Lie About Us

17.3K 835 9
                                    

"Hubungan kita adalah sebuah kebohongan bukan?"

Mataku menatap lurus kedepan, kearah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi yang seakan-akan mereka berlomba untuk menyentuh langit kota New York yang kini mulai berubah menjadi warna jingga. Lalu mataku menatap kebawah, kearah jalanan, kearah mobil-mobil yang berlalu lalang yang terlihat sangat kecil dari atas sini.

"Apa maksudmu?" Tanyanya, setelah diam cukup lama.

Aku terkekeh pelan, menyelipkan helaian rambutku kebelakang telinga lalu tanganku memeluk tubuhku erat.

"Kau mencintaiku, tapi kau masih bersama wanita itu." Kali ini aku memandangnya, tepat di kedua matanya secara bergantian.

"Kita sudah membicarakan ini semua. Kau tahu jika aku butuh waktu."

"Apa waktu selama lima bulan ini kurang untukmu?"

Ia menyisir rambutnya dengan jemarinya sehingga kini rambut coklatnya berantakan, sementara bibirnya mengeluarkan desahan yang cukup panjang; desahan putus asa. Matanya yang sedari tadi terpaku pada lantai kini mulai melirikku.

"Apa yang kau inginkan?" Tanyanya, seraya beranjak dari ranjang dan berjalan kearahku.

"Aku menginginkanmu,"

"Aku milikmu,"

"Seutuhnya. Aku menginginkanmu seutuhnya." Gumamku. "Aku ingin kita seperti pasangan kekasih lainnya."

"Aku ingin bisa menggenggam tanganmu saat kita jalan bersama, aku ingin bisa menciummu di depan banyak orang, aku ingin kita pergi berkencan, aku ingin semuanya. Seperti pasangan kekasih lainnya."

Rahangnya mengeras. "Ku kira kau mengerti saat aku ber-"

"Aku mengerti. Kita harus menyembunyikan hubungan kita karena kau sudah bertunangan, bukan?" Ucapku. "Aku ingin bisa memperkenalkanmu sebagai kekasihku pada semua orang."

Ia menarik tubuhku agar lebih dekat dengannya. "Beri aku waktu," Ucapnya tepat di depan wajahku.

Aku mendorong tubuhnya agar menjauhiku. "Aku sudah memberimu banyak waktu. Sekarang aku ingin kau memilih. Aku, atau wanita itu?"

Ekspresi wajahnya menyiratkan rasa kekecewaan, kesedihan dan kebingungan.

"Kau tidak bisa memilikiku dan wanita itu secara bersamaan,"

"Aku tid-"

Tepat sebelum ia menyelesaikan ucapannya, handphonenya berdering. Pandangan kami beralih ke atas laci yang berada tepat di samping ranjangku.

Ia mengangkat teleponnya.

"Halo? Brianna?"

Aku tidak suka mendengar nama itu. Matanya sesekali melirik padaku. Namun setiap kali ia memandangku, aku selalu membuang pandanganku keluar jendela.

"Aku akan segera pulang. Baik, aku mencintaimu."

Bukankah itu menyakitkan? Mendengar seseorang yang kau cintai mengatakan 'aku mencintaimu' pada orang lain selain dirimu? Tapi aku sudah terbiasa.

"Aku harus pulang. Brianna membutuhkanku. Kita aka-"

"Kau bahkan lebih memilih wanita itu," Lirihku. Aku kembali menolehkan wajahku sehingga kini kami saling bertatapan. "Aku pun membutuhkanmu,"

Ia mengambil bajunya yang tergeletak diatas lantai lalu memakainya kembali. Ia bahkan tak menghiraukan ucapanku.

"Aku akan menemuimu lu-"

"Kau lebih memilih wanita itu, Justin?" Tanpa kusadari, kini pipiku mulai basah. Aku benci menangis dihadapannya.

"Kita akan membicarakan semuanya nanti. Aku akan menemuimu lusa. Kita akan mem-"

Aku memotong ucapannya.

"Tidak, Justin, dengar aku. Aku sudah muak dengan semuanya. Kau, wanita itu, hubungan ini, semuanya!"

Aku mengambil napas panjang secara perlahan.

"Jika kau lebih memilih untuk menemui wanita itu, daripada menyelesaikan ini semua, jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke apartemenku. Kau dengar itu?"

"Apa kau tahu apa yang kau katakan, Alexis?" Tanyanya.

"Aku tahu apa yang ku katakan,"

Ia meraih jasnya yang berada diatas kasurku. "Kau dalam keadaan emosi. Aku akan menemuimu jika kau sudah menjernihkan pikiranmu."

Ia mulai berjalan kearah pintu. Tanpa berbalik untuk menatapku atau mengucapkan apapun padaku.

"Kau lebih mencintainya, bukan?"

Tidak ada jawaban. Ia membuka pintunya, lalu keluar begitu saja dari apartemenku.

Dan itu untuk terakhir kalinya aku melihatnya.

Lie About Us | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang