Chapter 11: A Cycle

31 0 1
                                    

Ternyata ramai yang sempat hilang dari Aula kembali berkumpul di jalan. Aku segera menutup kupingku, berjalan perlahan menyusuri lautan amarah dan makian. Kupegangi tangan ibu yang lemas, dibopong dalam tandu yang diangkat oleh anak buah Aslan, lainnya mencoba melindungiku dengan pedang yang keluar dari sarungnya, melindungiku dari tangan-tangan yang ingin menarikku, dan memukuli ibu dan aku. Mereka entah mengapa tidak takut akan gertak pedang, atau mungkin tahu bahwa tak mungkin anak buah Aslan berani mengibaskan pedang tersebut? Akhirnya aku hanya mampu melihat ke arah ibu dalam rasa takut, berjalan perlahan sambil menahan rasa tangisku.

Orang-orang mulai melempar sesuatu, tomat, dan sayur-sayuran lainnyayangmembuat anak buah aslan menjadi kewalahan. Seketika itu aku mendengar suara keras, pandanganku mendadak ke arah sumber suara itu yang kini menyentuh kakiku. Batu.

"Hei!"

Aslan berteriak ke arah pelempar batu, menghampirinya, namun saat itu juga dari arah yang lain beberapa orang juga mencoba melakukan hal yang sama, beberapa dari anak buah Aslan mencoba melindungi dirinya sendiri, menjadi lengah akan tangan-tangan yang merayap menerjang, membuatku mencoba menyingkir ke samping.

"Ah."

Dan tiba-tiba aku terjatuh.

Perlahan muncul perih, rasa sakit.

"Racke!"

Kupegang kepalaku dan kurasakan sensasi basah, tanganku berlumuran darah.

"Lihat aku nak."

Aslan melihat mataku, menatapnya dalam-dalam. Dia menggerakan tangannya di depan mataku, jari itu menjadi dua, lalu tiga, lalu lima. Mulutnya bergerak, namun aku tak mengerti, buyar suara yang kudengar hingga akhirnya mengecil menjadi bisik dan sunyi, dan tiba-tiba aku merasa lega, aku tak merasakan lagi keramaian yang menusuk hati. 

Aslan segera merobek lengan bajunya, mengikatkan kain robek itu di kepalaku. Saat itu orang-orang tiba-tiba saja terlihat kehilangan kemarahannya, tangan-tangan itu berhenti bergerak merayap, dan tidak ada lemparan ke arahku. Pada saat itu tandu bergerak kembali, dan tangan Aslan mencoba membuatku berdiri, namun aku begitu lemas, dan lama-lama semuanya berubah menjadi gelap, dan hanya wujud malaikat bisu yang cerah di pandanganku, melihatku dengan wajah cemasnya.

...

***

...

Ini dimana?

Seketika rasa perih di kepalaku hilang, dan perasaanku dipenuhi oleh rasa sakit yang lain, perasaan yang janggal dan asing. Apa diriku sedang bermimpi? Ya, pasti. Kini aku berada di tempat lain, ruangan yang asing, putih, berbau aroma wewangian. Cahaya sedikit memasuki jendela, remang-remang cahaya dengan butir-butir debu yang melewatinya. Di hadapanku terdapat kasur besar tertutupi gorden tipis, dimana terdapat sosok siluet tertidur di dalamnya. Di sisi kiriku terdapat kasur bayi, ditemani lonceng yang bergoyang di atasnya. Namun kurasai kesunyian yang aneh di kasur tersebut, suatu kesedihan yang teramat, sungguh aneh, aku tak tahu.

Pikiran-pikiran misterius masuk dalam kepalaku, seakan kini aku berada di tubuh yang lain, dalam kepala dan hati suatu sosok asing, berada di balik kulitnya, merasai apa yang kini ia rasakan, dan bahkan memahami hal-hal yang tidak mungkin kupahami sebagai seorang anak kecil. Dan pada saat itu tubuhku bergerak dengan sendirinya, dalam suatu perasaan sedih dan pasrah, membuka gorden tersebut dan melihat sosok yang berada di baliknya.

"Aide..."

Aku mengucapkan nama seseorang di hadapanku ini, nama asing yang muncul dalam kepalaku. Sosok yang kupanggil ini adalah seorang wanita, bukan manusia, dan sepengetahuanku bukan juga beastman. Rambutnya dipenuhi bulu-bulu yang biasanya menutupi tubuh burung, hitam namun indah. Parasnya pucat, kurus, seakan ia baru saja melewati suatu hal yang sangat melelahkan, dan kuperhatikan tubuhnya yang berada dibalik gaun putih tidurnya itu dipenuhi oleh sisik-sisik. Entah bagaimana, walau terkesan asing dari presepsi manusia, aku melihatnya begitu cantik. Kududuk disebelahnya, mengelus rambutnya, dan perlahan matanya terbuka, tersenyum menatapku.

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang