Chapter 3 : Cursed

75 4 0
                                    

Menjelang subuh sebelum matahari sedikitpun memperlihatkan batang hidungnya, ayam-ayam belum berkokok, dan belum satupun manusia keluar dari kasurnya, aku bangun, bangun dalam keadaan tidak berjiwa.

Mataku buram dipenuhi dengan kegelapan. Kunyalakan lilin, dan segera kubawa badan lelah yang sedikitpun belum puas menikmati tidur untuk segera pergi ke kamar mandi.

Segera masuk ke dalam kamar mandi, cahaya lilin itu segera memantulkan refleksi suatu wajah asing yang kantung matanya demikian besar, rambut hitam yang kering usang yang tak terawat sekarang mulai memunculkan uban, cekung muncul di antara kedua pipinya, sekali ia tersenyum tersimbul bibir keringnya yang tak indah itu.

Siapa dia? Siapa sosok tua di hadapanku ini? Kenapa matanya terlihat begitu gelap, kosong, dan tak bernyawa seperti itu.

Pertanyaan itu selalu menghantui kepalaku: Bagaimana aku mulai tak mengenali diriku lagi, menjadi tua dan semakin buruk dan buruk setiap harinya.

Menghiraukan pikiran yang kian basi setiap harinya, kemudian segera kubuka bajuku dan membersihkan diri di antara air yang telah menjadi sedingin es, dan biar saja jika suhu sedang turun-turunnya diriku akan mati oleh suatu hipotermia, kayu-kayu bakar itu begitu sayang jika dipakai hanya untuk menghangatkan tubuh tak berhastrat hidup ini. Lagipula dinginnya air telah membangunkanku, menyadarkankan syaraf-syarafku dalam gigil gemertuk gigi bahwa aku ini masih hidup, masih ada ruh yang meninggali badan yang lelah ini, dan dia ternyata masih ingin hidup, segera ingin keluar dari air yang membasuhi badan kotor ini.

Setelah berhandukan, segera ku bersihkan gigi dengan kayu harum dan juga tali kawat untuk membersihkan bekas makanan di gigi, hanya untuk sadar, bahwa gigiku selalu bersih. Tak pernah gigi ini menyentuh sesuatu yang susah dan beragam untuk dikunyah, hanya itu-itu saja yang lewat ke tenggorokan tanpa pernah peduli untuk dikunyah atau dirasai terlebih dahulu.

Mengganti baju, dan aku segera ke kamar anakku, Racke.

Kutemui dia tersembunyi di antara selimut di kamar usangnya yang tak menutupi tanduk tajam putih kusamnya itu, buku-buku bergeletakan di bawah kasur dan beberapanya masih terbuka, bekas-bekas lipatan terlihat tempat dia menandai terakhir kali dia membaca buku tersebut, sesuatu yang sesungguhnya kularang karena bisa merusak buku dan kuberitahu untuk menggunakan pembatas halaman, tapi pada akhirnya kubiarkan saja, aku pada akhirnya tidak peduli pada nasib-nasib buku tersebut.

Kubuka selimut yang menutupi wajahnya, dan kulihat rambut panjang kusamnya yang belum kupotong menutupi dahinya begitu berantakan. Wajahnya kurus hingga terlihat tulang di antara pipinya, tangannya begitu tipis seakan tidak ada daging di antaranya, tampak anakku ini seperti anak-anak miskin yang dulu kutemui di tengah jalan.

Kita memang telah berbagi kelaparan, tentu hal ini bukan sesuatu yang ingin kulakukan pada anakku. Kadang aku ingin hanya diriku saja yang lapar, sebelum-sebelumnya seperti itu. Tapi tahun ini berbeda, musim salju lebih panjang dari biasanya, kita tak bisa bertanam, dan makanan-makanan yang telah kusimpan telah habis. Kini musim salju telah mencapai klimaksnya, dan aku hanya bisa bekerja lebih keras lagi hingga keringatku terkuras habis, berharap dengan seperti itu kita masih bisa melihat besok.

Dan itupun belum mampu mengenyangkan perut anakku.

Ah, Racke, dia tertidur pulas dengan bekas basah di antara wajahnya. Telah kumarahi dia karena menjatuhkan foto suamiku dan usahanya untuk keluar mencari kunci cadangan membuatku begitu kehilangan diri hingga kugunakan fisik untuk menghukumnya. Tapi jika saja aku benar-benar waras saat itu, tak salah anakku ini, dan kasihanlah dia karena kemarahanku adalah perihal alasan-alasan yang lain, yang telah kudempul demikian dalam dan kini muncul meledak menunjukan dirinya.

Aku sungguh depresi, ah, Racke, maafkan aku. Bagaimana aku berada dalam kondisi ini, ah, bagaimana aku bisa berpikiran seperti ini sebagai seorang ibu! Tandukmu, dan bagaimana kamu mulai berbicara sendiri, seakan kesepian telah merebut akal sehatmu nak, berbicara dengan malaikat seakan anakku telah ingin mendekati ajalnya...

Simfoni Cahaya BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang