Introduction

257 38 4
                                    

Aku tercengang ketika mendengar Kirisaki yang untuk pertama kalinya berkata dingin padaku. Dengan perlahan tanganku bergerak lagi mengetuk pintu.

"Ini.. aku Lynn." Kataku dengan nafas tertahan.

Hening, tak ada sahutan. Aku menggigit bibir. Namun, pada detik berikutnya, aku pun dipersilakan masuk.

Ruangan kamar inap Kirisaki memang nyaman. Ada dua buah sofa disana. Kulkas, lemari dan televisi. Tapi pandanganku hanya terpaku pada seseorang yang tengah berbaring di atas ranjang. Matanya menatapku kaget. Tangannya diperban untuk menutup jarum infusnya. Kacamata hitam itu masih saja bertengger di matanya.

"Konnichiwa, Kirisaki." Kataku pelan. Diruangan ini terdapat hanya ada Kirisaki dan aku. Jadi, ini membuatku gugup. Perlahan, aku berjalan mendekatinya dan kuletakkan bunga diatas meja yang ada disamping ranjangnya. Kirisaki masih memandangku.

"Kenapa kamu kesini?" Tanyanya dengan nada sedikit dingin. Perasaan dalam diriku bergejolak ketika kudengar suaranya yang tak lagi riang seperti sebelumnya.

Aku tersenyum tipis memandangnya sehingga membuatnya terkejut. "Aku dengar, kamu sedang sakit. Jadi, aku ingin menjengukmu." Jawabku.

Cowok itu mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang ada disampingnya. "Bukankah kamu enggak peduli lagi padaku? Kenapa kamu menjengukku?" Tanyanya dingin.

Aku tersenyum pahit. Kemudian menunduk. "Jujur, aku memang enggak peduli denganmu." Kataku membuat alisnya berkerut. "Tapi, ketika kamu menjauhiku, kenapa aku selalu merasa.. ada yang aneh. Aku merasa.. seperti kehilangan sesuatu."

Ia memandangku lagi. Raut wajahnya jelas sekali bahwa dia sedang terkejut. "Apa yang kamu ucapkan itu benar?" Tanyanya.

Aku mendongak. Tanpa sadar di pelupuk mataku ada bulir air yang keluar. Aku terkejut. Begitu juga Kirisaki. Buru-buru ku hapus dengan menggunakan tanganku. Kirisaki memandangku khawatir.

"Kamu.. menangis?" Tanyanya bingung.

Aku menggeleng cepat-cepat. Enggak mungkin aku menangis semudah ini! Pikirku. Karena merasa semakin gugup sekaligus malu, aku pamit pulang padanya. Namun, ketika aku ingin melangkah, Kirisaki menangkap tanganku sehingga membuatku terhenti dan tersentak kaget. Perlahan ia melepas cengkraman tangannya.

"Aku juga enggak peduli jika kamu menyuruhku untuk menjauhimu." Katanya. Aku pun berbalik memandangnya. "Aku akan selalu bersamamu meskipun kamu mengusirku berkali-kali!"

Ketika melihatnya tersenyum lebar seperti dulu, entah kenapa pipiku mulai terasa panas. Kedua tanganku pun refleks memegang pipiku. Senyumannya pun memudar. Kedua matanya memandangku khawatir.

"Ada apa dengan pipimu?"

Aku menggeleng cepat-cepat. Kirisaki tersenyum lagi.

"Terima kasih sudah memaafkanku, Kirisaki." Kataku pelan seraya tersenyum tipis. Tanganku tidak lagi memegang pipiku.

Kirisaki tercengang. Pipinya merona. "Aku enggak memaafkan kamu, Lynn!" Katanya seraya memalingkan wajahnya dari pandanganku. Alisku berkerut. Kemudian, ia kembali memandangku. Ia nyengir lebar. "Kecuali, kamu manggil nama depanku, 'Rin'. Baru kamu aku maafkan."

"Oke, aku akan memanggilmu 'Rin'!" Kataku enteng karena aku masih tidak mengerti apa perbedaannya jika kita memanggil nama depan seseorang atau nama belakangnya. Tidak kusangka, perkataanku yang begitu entengnya tadi membuat Rin tercengang dengan wajah memerah.

"Jangan panggil aku 'Rin'!" Serunya seraya memalingkan wajahnya dariku. Aku pun tersentak kaget.

"Enggak mau. Aku mau panggil kamu 'Rin'. Sudah banyak yang memanggilmu 'Kirisaki' dan aku bosan itu."

TortureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang