Recover

325 45 16
                                    

Sudah beberapa hari sejak hari itu, Kirisaki tidak menghiraukanku. Bahkan mengajak bicara pun tidak. Dia kini menjelma menjadi cowok yang pendiam. Si Mata Empat itu selalu berkutat pada buku-buku kesukaannya. Ia menjadi penyendiri sekarang, atau memang dia selalu menyendiri ketika aku belum bersekolah disini.

Bahkan ketika kami berpapasan atau bertemu di selasar dan lorong sekolah, tatapannya tetap lurus ke depan dan tidak menganggapku ada. Tanpa ada memberi senyuman lebar seperti biasanya.

Aku pikir, aku akan merasa nyaman dengan keadaan ini. Bukankah jika tak ada lagi orang yang mengoceh padaku, tak ada lagi orang yang selalu mengikutiku kemana pun aku pergi dan kini aku bebas kemana saja sendirian, aku akan merasakan ketenangan?

Tapi anehnya, semakin lama aku dikucilkan oleh Kirisaki, aku semakin merasa bahwa .. aku sedang kehilangan sesuatu.

Aku berusaha mengusir jauh-jauh perasaan itu. Namun sayangnya, perasaan itu selalu muncul. Secara tiba-tiba, aku merasa sangat kehilangan senyuman dan cengiran lebar di wajah Kirisaki. Aku juga merasa kehilangan kedekatannya denganku.

Sial! Untuk apa aku merasa kehilangan. Bukankah aku enggak peduli jika dia menjauhiku? Bukankah ini yang aku mau? Bukankah aku ingin dia tidak ikut campur dalam kehidupanku?

Tapi, sekarang ..

Kenapa ini terasa begitu sakit?

Apa yang kurasakan saat ini?! Aku tidak mengerti! Ya, Tuhan! Apa-apaan ini?!

Tanganku mencengkram pagar balkon kuat-kuat. Menahan betapa sakitnya yang kurasakan kini.

Kirisaki Rin adalah orang yang baik. Tapi aku tidak memerlukan semua kepeduliannya. Bukankah itu yang kuinginkan?!

"Bukankah ini yang kuinginkan? Bukankah ini yang kuimpikan?" Desisku. "Ayolah, Lynn! Jangan pikirkan dia lagi."

Aku menarik nafas berat. "Ini memang aneh." Gumamku, kemudian turun dari atap.

Ketika aku melewati lorong menuju kelas, aku dipanggil oleh seorang wanita tua berumuran sekitar 50 tahun. Awalnya aku ragu ketika Beliau menyuruhku untuk masuk ke dalam ruangannya, yakni ruang Unit Kesehatan Siswa. Namun, ketika ia menawariku untuk minum teh bersama dengan ramah, keraguanku pun hilang karena aku bisa merasakan wanita ini adalah orang yang baik.

"Silakan duduk di sofa itu." Katanya ramah sambil menyeduh teh.

Aku pun duduk. Pandanganku menyapu ke sudut penjuru. Ruangan ini tidak terlalu luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Ada dua buah dipan berukuran kecil disana. Kemudian ada kotak obat. Dan, masih banyak lagi.

"Ini, minumlah selagi hangat." Kata wanita itu seraya menyodorkan secangkir teh padaku. "Dingin-dingin begini enaknya minum ocha hangat kan." Ia tertawa.

"Terima kasih." Kataku seraya memegangi cangkir tehku.

"Namaku Irene. Kamu bisa memanggilku Irene-sensei. Mungkin baru pertama kali kita bertemu. Jadi, yoroshiku ne." Ia tersenyum. Rambutnya helai demi helai mulai memutih. Tapi raut wajahnya masih kelihatan bersemangat.

Aku mengangguk. "Hai, Yoroshiku." Balasku dengan lambat.

Dia menatapku lembut, kemudian duduk tak jauh dariku. "Kamu kelihatannya sedang ada masalah sekarang. Apa kamu baik-baik saja?" Tanyanya sehingga membuatku tersentak.

"Darimana sensei bisa tahu?" Tanyaku kaget.

"Raut wajahmu terlihat seperti memikirkan sesuatu." Katanya sebelum meminum tehnya. Kemudian, ia memandangku. "Apa kamu baik-baik saja? Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakannya padaku untuk meringankan beban masalahmu."

TortureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang