Pertemuan di Kala Hujan

6.3K 204 9
                                    

Hujan turun lagi di pertengahan bulan desember. Aku yang tak membawa payung, ralat aku sebenarnya memang tak suka membawa benda kecil itu harus rela meneduh di lorong sekolah yang nampak sepi. Tentu sekolah sudah sepi karena ini sudah lewat tiga jam setelah bel pulang sekolah berkumandang.

Jangan tanya teman-temanku dimana, mereka sudah lama pulang setelah rapat OSIS selesai. Sedangkan diriku harus menyelesaikan beberapa berkas sebelum pulang kerumah. Hal tersebut membuatku sendirian di ruang OSIS dan sekarang harus terjebak diantara hujan.

Bagi beberapa orang hujan adalah hal romantis yang pantas untuk dinikmati. Tapi tidak bagiku, hujan bagiku sedikit merepotkan. Semua benda jadi basah, belum lagi orang-orang jadi terhambat berpergian karena hujan. Aku tak benci hujan hanya saja melihat hujan selalu memberikan kesan sedih bagi hatiku. Meski aku sendiri belum paham kenapa bisa seperti itu. Hatiku seperti bergerak sendiri ketika melihat hujan, seperti sudah di setting, perasaanku tiba-tiba merasa sedih.

"Gak bawa payung?" suara laki-laki mengagetkanku yang tengah sibuk memandangi hujan deras. Aku menoleh menemukan laki-laki jangkung dengan seragam basket menatapku menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan.

"Eh iya" ungkap ku canggung pasalnya laki-laki ini sebelumnya tak pernah berbicara padaku. Kami hanya sering bertukar senyum dan sapa jika bertemu. Meski kami satu kelas intensitas pembicaraan kami hanya seputar pekerjaan rumah dan ulangan harian, tak pernah lebih dari itu.

"Sama dong" ia tersenyum padaku merasa mempunyai teman senasib seperjuangan. Aku hanya diam tak tau harus harus memberi respon apa setelah kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Hmm lo habis rapat OSIS?" kentara sekali laki-laki di samping ku ini tengah mencari bahan pembicaraan untuk mengisi kekosongan yang tercipta. Aku pun mengiyakan bahwa aku memang baru saja pulang untuk rapat OSIS. Melihat ia yang sudah berusaha membangun pembicaraan membuatku bertanya balik padanya agar pembicaraan ini semakin panjang dan bukan hanya suara hujan yang terdengar di kedua telinga kami.

"Temen-temen lo mana? Kalo lo latihan kan harusnya ada yang lain" aku celingukan melihat lapangan basket yang tak jauh dari tempat kami berteduh dari hujan deras.

"Gue gak latihan sama anak-anak gue latihan sendiri" ujarnya dengan senyum ramah yang memang selalu ia berikan pada semua orang didekatnya.

Kami kehilangan pembicaraan, setelah pertanyaan basa-basi semua terucap tak ada yang bisa aku tanyakan lagi padanya. Kulihat ia juga sepertinya kehabisan bahan pembicaraan karena ia sama sepertiku, diam. Seperti saling menunggu siapa yang akan memulai pembicaraan.

"Hei ngomong dong jangan diem aja" ia menatapku dengan senyum ramahnya lagi, aku hanya tersenyum sambil bilang aku tak tau harus bicara apa dengannya. Aku hanya mengenalnya sebagai kapten team basket sekolah ini dan teman sekelas ku. Aku hanya tau ia laki-laki kelewat ramah pada setiap orang yang dikenalnya. Selebihnya ia terasa asing bagiku.

"Hmm lo kapan terakhir main hujan-hujanan?" tiba-tiba ia bertanya setelah aku bilang tak tau harus bicara apa dengannya. Aku pun mencoba mengingat-ingat kapan terkahir kali aku hujan-hujanan seperti yang ia tanyakan. Rasanya sudah lama sekali aku main hujan-hujanan. Jika aku tak salah terakhir kali aku bermain air yang turun dari langit ketika umurku lima tahun. Kira-kira sudah sebelas tahun lamanya aku sudah tak pernah bermain air hujan.

"Wow itu udah lama banget berarti" ekspresinya lucu sekali ketika terkejut mengetahui aku sudah lama tak bermain air hujan.

"Lo sendiri kapan terakhir hujan-hujanan?" tanyaku penasaran orang seperti Keenan kapan terakhir kali bermanin hujan.

"Dua minggu yang lalu" ia tersenyum seolah tengah mengenang peristiwa dua minggu lalu ketika ia bermain hujan.

"Lo kekanakan" tiba-tiba aku berkomentar membuatku menutup mulutku karena dengan spontan berkata hal yang mungkin bisa menyinggungnya. Aku salah, ia malah tersenyum padaku.

"Memang gue kekanakan tapi sungguh gue beri saran sama lo, hidup itu satu kali jadi nikmati semuanya dengan cara kekanakan. Kenapa? Karena lihat aja anak-anak gak ada beban dan seperti itu harusnya kita menikmati hidup" ujarnya mulai berfilosofi yang menurutku ada benarnya.

"Jadi mau memulai hal kekanakan?" ia menaikan alisnya mengajakku sesuatu yang tak kumengerti.

"Apa?" tanyaku yang masih belum menemukan makna dari pertanyaannya.

"Ayo hujan-hujanan" kemudian tanpa persetujuan dariku ia menarik tanganku keluar dari tempat berlindungku. Air hujan mulai membasahi tubuhku dan sensasinya aneh. Tak lama kemudian laki-laki bernama lengkap Keenan Saputra ini menarik lenganku mengikuti langkah kakinya yang mulai berlari. Bukanya langsung mengajakku pergi meninggalkan sekolah laki-laki ini malah membuatku lari berputar-putar di lapangan seolah sedang menari di bawah hujan.

"Gimana rasanya hujan-hujan lagi setelah sebelas tahun lamanya?" ucapnya sambil mengatur napas setelah mengajakku berlari-lari mengelilingi lapangan ini. Aku menatapnya dan perasaanku tak bisa diungkapkan. Ini sebuah sensasi baru yang aku rasakan.

"Menyenangkan" ucapku sembari membernarkan rambutku yang berantakan menghalangi pandangan mata. Aku juga mengusap mukaku yang kini basah karena air hujan.

"Bener kan kata gue, terkadang kita harus kekanakan untuk menikmati hidup ini" ujarnya sambil berteriak karena jika ia tak berteriak suaranya akan dikalahkan suara derasnya hujan. Aku mengangguk setuju, ia benar hanya dengan menikmati hujan dengan cara yang berbeda saja sudah membuatku senang bukan main.

Hari itu aku melihat sisi lain dari Keenan. Ia bukan seperti laki-laki ramah yang selalu baik pada setiap orang. Aku melihatnya sebagai seseorang yang menyenangkan yang mampu mengubah pemikiranku mengenai hujan. Ia seseorang yang untuk pertama kalinya berani membuatku berpikir bahwa hidup itu untuk dinikmati.

***

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang