Bab 6

86.6K 5.9K 208
                                    

"Kamu tuli Utari?" teguran Ammar membuat kesadaran Utari seolah ditarik paksa dari lamunannya.

Ia memang sempat terbengong karena tidak percaya Ammar memintanya melucuti pakaian. Paru-paru Utari sakit. Sekujur tubuhnya seolah mati rasa. Irama napasnya berganti dari tarik-buang-tarik-buang yang teratur menjadi embusan tidak tertata. Tak pernah diperlakukan kurang ajar sebelumnya, wajar jika Tari sangat marah. Perbuatan Utari pada Ammar di masa lalu memang tak terpuji, tapi ia bukan manusia hina yang patut direndahkan dan diinjak-injak seperti ini.

"Lepaskan pakaianmu. Sekarang!" Melihat darah Tari sudah naik ke permukaan kulit di wajah dan lehernya, Ammar sedikit menyeringai. Beberapa hari ini Ammar berpikir keras, pembalasan seperti apa yang harus ia berikan ke Tari? Ternyata hal terkejam bagi Tari dilukai harga dirinya. "Kenapa diam saja?"

Jawaban Tari masih menggantung di udara. Ammar merasa permainan semakin menarik. Tangan Utari tampak mengepal kesal, ditambah dadanya yang naik turun diburu emosi menyala-nyala. Ammar tak sabar menanti kata apa yang bisa keluar dari bibir indah Tari, yang selalu mengundang hasrat Ammar untuk melahap.

"Ammar ... kamu tidak berhak melakukan ini padaku."

Tawa sumbang Ammar menggaung. "Mari kita lihat, apa aku berhak atau tidak." Ammar mengeluarkan ponselnya, membuat sebuah panggilan ke kontak bernama Sundari.

Nada tunggu masih berdering, pengeras suara gawai dinyalakan sehingga Tari bisa ikut mendengar.

Utari gugup seketika. "Apa yang akan kamu lakukan?"

"Tunggu dan lihat saja nanti," komentar Ammar dengan tatapan dinginnya.

["Halo, Nak Ammar." Suara Sundari terdengar penuh rasa hormat. "Bagaimana? Apa Utari sudah ditemukan?"]

"Sudah, Bu. Saya menemukan dia sedang bersama seorang pria," bohong Ammar sambil memperhatikan ekspresi Utari yang tengah membelalakkan mata. "Saya rasa itu pacar Tari, Bu."

["Astagaaaaaaaaaa, anak itu. Sudah menikah bisa-bisanya berbuat yang tidak senonoh dengan mantan pacarnya." Terdengar Sundari amat geram.]

"Bohoooooooooong, Buk. Ammar bohong!" teriak Utari.

["Diam kamu, Utari. Bikin malu Ibu saja kamu itu.]

"Tapi Ammar bohong, Buk. Ibuk harus percaya Tari," mohon Tari sungguh-sungguh.

Ammar bangkit, meninggalkan Utari, masuk ke kamarnya dan mengunci pintu agar pembicaraannya dengan Sundari tak diganggu oleh Tari. "Bu saya boleh melanjutkan pembicaraan kita?"

["Oh iya, Nak Ammar. Sebenarnya yang benar siapa? Kenapa Utari bilang Nak Ammar berbohong?"]

"Untuk apa saya berbohong, Bu? Saya mengatakan yang sebenarnya. Jika memang Tari masih mencintai pacarnya, saya rela melepaskan Utari. Hari ini juga akan saya antarkan dia ke kalian."

["JANGAN!" Suara Sundari melengking. "Mohon jangan ceraikan Utari, Nak Ammar. Ibu mohon. Ibu sendiri yang akan menyadarkan Tari. Ibu janji, dia tidak akan pernah bertemu dengan pacarnya lagi. Jangan ceraikan putri Ibu ya, toloooong."]

Separuh bibir Ammar tertarik. Kepuasan terpancar dari binar di matanya. "Ibu yakin bisa meyakinkan Utari untuk tetap menjadi istri saya, apa pun yang terjadi?"

["Jangan khawatir, nanti sore ibu ke sana untuk bicara dengan Tari."]

***

Sekitar pukul satu siang, Ammar pulang setelah menyelesaikan 10 kaki penerbangan selama 3 hari. Utari menghadang jalan suaminya yang baru memasuki pintu apartemen. Cara Tari menatap Ammar, ditambah cuaca Jakarta yang panas, membuat penglihatan Ammar kabur. Jadi, ia menghela napas dalam-dalam, tidak ingin kelihatan lelah atau bingung.

LOVE PILOTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang