Chapter 12: New Home

39 2 5
                                    



Bangun, dan segera mataku disilaukan oleh cahaya. Saat ingin kuhalangi cahaya itu dengan tangan kananku, kusadari tanganku tengah digenggam erat oleh malaikat bisu. Tangannya gemetar, dan dia menutup matanya. Ekspresinya membuatku mengingat lagi mimpi aneh yang baru saja kualami, mimpi yang rasa-rasanya begitu janggal dan acak, tidak ada kaitannya sama sekali dengan kesuluruhan hidupku, apa dari buku gambar yang kubaca? Aku masih ingat nama-nama yang lewat, Elnal, Aide, dan Beherit. Seketika mengingatnya, perasaan sedih kurasakan, dan gambar-gambar yang terasa begitu nyata muncul di kepalaku, bayi tak bernyawa, manusia dengan ciri burung dan sisik, dan malaikat yang menanyai suatu keputusan. Tapi daripada berpikir soal mimpi yang tak kupikir penting, aku sekarang ini ada dimana?

Ruangan ini asing, hangat, dan berbau aneh. Aku kini tengah tertidur di suatu kasur yang empuk, hangat, dan nyaman, cahaya masuk dari jendela memperlihatkan warna-warna sejuk di ruangan ini, kain-kain yang menutupi tembok dengan pola-pola rusa dan elang, dan karpet wol coklat di bawah lantai. Di kejauhan terdengar suara langkah kaki kecil berlarian, suara denting perabotan makanan dan bau lezat yang menyelinap masuk diantara tirai pintu kerang yang kini tertiup angin-angin lembut.

Dan ketika aku mencoba membangunkan badan, kepalaku berdenyut sakit. Aku langsung mengingatnya, batu yang mengenai kepalaku, darah, dan ibu? Dimana Ibu?

Aku menengok ke kiri dan ke kanan, dan kuperhatikan ada yang mengintip di balik pintu, sosok kecil gadis yang matanya segera melotot saat kita saling bertatap mata. Dia langsung berlari, berucap dengan suara yang keras:

"Anak Beastman bangun Bunda!!"

"Clara!"

Wanita kecil itu mengakatakan kata "Bunda", bahasa tinggi dan sopan untuk sebutan ibu yang biasanya dipakai oleh orang-orang terpencil, dan suara wanita membalasnya. Langkah besar perlahan mengikuti, dan entah mengapa perasaan gugup muncul di hatiku. Suara-suara yang selalu kudengar adalah suara ibu, dan baru-baru ini aku begitu banyak mendengar suara-suara lain yang penuh dengan terror. Entah apa yang perasaan ini ingin coba katakan, aku rasanya ingin segera berlari bersembunyi. Tapi belum sempat aku keluar dari balik selimut, sosok wanita telah muncul menyeka tirai pintu. Wajahnya berbeda dari ibu dan juga wanita yang kebanyakan kulihat di aula, matanya biru keabuan yang terlihat begitu kontras dengan kulit hitamnya, dan juga rambut hitam keritingnya yang terurai panjang, bajunya juga unik dengan jahitan kain-kain berwarna dan rajutan pola-pola hewan membuatku percaya bahwa wanita ini apa yang ibu katakan sebagai orang-orang suku nelayan yang terusir dari pelosok utara setelah perang saudara dan terror bajak laut disana. Kini wajahnya terlihat kaget pertama kali melihatku, tapi seketika itu ekspresinya berubah menjadi senyum hangat.

"Syukur kau sudah baikan, Racke."

Aku masih belum bisa berkata-kata, mataku terpaku menatap selimut yang kini menutupi setengah badanku. Wanita itu mengambil kursi di dekat pintu, mencoba mengangkatnya untuk menghindari mengotori karpet wol di bawah, dan kini menaruhnya di dekat kasurku. Dia mengelus rambutku, dan mencoba membangunkan badanku sambil meminta maaf. Saat itu dia ambil salah satu cairan di botol di meja kecil yang berada dekat dengan kasur ini, lalu menaruhnya di atas sendok kecil, dan dengan suara panjang "Aaa..." aku segera memahami dia menyuruhku untuk membuka mulut. Dan, uh, pahit. Melihat ekspresiku, dia tertawa kecil.

"...Ibu dimana?"

Tanpa sadar tiba-tiba saja aku bertanya. Ibu yang babak belur, yang darah keluar dari kuping, hidung, dan mulutnya, yang baju terbaiknya telah sobek tidak karuan. Mengingat itu aku segera menangis, dan wanita ini tiba-tiba membalas tangisan ini dengan pelukan hingga aku merasa tenang kembali.

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang