Bab 11

85.3K 6.2K 315
                                    

"Sampai kapan kamu mau kurung aku?"

Ammar memandang istrinya yang baru melemparkan pertanyaan dengan nada putus asa. "Sampai kamu hamil," jawab Ammar amat tenang. Ia kembali sibuk memindahkan bubur yang dipesannya ke mangkuk saji.

Utari menghela napas dalam-dalam. Ada kesedihan, kemarahan, kekecewaan bercampur jadi satu di dalam rongga dadanya. Ia tak pernah berpikir tekad Ammar akan sebulat ini. Sudah lima hari berlalu. Ammar tak membiarkannya keluar apartemen sedetik pun. Dua hari satu malam pertama Ammar mengunci Utari di kamarnya. Setelah itu, seluruh sambungan telepon, WiFi, bahkan ponsel Tari raib. Si gila Ammar juga membayar dua bodyguard untuk berjaga di depan pintu apartemen apabila Ammar harus pergi karena ada penerbangan.

Ammar benar-benar telah menyulap apartemennya menjadi penjara untuk sang istri. Satu-satunya hal yang mungkin bisa menolong Tari adalah kedatangan Braga. Sepupu Ammar itu biasa muncul di akhir pekan, atau di waktu-waktu senggangnya. Jika beruntung, Utari akan berjumpa Braga siang ini.

Ammar menyupakan bubur untuk istrinya. "Buka mulutmu."

"Aku bisa makan sendiri." Utari mengambil alih sendok di tangan Ammar. "Jangan bersikap sok manis padaku!"

Didorongnya mangkuk berisi bubur abalone itu ke hadapan Tari. "Apa semua kebaikan yang aku lakukan selalu tampak buruk dan mengerikan di matamu, Tari?"

"Ya. Jadi berhenti bersikap baik padaku." Utari meletakkan sendoknya dengan kasar hingga bunyi gemeletak terdengar cukup keras.

"Aku toleransi kekesalanmu padaku, tapi aku nggak suka kamu mengabaikan makananmu."

Sebagai bentuk protes, Utari memang enggan menyentuh makanan yang dibelikan Ammar. Tanpa nafsu Tari memasukkan cairan kental dengan beberapa potongan abalone itu ke mulutnya. Bahkan bubur premium yang rasanya luar biasa tak bisa ia telan dengan mudah. Sesak sekali menjalani pernikahan menegangkan seperti ini. Melihat Ammar seperti akan mengambil tindakan lebih kejam, Tari cepat-cepat memungut kembali sendoknya dan menandaskan isi mangkuknya.

Pintu apartemen terdengar dibuka, seseorang baru saja menekan kode sandi dan masuk. Utari melebarkan matanya. Mendung kelabu di wajah Utari seketika berubah menjadi cerah.

"Lagi makan makan apa nih?" sapa Braga yang langsung menghampiri Ammar dan Utari di meja makan.

"Ah, sial! Harusnya aku ganti dulu sandi pintu apartemenku," gerutu Ammar sambil menatap Braga jengah.

Utari melemparkan senyum bersahabat ke Braga. "Kamu mau orange jus?" tawar Tari sambil bangkit berdiri ke arah dapur.

"Dengan senang hati." Braga menyambut tawaran itu dengan suka cita. "Untuk pertama kalinya gue lihat kalian duduk-duduk santai di meja makan. Apa udah terjadi kemajuan pesat di hubungan kalian selama gue pergi?"

"Kamu ke mana aja sih, Braga. Kok lama nggak lihat kamu?" Utari bertanya sambil membuka pintu lemari es.

"Tugas negara, kakek minta anter gue ke makam nenek. Oh ya, dia nanya kabar kalian. Parah lo, Mar. Masa sejak nikah sampai sekarang, lo nggak pernah bawa Tari ketemu kakek."

Ammar tiba-tiba meletakkan tangannya ke atas paha Braga. "Setelah menghabiskan jusmu, pulanglah. Aku dan Tari sedang menyelesaikan urusan penting. Jadi jangan ganggu kami."

"Hahaha." Braga tertawa. "Urusan penting apa memangnya?"

Utari kembali, ia menyuguhkan segelas jus jeruk untuk tamu yang sangat ia harapkan.

"Kami harus membuat bayi," jawab Ammar dengan wajah serius.

Braga sampai melongo mendengar jawaban sepupunya. Mulutnya membentuk huruf 'O' untuk beberapa detik. "Well, kalau gitu gue akan segera pergi." Braga cepat-cepat menenggak jusnya, lalu melambai tangan dan meninggalkan Utari yang sejak tadi memberi kode gelengan samar.

Utari memejam kuat. Ia mendesah kesal sembari mengacak rambutnya.

"Kesal? Kamu pikir Braga akan membebaskanmu?"

"Kamu tuh nyebelin banget jadi orang. Kamu udah renggut hak asasi aku sebagai manusia, tahu?" Tangan Utari mengepal, meremas ujung kaos longgarnya. "Kalau kamu terus sekap aku. Jangan salahin aku misal kisah romansamu ini berubah menjadi kisah horor mencekam."

Ammar awalnya tak ambil pikir gertakan Tari, sampai wanita itu berjalan ke arah dapur dan mengambil sebuah pisau untuk diiriskan ke pergelangan tangan. Sengaja Tari lakukan itu untuk menggertak si suami.

Ammar mau tak mau melompat dan berlari secepat mungkin untuk mencegah hal terburuk terjadi.

"TARI! Kamu nggak waras apa?!" bentak Ammar setelah menjauhkan Utari pisau dapur yang baru saja ia lempar ke sembarang arah.

"Ya, kamu bikin aku nggak waras. Sampai aku seputus asa ini," lirih Tari yang meringkuk di pelukan Ammar sambil terisak. "Kamu usah ambil hidupku, merampas kasih sayang orang tuaku, mematahkan hati orang yang aku cintai. Masih saja aku harus kamu kurung di sini seperti tawanan. Apa menurutmu aku punya alasan untuk hidup?"

Hati Ammar bagai dicubit gunting rumput. Sakit luar biasa melihat Utari terluka karena dirinya. Ammar tak mengatakan apa pun, lebih tepatnya tak ada kalimat yang mampu ia rangkai untuk membela diri. Semua yang Utari katakan benar adanya. Ammar adalah pria brengsek yang telah menghancurkan mimpi-mimpi Tari. Ia mengangkat tubuh ringkih istrinya untuk di bawa ke kamar. Utari yang lemas tak melawan atau bereaksi. Ia pasrah dengan semua perlakuan Ammar. Pria itu menarik selimut untuknya, menepuk lembut kepalanya, serta mengecup keningnya.

"Aku mengurungmu karena tahu kamu akan lari. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Utari. Kalau kamu pergi, aku nggak tau akan jadi apa kalau kamu tinggalin aku." Air mata jatuh dari ekor mata Utari. Ammar tak bisa memahami arti tatapan Tari. "Kamu bisa hidup normal besok," lanjut Ammar. Jemarinya mengusap pipi Utari yang basah.

Tari tak merespon untuk sesaat, berpikir kalimat barusan keluar dari mulut Ammar hanya dalam mimpinya.

"Aku nggak akan kurung kamu lagi mulai besok."

Kali ini suara berat Ammar seperti memberi tenaga ekstra pada Utari. Pemilik rambut lurus nan panjang itu langsung bangun untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi.

"Beneran?"

Ammar mengambangkan senyum. "Lagipula Braga pasti akan segera datang membawamu kabur jika ia memergoki ada bodyguard di depan pintu apartemenku."

"Kali ini kamu harus nepatin janjimu, Ammar."

Merunduk untuk menghela napas dalam, Ammar mengeratkan genggamannya di tangan Utari sebelum berkata, "Aku akan tepatin janjiku. Oh ya, besok pagi aku akan pergi. Kali ini lebih lama dari biasanya, karena aku harus pergi untuk penerbangan internasional."

"Berapa hari?"

"Lima hari, mungkin sampai enam hari. Jadi, mau nggak malam ini kamu temenin aku?"

Untuk pertama kalinya Ammar meminta tubuh Utari dengan begini sopan. Utari terenyuh, ia sebenarnya ingin menolak, tapi tak ada alasan untuk menolak. Saat ini statusnya masih sah sebagai istri Ammar, melayani kebutuhan biologis Ammar merupakan kewajibannya. Lagipula, jika Ammar benar membebaskannya, mungkin malam ini akan menjadi malam terakhir mereka. Utari berencana akan pergi ke suatu tempat untuk bersembunyi sampai pikirannya jernih.

"Oke, aku akan menemanimu."

Ammar memeluk Tari, membisikkan sesuatu di telinganya. "Aku ingin kamu mengenakan lingerie merah yang aku belikan tempo hari."

Bisikkan Ammar menciptakan desir-desir lembut di hati Utari.

Wait, apa yang sedang aku rasakan? Kenapa aku harus gugup? Ini bukan permainan pertama kali untuk kami, ada apa denganku?

***

LOVE PILOTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang