Chapter 1 : Hungry and Cold

200 10 1
                                    

Aku duduk di depan perapian, menunggu ibu yang tak kunjung pulang sambil menahan perutku yang lapar. Lembar demi lembar kubuka membaca buku berjudul "Tanpa Batas". Tidak bisa dimakan, tapi cukup membuatku lupa jika perutku terus bergetar dan berbunyi tanpa henti. Di dalamnya sang penulis mengkisahkan bahwa dunia ini ternyata begitu luas. Terdapat banyak benua, samudra, pulau-pulau, bangsa-bangsa, pokoknya luas dan beragam sekali. Kupikir-pikir, paling jauh aku melangkah paling hanya sampai depan taman rumah, duniaku sempit sekali.

Kututup mataku, membayangkan penjalajahan sang penulis ke dalam dunia Beastman, padang hijau luas dengan angin yang berhembus nikmat di pipiku. Saat itu musim semi, dandelion berterbangan melewatiku. Tanpa sadar aku sudah berada di taman bunga, indah sekali, ditemani warna ungu, merah, biru. Di ujung sana terdapat ibu, ia menungguku mengenakan topi lebarnya untuk menutupi dirinya dari sinar matahari yang terik, bersinar terang gaun yang ibu gunakan terpantulkan sinar matahari membuat warna-warnanya menjadi lebih cemerlang. Tiba-tiba aku merasakannya, apa yang penulis sebut sebagai angin laut dari utara. Pada halaman selanjutnya aku telah berada di atas laut, ketika mahluk-mahluk laut, putri duyung, monster, melewati kapal kami membuat petualangan luar biasa. Lalu... lalu...!

"..."

Tiba-tiba cahaya yang menyinari bukuku redup, dan rasa hangat perapian mulai hilang saat itu. Sebal, aku ingin cepat-cepat melanjutkan perjalananku di dunia fiksi tersebut. Aku segera pergi mengambil kayu di tempatnya sebelah perapian, menyadari bahwa persediaan kayu bakar telah habis.

"..."

Ruangan semakin dingin, aku segera mengambil selimut di kamar ibu. Kubuka pintu tersebut dan langsung berhadapan dengan kasur ibu yang kelabu, kasur besar untuk berdua, untuk ayah dan ibu. Sayangnya, selama yang kuingat di kasur tersebut hanya ibu yang selalu sendiri dan dia begitu keras kepala soal ini. Pernah sesekali aku meminta tidur bersama dalam alasan takut untuk tidur sendiri, walau aku sebenarnya kasihan padanya. Ibu menolaknya, membawaku ke kasur dan menunggu sambil membacakan buku, hingga akhirnya dibuatnya aku tertidur, tidak paham tentang apa yang sesungguhnya kuinginkan.

Ketika ku berjalan, aku tersandung oleh buku-buku yang bertumpukan. Kisah-kisah sastra, sejarah, dan sebagainya. Kebanyakan telah dibacakan oleh ibu walau aku tidak meminta, dia sangat menyukai buku. Sekarang buku tersebut diikat, beberapanya telah dibungkus oleh karung. Ibu berpikir untuk menjualnya agar kita bisa melanjutkan hidup di musim dingin ini, dan jika saja tidak ada yang ingin membayarnya, ibu berpikir menggunakannya untuk perapian. 

Perihal jual menjual, aku tahu bahwa ibu tidak pernah ingin menjual bukunya, buku rasa-rasanya seperti jiwanya sendiri. Aku yang tidak ingin ibu menjual sesuatu yang penting baginya memberinya saran untuk menjual kasur yang terlalu besar baginya, kasur yang membuatnya terlihat begitu malang, toh ayah tidak pernah pulang, namun pantatku malah ditamparinya. Dia marah, marah sekali mendengar ucapanku saat itu.

Selimut dari kasur kelabu itu terlipat, lalu kubuka, dan kedua ujung selimut kuikat dan kukalungkan di leherku. Seperti seorang ksatria aku membayangkannya, dengan jubah kebesaran, kebesaran dalam maksud harafiah. Jubah kebesaran tersebut kutarik sedemikian mungkin agar benar-benar membuatku hangat, dan terhindar dari angin dingin.

"..."

Salju berhembus begitu kencang, suara atap bergemuruh menandakan hal tersebut. Aku tahu, selimut ini tidak dapat melindungiku lama dari rasa dingin ini. Aku berencana mengambil ranting-ranting kayu di luar, atau mungkin sisa kayu bakar yang belum ditaruh ibu. Dinginnya tentu saja luar biasa di luar sana, bahkan jika ada angin seperti tadi, aku akan terhempas ke tumpukan salju dan terbenam di dalamnya. Kumantapkan selimut ini, setidaknya membuatnya cukup waktu untuk membawa kayu itu masuk ke dalam.

"..."

Lalu aku akhirnya siap, plus sekop di tanganku jika saja kayu tersebut terkubur. Aku segera membuka pintu, dan kusadari bahwa semua ini sia-sia. Ibu ternyata mengunci pintunya, seperti yang biasa ia lakukan, tanpa prasangka bahwa akan terdapat kejadian segenting ini.

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang