Chapter 5 : Dream

52 4 0
                                    

Aku mencium bau segar, terbawa oleh angin yang menghempas rerumputan basah oleh embun pagi. Matahari yang cerah menyinarinya, kemudian butir-butir embun tersebut membias dan menyilaukan mataku, membuatku tersadar bahwa diriku bukan lagi berada di kasur, melainkan bersender malas di antara pohon besar yang sepertinya aku kenal.

Emm, kupikir namanya Yaksha, deskripsinya mirip dengan apa yang dijelaskan buku taksonomi tumbuhanku, pohon raksasa dengan batang yang luar biasa lebar, daunnya hijau berbentuk bulat, besar, dengan tulang-tulang daun yang melengkung. Biji-biji yang kecil jatuh dari tangkainya berbentuk kerucut dengan permukaan kasar dan bersisik, rerembunan daunnya lebat membuatnya begitu teduh dan sejuk.

Di hadapanku sendiri terdapat padang rumput yang luas, dengan beberapa sekumpulan bunga yang mengumpul, dan pegunungan hijau yang menutupi garis-garis horizon.

Jelas aku sedang bermimpi, dan ah, apa itu?

Aku segera berdiri melihat sesuatu besar yang terbang di atas langit, mengibaskan sayapnya seperti burung, cepat mengarah ke arahku, dan tak salah lagi, sosok tersebut adalah Malaikat bisu.

Dia tersenyum melihatku, berputar-putar lincah, membiarkan angin membawanya, lalu melesat dia begitu rendah di antara bunga-bunga tulip di padang hijau, mengambilnya satu, dan lalu mendarat di hadapanku. Berjalan dia perlahan mendekat dengan tangan menaikan rok gaunnya yang kini basah terkenai rerumputan, sambil menutup sayapnya yang besar ke dalam punggungnya.

Mata malaikat bisu terlihat berbinar-binar, nafasnya kempas-kempis kecapaian, dan keringat turun dari dahinya. Dia kemudian mengarahkan tangannya padaku, mungkin bermaksud menawarkan hadiah, dan kuambil tangkai bunga tersebut.

"Buatku?"

Dia mengangguk.

"Terima kasih, malaikat bisu!"

Aku belum pernah melihat bunga tulip secara langsung, hanya berupa sketsa, keterangan bahwa dia berwarna-warni, indah, dan menjadi trend di desa saat musim semi tiba. Tak kusangka bunga ini begitu cantik, dan aku segera mencium bau bunga tersebut. Wangi, aromanya manis dan segar, lalu hastratku seakan menginginkan lebih dari sekedar satu bunga ini, ingin aku berlari di antara taman bunga tersebut.

Aku kemudian memegang tangan malaikat bisu dan berlari menariknya. Aku kini menginjak rerumputan basah tersebut, dan ah, belum pernah aku merasakan pengalaman menginjak rumput-rumput dengan kaki tanpa alas di luar rumah, rasanya begitu dingin, geli, dan nyaman.

Tak bisa kutahan rasa gembiraku, aku tersenyum, tertawa, betapa melegakannya bisa berlari tanpa ada sesuatupun tembok yang mengekang gerak-gerakku!

Aku melepaskan tanganku dan menepuk pundak malaikat bisu.

"Ayo kita berlomba!"

Aku langsung melesat berlari, dan malaikat bisu kulihat terlihat kewalahan karena gaunnya. Ia naiki roknya, tapi malah tersandung dan tersungkur ke arah kubangan lumpur. Aku tertawa menghentikan langkahku melihat wajahnya yang sebal belepotan dengan lumpur beserta cacing-cacingnya, baju gaunnya juga kotor, dari putih berubah menjadi coklat kusam.

Dan pada saat itu tiba-tiba sayapnya keluar, begitu lebar putih bersinar oleh pantulan sinar matahari. Ia kibaskan sayapnya dan seketika rerumputan juga lumpur-lumpur dibuatnya terhempas. Dia terbang, dan kemudian pergi sambil tersenyum lebar mengejekku. Curang!

"Malaikat bisu tunggu aku!!"

Aku berlari, dan malaikat bisu sudah jauh, dia tinggalkan aku walau diriku sudah berteriak sampai suara ini serak.

"Hah...hah..."

Ah, lama-lama aku lelah.

Entah mengapa sebelumnya taman bunga ini terlihat tak jauh, tapi mataku menipu, atau mungkin karena badan ini juga yang jarang digerakan jadinya gampang lelah. Aku kemudian menaikan dadaku, bernafas cepat dari mulut, kakiku mulai ngilu dan kulebarkan langkah-langkahnya. Lelah, lelah sekali!

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang