Bab 4

92.5K 6.2K 146
                                    

Detak jantung Utari sudah memberi isyarat supaya pemiliknya lari dari apartemen ini usai mendengar peringatan Ammar. Tangannya gemetar, dadanya sesak. Utari tahu pasti, apa akibat yang akan ia tanggung jika meninggalkan Ammar begitu saja. Mendadak ia membenci dirinya dan segala perbuatannya dulu. Utari merasa Ammar pantas marah, Ammar pantas membalas tindakan ia dan kawan-kawannya di masa lalu.

"Ammar," kata Utari pelan. "Kalau aku nggak pantas menerima maafmu, seenggaknya biarin aku berterima kasih. Kamu udah banyak membantu orang tuaku."

"Hei," balas Ammar berusaha mengendalikan amarah yang membuat suaranya bergetar. Ammar mundur dua langkah, membentang jarak yang cukup jelas. Tidak tahu kenapa, hati Ammar nyeri melihat Utari menangis sambil dengan tulus berterima kasih. "Kamu nggak perlu berterima kasih, Tari. Cukup persiapkan aja dirimu!"

Ammar masuk ke kamarnya sambil membanting pintu, sementara Utari masih berdiri di tempatnya sembari berusaha memendam rasa bersalahnya.

***

Ammar sempat berperang batin apakah hari ini ia akan lari pagi atau tidak? Tapi akhirnya ia tidur lagi. Ammar lari pagi setiap hari kecuali di hari liburnya, tapi entah kenapa ia merasa keliru jika bangun terlalu pagi hari ini. Baru pukul 05.15 WIB. Menghadapi hari pertama masuk kerja setelah ambil cuti menikah dadakan, pasti akan menyiksa. Rekan kerja Ammar mungkin akan menginterogasi atau bahkan mengoloknya dengan candaan rese. Maka memutuskan untuk mengganti jadwal lari demi menyimpan energi adalah keputusan paling baik untuk saat ini.

Sementara Ammar melanjutkan tidurnya, Utari telah sibuk membereskan apartemen. Ia membersihkan sudut demi sudut, merapikan barang yang berantakan, serta menata ulang isi lemari es yang menyedihkan. Tari meraih pintu apartemen lalu mendorong, ia keluar sambil membawa kantong berisi sampah di tangan kanannya. Terpukau pada pemandangan pagi dari lantai tujuh apartemen Ammar, Utari sempat tercenung sejenak memandangi langit dan sejuta pesonanya. Ia berpura-pura menunjukkan sikap percaya diri agar tak menarik perhatian, ketika berjalan di lorong menuju lift. Sebenarnya Utari tak tahu di mana ia harus membuang sampah. Tak berani membangunkan Ammar untuk bertanya, maka Utari memutuskan keluar dan mencari sendiri tempat pembuangan sampah hingga seseorang tiba-tiba menggamitnya lalu menarik Tari pergi.

"Gue udah nungguin lo," kata cowok itu.

Utari tidak bisa melihat jelas wajahnya hingga si lelaki menuntun Utari memasuki lift. Pintu besi yang terbuka telah tertutup, lelaki asing menekan tombol angka 6 sambil masih menggandeng Tari di tangannya.

Utari ingin menyatakan keberatan atas gangguan mendadak ini, tapi keterkejutan membuat ia seperti tersihir. Utari menjadi patung untuk sesaat. Lelaki itu melepas gamitannya lalu menggandeng Tari. Menarik Utari supaya berjalan lebih cepat. Tari sempat meminta penjelasan tapi si pria menyanggupi akan menjelaskannya nanti. Akhirnya Utari berhenti meronta dan memutuskan menurut saja. Dilihat dari belakang, pria yang membawa paksa Tari punya gaya khas, meskipun gayanya aneh. Ia memakai kemeja flanel berkelim pink manyala yang sama persis dengan sepatunya. Celana hitam ketatnya akan menonjolkan keindahan lekuk tubuhnya ... andai ia perempuan. Karena ia laki-laki, celana itu justru menonjolkan kekurangan fisiknya. Rambut cokelat tuanya dipangkas pendek di kiri-kanan, agak panjang di tengah. Matanya ... mengamati Tari. Tersadar mereka sudah berhenti berjalan. Si pria juga sudah melepas tangan Utari. Mereka tiba di sebuah unit, pria itu membuka pintu, mempersilakan Utari masuk.

"Mari kita lihat bagaimana reaksi kapten Ammar kalau istrinya gue culik." tanyanya seraya menyilangkan tangan di depan dada dan mengamati Utari dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Meskipun ia baru mengucapkan kata-kata menyebalkan, ekspresinya justru membangkitkan perasaan hangat. Ia duduk di sofa beledu warna ungu muda, lalu melambaikan tangan seolah ingin Tari ikut duduk. Di hadapan pria itu ada dua bungkus foam, padahal ia sendirian. Si pria menyorong satu kantong plastik berisi makanan ke meja kosong di depan Utari.

LOVE PILOTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang