Chapter 2 : Monster

74 3 0
                                    

Aku pernah bertanya pada ibu saat kita duduk berdua di depan perapian, aku sedikit merasa bersalah karena pada saat itu ibu begitu bersemangat untuk mengajariku matematika, salah satu mata pelajaran yang paling disukainya. Pertanyaan ini sendiri adalah sesuatu yang telah kusimpan lama di hati, kudempul begitu dalam, namun akhirnya ia muncul juga, lagipula siapa yang bisa menahan rasa ingin tahu? Kuminta ibu untuk mendengar pertanyaanku yang jauh dari hitung-hitungan, melihatku menatapnya serius, ibu setuju menunda pelajarannya untuk esok hari.

Aku kemudian menarik napas, mulai ragu apakah ibu takkan tersinggung dengan pertanyaan ini. Tapi aku segera meyakinkan hatiku, jawaban ibu besok maupun hari lainnya akan sama, mau ia tersinggung ataupun tidak. Akhirnya kukeluarkan pertanyaan itu:

"Ibu, mengapa aku tidak boleh keluar dari rumah?"

Ya, aku sendiri tidak percaya bahwa pertama kalinya diriku menanyakan perihal ini pada ibu. Aku selalu takut pada ancam-ancam ibu untuk tidak membuka pintu jika ada yang mengetuk, selalu ditariknya aku dari dekat kaca agar tidak ada yang melihat, tak pernah diajakinya aku keluar, dan semua itu tanpa pernah tahu mengapa dan ada apa jika saja wujudku terlihat orang. Barangkali bukan hukuman yang kutakutkan, tapi akan jawaban yang mungkin tidak bisa kuterima dengan baik.

Tapi entah mengapa kini aku merasa siap, yakin bahwa diriku telah tambah dewasa, bukan hanya dari umur, tapi juga buku-buku yang telah kubaca. Ibu bilang, aku lebih dewasa 5 tahun dari anak-anak seumuranku.

Namun setelah pertanyaan itu keluar, ekspresi ibu berubah dengan drastis. Mata penuh semangatnya untuk mengajari seketika hilang, kembali menjadi lesu tak bernyawa sebagaimana ibu biasanya. Dia memalingkan wajahnya, menyingkirkan rambut dari telinganya, bergerak dalam irama tubuh yang tidak mengenakkan. Mungkin saat itu ibu enggan untuk menjawabnya, aku tak tahu.

Ibu akhirnya menggerakan mulutnya setelah mengambil napas yang dalam. Dalam kata yang kurasa begitu hati-hati diucapkan, ibu berkata bahwa aku belum siap untuk hal ini, sebagai seorang ibu juga dia tidak merasa etis untuk menjelaskannya. Aku pun marah, telah banyak ia ceritakan padaku suatu kisah-kisah tragis dalam sejarah, sedikit sekali dari buku ibu yang berakhir indah, dan bukankah semua itu agar aku mampu menerima kenyataan yang pahit? Ibu menghela napasnya, dia akhirnya menyetujui bahwa pada akhirnya aku harus mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, dan mungkin ini bisa jadi pelajaran sosial budaya yang menarik. Dia lalu menjawab dengan perkataan yang tidak kumengerti:

"Anak haram?"

"Ssst, jangan potong omongan ibu!"

Ibu berkata jika seseorang memotong omongan maksudnya bisa jadi berbeda, apalagi jika belum ada keterangan di belakangnya, orang bisa mengira yang tidak-tidak. Tapi kulihat kiri dan kanan, hanya ada malaikat bisu. Ibu menyuruhku berjanji untuk tidak pernah memotong pembicaraan sekali lagi dan aku hanya mengangguki ucapannya. Saat itu dia jelaskan padaku bahwa aku bukan anak haram. Ayahku, John Lenard, dan ibu, Julia Lenard, mereka berdua resmi menikah, dan aku adalah anaknya yang terdaftar dalam registrasi desa.

"Ku ulang lagi, dalam budaya di negeri ini, ada tiga orang yang sangat dibenci oleh masyarakat."

"Aku juga termasuk ibu?"

"...Aku akan jelaskan satu-satu, bisa kau tolong hanya dengar ibu saja, tanpa bicara apa-apa?"

Aku mengangguk, tapi jelas, aku termasuk di dalamnya. Hatiku semakin takut untuk mendengar kenyataan saat itu.

"Pertama anak haram, anak di luar penikahan dari hasil perzinahan. Selama hidupnya dia akan mendapatkan panggilan nama belakang yang bukan berasal dari marganya. Anak haram kemudian akan mengalami kesusahan dalam mencari pekerjaan, dijauhi oleh orang-orang, susah untuk menikah."

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang