Prolog

32 4 2
                                    

Sosok lesu, pria dengan compang-camping pakaiannya berjalan sambil menggeser kakinya yang sudah lemas melewati gerbang besar yang seketika terbuka untuknya. Kontras dengan penampilannya, tempat yang kini ia jejaki begitu indah dan jauh dari presepsi keindahan yang mampu ditangkap manusia biasa. Lantai dengan bahan kaca yang memperlihatkan langit di bawahnya, gorden-gorden putih sutera yang bergelimang sinar matahari, berbagai lukisan besar, fresco dan berbagai keramik dengan ukiran-ukiran kemegahan, adalah sedikit dari kemegahan yang mampu ditangkap pria yang baru saja menjejaki area yang asing baginya.

"Dimana kau? Yang mulia!!"

Berteriak pria itu penuh dengan kemarahan.

"Aku sudah di sini. Ini kan semua talian takdir yang kau inginkan? Kau ingin jawabanku bukan?!"

Seketika suara dengung lonceng terdengar dan sosok-sosok bersayap datang. Wajah mereka bersinar, dan sayap yang menempel di punggung mereka begitu lebar juga terang ditembusi sinar-sinar matahari yang menyelip di antara bulu-bulu sayap tersebut.

Pria yang lemah itu kemudian dibangkitkan, dipegangi lengannya, dan diangkat menuju ke arah pemimpin mereka. Menyelusuri kabut-kabut yang menutupi mata, perlahan pria ini di hadapakan dengan suatu gorden raksasa, menyembunyikan suatu sosok yang sinarnya begitu terang, hingga-hingga terang itu menembus gorden yang menutupinya, menyilaukan mata yang melihatnya secara langsung.

Pria tersebut menundukan kepalanya, semata-mata karena dirinya tak mampu melihat secara langsung, namun kesal pula karena rasanya ia telah tunduk dengan sosok di hadapannya.

Terdiam sang pria menunggu dan terdengar suara yang begitu kencang dari balik gorden, menggetarkan gendang telinga hingga deret kaca yang dijejaki mahluk-mahluk di atasnya. Namun, sedemikian kencang suara itu, tak mampu sang pria sama sekali menangkap arti suara yang hampir membuat telinganya tuli.

Tak lama, seorang bersayap menggunakan topeng keemasan muncul, tanpa menggunakan mulutnya terdengar suara dari dalam tempurung kepalanya.

"Katakan nak, apa keputusanmu. Apa keputusanmu atas dunia yang telah kuciptakan?"

Pria tersebut mengepalkan tangannya keras. Bayang-bayang pengalamannya kemudian muncul membakar kepalanya hingga menguap, membasahi matanya. Tersadar tangannya bergetar, seakan alam bawah sadarnya mempertanyakan lagi keputusannya: kutukannya akan segala hal.

Maka tak lama mulut pria itu terbuka, suatu sosok berteriak dari balik badannya.

"Hentikan!"

Terlihat sesosok wanita dengan tanduk di kepalanya, tangannya memegang sebilah pisau dengan aura kegelapan yang pelik.

"Hentikan semua kegilaan ini, semua siklus ini..."

"Eva! Pisau itu, oh tidak..."

Pria tersebut kembali memusatkan perhatiannya ke sosok bersayap, namun terlihat sosok bersayap tersebut mundur dengan gerak-gerik takut. Tak lama terdengar suara melolong yang begitu kencang, hingga membuat mereka, Eva dan sang pria, menutup telinganya. Sosok-sosok tersebut dengan panik meninggalkan tempat mereka, sang cahaya terang di balik gorden tersebut juga turut menghilang.

Sang Pria bertekuk lutut, ini kesempatan terakhir kali baginya untuk menyelesaikan segala penat pikir seumur hidupnya, menyelesaikan takdirnya.

"Apa yang telah kau lakukan? Oh tuhan, kau! Kau!"

Pria tersebut berjalan dengan pincang menuju wanita tersebut, dan kini ia berhadap-hadapan dengannya. Seketika pria tersebut mengambil pisau tersebut dengan kasar.

"Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan padaku? Tidak, pada ke semua-muanya?"

"Tapi... tapi... begitu menyedihkan apa yang telah kau lalui..."

"Siklus? Persetan dengan siklus, Eva. Persetan dengan apa yang kurasai, itu bukan urusanmu..."

Dan Pria tersebut melihat ke arah pisau yang ia pegang. Segala kesedihan, susah payah, pengorbanan, segalanya untuk mencapai titiknya jejaknya hingga kini telah menjadi sia-sia belaka. Namun, entah bagaimana, ia tidak mampu melampiaskan segala kesedihan dan amarah ke sosok di hadapannya.

Tiba-tiba terbesit suatu pikiran, hanya ada satu cara.

Mengulangi semuanya.

"Ya, hanya ini satu-satunya cara."

Memegang pisau dengan terbalik dengan kedua tangannya, sang pria menaikan tangannya tinggi dan dengan kencang menusukan pisau tersebut ke perutnya. Darah keluar begitu deras, dan percikannya mengenai Eva yang membuka matanya lebar-lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, shock memenuhi kepalanya hingga ia berdiri kaku tak mampu bergerak menghentikan pria yang berusaha ia selamatkan barusan.

Belum terlihat ia akan mati dengan segera, lagi-lagi sang pria menusukan pisau tersebut ke arah perutnya. Lagi, lagi, lagi. Ia telah lupa bagaimana bereaksi dengan rasa sakit. Tak lama, pria tersebut sudah terbujur kaku di lantai yang menunjukan awan-awan mendung dengan badai juga halilintar.

Eva melihat pria tersebut dengan darah yang bergelinang di kakinya. Pikirannya sudah kembali, dan ia merasakan kesedihan yang teramat, bahwa ia telah gagal. Eva kemudian mengambil pisau yang dibawanya, dan mengecup dahi pria yang telah berhasil menggagalkan rencananya.

"Aku akan terus menemanimu... menyelamatkanmu... aku bersumpah..."

Berbisik Eva, sebelum pergi meninggalkan pria tersebut.

...

Tak lama, lantai-lantai kaca tersebut pecah.

Tubuh yang telah pucat itu jatuh bersama keping-keping kaca, menembus awan yang basah, dan tak lama terlihat seisi bumi. Hitam, terbakar bagai arang. Suara pekik kematian di mana-mana.

Demikian, cahaya-cahaya menembus awan yang gelap mendung, gelap telah berubah menjadi terang. Dan samar-samar alunan simfoni terdengar, sebelum ruh yang lekat di tubuh pria tersebut akhirnya benar-benar hilang.

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang