Curve

873 56 36
                                    

Pagi ini, seperti biasa aku berangkat sekolah. Aku bersekolah tidak jauh dari rumah. Sekolahku hanya berupa bangunan besar yang sekilas kelihatan seperti bangunan kuno. Tapi menurutku sekolah ini cocok untukku daripada sekolah-sekolah lainnya yang ada di Tokyo. Fasilitas disini cukup lengkap. Ada ruang musik, aula, ruang pertunjukan, ruang dance, dan masih banyak lagi.

Di kelasku terdapat beberapa siswa. Aku tergolong orang yang pendiam dan suka menyendiri di kelas. Tapi ada seorang pemuda berwajah ceria bernama Kirisaki Rin yang selalu mendekatiku seakan mengajakku berteman jika ia melihatku sedang sendiri. Aku hanya berpikir, dia hanya merasa kasihan padaku.

Aku tak butuh dikasihani.

Aku hanya butuh, sedikit ruang.

Ya, ruang. Ruang untukku agar aku bisa hidup tenang di sini.

Aku berjalan dengan langkah pendek menuju kelas. Sekilas aku terlihat seperti orang yang tidak bersemangat. Tapi, kurasa memang benar. Selain introvet, aku memang selalu tampak tidak bersemangat. Wajahku terasa sangat kaku untuk tersenyum, sehingga aku terkesan dingin terhadap orang-orang sekitar.

Aku menghindar dari orang-orang. Aku lebih memilih duduk sendirian menikmati sinar mentari menembus kulit daripada ikut bergabung dalam pembincaraan anak gadis.

Atau, sesekali menjadi seorang siswi populer di sini.

Tidak, itu bukanlah diriku.

Ketika tiba di kelas, aku menundukkan kepala. Menghindari tatapan dan sinar mata orang yang lewat di hadapanku. Namun, menghindar itu sulit. Sekilas dapat kulihat beberapa siswa asyik bercengkrama. Kedatanganku tidak mengalihkan perhatian mereka. Namun tidak semuanya. Seperti biasa, Kirisaki selalu menegurku.

"Ohayo*, Lynn!" Sapanya ceria. Wajahnya berbinar ketika melihat kedatanganku. Namaku di dunia manusia dan di Allusca berbeda. Di Allusca aku biasa dipanggil Recca. Sedangkan di sini, aku biasa dipanggil Lynn.

Kepribadian ganda yang unik, namun mencekam.

"Ohayo.." balasku agak sedikit pelan seraya duduk di kursi. Tempat dudukku paling pojok kiri belakang kelas. Dan, di samping kananku ada tempat duduk Jun. Entah kenapa ia memilih duduk disitu. Padahal, ia dapat memilih kursi paling depan yang jauh lebih nyaman daripada di belakang.

"Aku punya sebuah novel. Ceritanya sungguh menggugah! Pokoknya kamu harus baca, deh." Serunya sambil mengeluarkan sebuah buku berukuran sedang dari dalam tasnya. Laki-laki periang ini memang seorang kutu buku. Ia selalu membaca buku dimana pun dan kapan pun. Sehingga membuat matanya mengalami kelainan dan akhirnya mengharuskannya untuk mengenakan kacamata.

"Aku enggak suka baca buku." Jawabku dingin.

Sekilas kulihat ia sedikit tercengang. Tapi kembali tersenyum. "Baiklah!" Serunya seraya memasukkan kembali bukunya ke dalam tas. "Lalu, apa yang kamu suka? Musik? Dance? Katakan padaku."

"Aku enggak suka apapun." Jawabku dingin. Seakan tidak putus asa, ia kembali menanyaiku. Ia selalu begitu. Bahkan aku kadang merasa bingung mengapa ia tidak berhenti menanyaiku seakan ia merasa penasaran terhadap diriku yang selalu dingin.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya yang tampak sedikit letih pun masuk. Kantong matanya mengantung di area bawah matanya. Tersirat dari wajahnya, ia kelelahan. Seketika siswa segera kembali ke tempat duduk masing-masing.

Kirisaki menatapku dengan senyumnya. "Sehabis pelajaran ini, kamu akan aku tanyai lagi!" Serunya antusias.

Aku hanya mengernyitkan dahi. Betapa ku merindukan ketenangan tanpa rentetan pertanyaan dari laki-laki overdosis periang itu.

TortureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang