Bab 3

52.1K 2.8K 29
                                    

Wanita itu mendekatinya dengan kepala terangkat bagaikan Ratu. Tak ada tanda-tanda malu atas apa yang diperbuatnya. Itu juga salah satu hal yang membuatnya menyukai Melissa. Dia tak mudah dijatuhkan.

"Dengar Al, Aku tak tahu apa yang kau bicarakan. Aku sebelumnya pun bisa berdiri sendiri. Jika ini caramu untuk berpisah. Baik. Kita sudahi semua ini."

Dirinya tetap diam. Semua perasaan berkecamuk di dadanya. Satu sisi dirinya tak percaya Melissa bisa melakukan semua itu, tapi ada bukti nyata.

Melissa menunjuk dengan keras ke dadanya. "Kau salah Al. Apapun yang kau pikirkan tentangku saat ini salah besar dan Kau tahu itu. Kau tahu benar aku tak akan mengkhianatimu." Rasa sakit yang timbul aneh seolah Melissa menusuknya dengan pedang sampai ke jantungnya. Tapi dia berhasil menyembunyikannya.

Mata wanita itu seperti mencari sesuatu diwajahnya. Tapi Ali bertahan di tempatnya. Mata indah itu. Yang selalu bersinar dengan senyuman saat melihatnya tak ada lagi. Cahayanya perlahan menghilang, digantikan kemarahan dan rasa sakit. "Aku tak melakukan apaun Al," bisiknya sangat perlahan. Ali segera mengalihkan pandangannya.

Melissa meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi.

"BRENGSEK!!!" teriak Ali menggema ke seluruh ruangan. Dari semua orang, kenapa Melissa?! Kata - kata Melissa terngiang di telinganya. Benarkah bukan dia? Bagaimana jika dia salah menuduh? Tapi bagaimana dengan bukti - bukti itu?

Kembali ke ruang kerjanya, Ali melihat foto-foto itu di atas meja kerjanya. Segera disingkirkan semua yang ada di atas mejanya dengan sekali sapuan tangannya membuat semua barang berserakan dilantai dan beberapa pecah berantakan. "SIAL!!!"

Dia buru-buru mengambil whiskynya dan langsung meminum dari botolnya. Pahit dan panas bergumul di mulutnya dan membakar tenggorokannya. Ini lebih baik. Dia akan melupakan semuanya dulu sekarang. Bayangan Melissa kembali datang dan kata-katanya kembali berputar di telinga Ali. Ditenggaknya lagi minuman itu.

***

"Wanita itu keluar apartemennya Paman," Pemuda itu berdiri di balik pilar gedung apartemen mewah, berbisik ke telpon genggam di tangannya.

"Oke. Ikuti dia, kami segera kesana. Ini mungkin satu-satunya kesempatan kita." Jawab seseorang dari speaker ponselnya. "Terus kabari kemana dia pergi."

"Baik Paman," Sahutnya lagi, mengantongi ponselnya. Tugasnya sangat mudah, dia hanya perlu mengawasi target mereka sampai saat yang tepat. Dia tahu ini bukan perkerjaaan yang baik. Tapi dia benar-benar membutuhkan uang. Jika ini berhasil orang itu mengatakan akan memberikan uang yang cukup untuk kebutuhannya. Ibunya akan sangat kecewa padanya. Tapi ini juga demi ibunya.

Wanita itu berlari sangat cepat, dia hampir kehilangannya. Namun tiba- tiba wanita itu berhenti di bangku taman dan terduduk disana. Entah apa yang dilakukannya. Segera dikeluarkan ponselnya dan mulai menelpon.

"Di taman dekat sini, Paman." Katanya cepat.

"Kami di jalan, terus awasi dia."
"Baik." Sahutnya, kembali memasukkan ponselnya dan mulai mengamati wanita itu dari balik pohon. Tak bisa melihat jelas apa yang dilakukan wanita itu. Lampu taman tak begitu mendukung penerangan disana. Yang penting dia tidak pergi kemana-mana.

***

Melissa terus berlari tanpa tujuan. Yang dia tahu hanya tiba-tiba tubuhnya menggigil. Dia sudah diluar rupanya, dia bahkan tak memakai jaket atau mantel terlebih dahulu. Dia terduduk di bangku taman tempatnya biasa menunggu Ali pulang saat dia malas ke café Bianca yang selalu ramai. Apa yang salah? Bagaimana Ali bisa menuduhnya seperti itu? Setiap perkataan Ali terdengar lagi ditelinganya.

Kalau pria itu sampai bisa menuduhnya samapai seperti itu berarti dia tak memiliki kepercayaan padanya. Sejak awal pun Tracy sering mengingatkannya tentang hubungannya dengan Ali. Pria kaya seperti dia akan selalu merasa berkuasa hanya karena mereka memiliki banyak uang. Dia dan Ali bahkan punya kehidupan sendiri-sendiri tidak seperti umumnya pasangan. Bisa saja pria itu memiliki wanita lain. Pikirannya semakin tak karuan sekarang. Melissa sadar sekarang dirinya sendirilah yang bodoh. Dirinya hanya dibutakan oleh cintanya pada Ali. Air matanya terus mengalir. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tak punya tempat tinggal maupun pekerjaan.

Tangannya secara otomatis melingkari perutnya. Demi bayinya, dia harus kuat. Dihapusnya air matanya, dia harus segera memutuskan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Mencari perkerjaan dan tempat tinggal. Persetan dengan Ali.

Untuk saat ini mungkin dia bisa tinggal dengan Stacy sampai dia bisa menemukan pekerjaan. Stacy sekarang tinggal sendiri sejak ibunya meninggal setahun yang lalu. Dia sendiri sejak masih sangat kecil sudah tidak punya orang tua dan dirawat oleh Pamannya. Pamannya baik padanya, tapi bibinya tak pernah suka dengannya. Apa yang dilakukannya juga selalu salah. Karena itu saat dia mendapat beasiswa di universitasnya, dia langsung keluar dari rumah itu. Dua tahun pertama di universitas dia ikut tinggal di rumah Tracy dengan membayar sewa yang sangat rendah sampai tabungannya cukup untuk menyewa apartemen sendiri. Ibu Tracy wanita yang sangat baik, beliau sudah seperti ibunya sendiri.

Bianca mungkin mau memperkerjannya di cafénya dulu untuk sementara sampai dia dapat pekerjaan yang bagus dan sesuai dengan keahlian dan ijazahnya. Setidaknya dia juga punya referensi dari beberapa perusaan tempatnya dulu pernah bekerja dan magang.

Tubuhnya sudah semakin kedinginan sekarang. Paling tidak itu juga bisa mendinginkan otaknya sehingga dia bisa berpikir jernih. Tracy mungkin bisa menjemputnya, mengingat percakapannya yang terakhir Tracy bilang dirinya mendapat giliran jaga pagi sampai sore saja. Saat itulah dia menyadari bahwa selain meninggalkan jaketnya dia juga meninggalkan ponsel dan dompetnya. Satu lagi kebodohan yang dilakukannya. Dia tak mungkin berjalan ke rumah Tracy. Dia tak mungkin kembali ke apartemen sekarang. Bianca. Mungkin dia bisa mengantarnya ke Tracy. Dia juga bisa menceritakan apa yang terjadi padanya dan Ali. Semoga saja dia masih di café.

Melissa segera berjalan menuju café Bianca sambil menyilangkan lengannya, menghalau dinginnya malam. Melissa merasa ada yang sedang mengawasinya. Dia melihat kesekelilingnya tapi tak ada yang mencurigakan, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Mungkin hanya perasaannya saja. dipercepat langkahnya karena udara juga semakin dingin.

Hanya tinggal menyebrang jalan saja dan dia akan samapi di café Bianca. Untungnya sepertinya Bianca belum pula karena dinding café hanya terdiri dari jendela-jendela besar, dia bisa melihatnya sedang membereskan meja bersama dengan pekerjanya.

Langkahnya terhenti tiba-tiba saat ada lengan yang menariknya ke belakang dan tangan besar yang menangkupkan sapu tangan ke wajahnya. Dan semuanya gelap.

Billionaire's Pregnant MistressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang