menarik perhatian Ammar.

Melly:
Pokoknya lo jgn khawatirin apapun, gue udah urusin paspor lo.

Ammar tanpa berpikir langsung membuka pesan-pesan Utari dengan Melly. Beruntung ponsel Utari tidak dikunci. Ammar menggulir hingga ke percakapan teratas.

Melly:
Tari ini no gue,, save y

Utari:
Aku seneng bgt bisa ketemu kamu mel

Melly:
Sama sayang, gue g nyangka kita tinggal di apartemen yg sama. Lo ke mana aja, kenapa tiba-tiba ilang? 2th lo g dateng ke acara reuni, apa yg terjadi sama lo?

Utari:
Sejak nikah, aku g diizinin keluar-keluar sama suamiku


Melly:
Nah mumpung lo ngomongin nikah nih. Gue pikir lo bakal nikah sama Bibie, syok banget gue pas bibie telepon gue buat nanyain lo. Gila, lo nikah tanpa undang kita sohib2 lo, bahkan lo g putusin si Bibie dulu. Tega lo tar

LOVE PILOTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang