14

5.8K 495 20
                                    

"Kau sadar bukan jika akhir-akhir ini yang kita lakukan hanya bertengkar?"

Aku mendesah lega begitu bokongku mendarat diatas sofa yang empuk. Dari belakangku, aku bisa mendengar langkah kakinya yang semakin lama semakin mendekat lalu berhenti tepat di sampingku. Ia duduk disebelahku

"Itu sebabnya aku ada disini," Ucapnya. "Kita akan membicarakan semuanya,"

Aku terkekeh pelan. "Kau pikir keberadaanmu disini bisa merubah semuanya?"

Aku menoleh kesamping untuk menatap wajahnya. Mataku tak bisa lepas dari mata coklat indah miliknya. Aku tidak tahu mengapa, tapi matanya terlihat bersinar. Mungkin itu karena efek cahaya lampu? Aku tidak tahu. Tapi itu sangat indah.

Ia diam.

"Aku mulai lelah dengan semuanya," Gumamku. "Kau jarang tidur bersamaku, kau jarang menemuiku, kita jarang menghabiskan hari bersama dan kau bahkan lebih mementingkan wanita itu."

Ia membawa tanganku ke genggamannya.

"Alexis, beri aku waktu." Gumamnya. "Semuanya akan kembali seperti dulu. Aku, kau dan hubungan kita."

Aku menarik lenganku dari genggamannya. "Berapa banyak waktu lagi yang kau butuhkan?"

Ia tidak bergeming.

"Kau bilang kau akan meninggalkan wanita itu untukku,"

Aku menyisir rambutku dengan jemariku. Aku menutup kedua mataku untuk beberapa detik, kemudian membukanya kembali.

"Aku akan meninggalkannya," Ucapnya. "Aku tak ingin menyakitinya,"

Aku menoleh menatapnya. "Tapi kau menyakitiku, Justin."

"Aku tak bermaksud untuk menyakitimu Alexis,"

Tapi kau sudah terlanjur menyakitiku Justin.

"Kau tahu bagaimana perasaanku?" Tanyaku seraya menatap lurus kedepan. "Saat kau lebih memilih wanita itu daripada aku? Saat kau tak punya waktu untukku sementara kau selalu bisa menyempatkan waktumu untuknya? Apa kau tahu bagaimana rasanya?"

"Aku minfa ma-"

Aku mengangkat telapak tanganku di udara. "Aku tidak ingin mendengar permintaan maafmu,"

"Kau bisa mengatakan maaf padaku berulang kali tetapi jika kau masih mengulangi kesalahanmu itu, permintaan maafmu itu tidak berguna untukku."

"Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Perusahaan ayahnya yang membantuku melewati masa-masa krisis dan-"

Aku memotong ucapannya. "Dan kau tidak bisa menolak saat ayahnya memintamu memacari wanita itu karena kau ingin membalas kebaikan ayahnya." Ucapku. "Aku mengerti Justin."

Ia bangkit dari kursinya, lalu berjongkok di depanku. Jemarinya mengesampingkan rambutku yang menutupi wajahku lalu ia meraup wajahku dengan kedua tangannya.

"Kau tidak akan menyerah begitu saja bukan?" Tanyanya. "Setelah lima bulan yang kita lalui bersama,"

"A-aku tidak tahu," Ucapku.

Ia membawaku ke pelukan hangatnya. Ia memelukku dengan erat, dan sesekali ia menciumi puncak kepalaku.

"Aku tak ingin kehilanganmu Alexis. Aku sangat mencintaimu,"

Aku membenamkan wajahku di dadanya. "Aku merindukanmu Justin."

Ia melepaskan pelukannya. Matanya tidak pernah lepas dari mataku.

"Aku ingin kau berjanji padaku," Gumamnya.

Aku mengernyitkan dahiku. "Apa itu?"

"Jangan pernah tinggalkan aku. Jangan pernah."

Ia menekankan semua kata yang keluar dari mulutnya untuk memperjelas ucapannya.

Aku mengangguk dengan ragu.

Ia membawa tanganku ke genggamannya kembali. Tangannya terasa begitu dingin. Ia mencium kedua punggung tanganku sebelum menempelkannya di kedua sisi wajahnya.

Handphonenya, yang ia letakkan diatas meja berdering dengan cukup kencang. Ia melepaskan tanganku untuk meraih handphonenya. Ia menatapku.

"Brianna," Gumamnya pelan.

"Matikan," Gumamku. "Matikan teleponnya Justin."

"Tidak bisa. Aku ha-"

Aku meraih handphonenya dan aku langsung mematikannya. Ia nampak terkejut atas apa yang baru saja ku lakukan.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyanya.

"Kau ada disini, sekarang ini, untuk menyesaikan masalahmu denganku; masalah hubungan kita. Apa kau tidak ingat?"

Wajahnya memerah. Ia sedang menahan emosinya.

"Aku mengerti Alexis," Gumamnya. "Tapi kembalikan handphoneku,"

Handphonenya, yang berada di genggaman tanganku kembali berdering dan tentu saja aku langsung mematikannya.

Ia bangkit dari posisinya sehingga kini ia berdiri di hadapanku.Rahangnya mulai mengeras.

"Kubilang kembalikan handphoneku Alexis!"

Aku sedikit tersentak ketika ia mulai menaikkan suaranya. Ia baru saja membentakku. Aku mengangkat kepalaku agar bisa menatapnya.

"Rupanya ia sangat penting bagimu?" Ucapku sembari mengembalikan handphonenya.

Wajahnya kembali melembut saat ia sadar atas apa yang ia baru saja lakukan.

"Aku tidak bermaksud untuk membentakmu,"

Aku menyeka air mataku yang terus turun. Aku benci terlihat begitu rapuh di hadapannya.

"Apa aku harus menjadi seperti wanita itu agar kau bisa mencintaiku?"

Ia mecengkram erat kedua pundakku lalu kembali membawaku kedalam pelukannya. Aku menangis di dadanya.

"Apa aku harus menjadi sepertinya sehingga kau mau meluangkan waktumu untukku?" Gumamku. "Wanita itu sangat sempurna bukan? Ia memiliki semuanya. Ia cantik, ia kaya dan ia bisa memilikimu seutuhnya,"

"Alexis, dengar. Aku tidak mencintai Brianna-"

"Kau menyukainya Justin. Kau yang mengatakannya padaku. Kau ingat?"

"Baik, aku memang mulai menyukainya tapi aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Alexis."

Aku menyentuh wajahnya dengan jemariku, menyusuri setiap lekukan wajahnya yang terpahat dengan sempurna.

Lalu aku menciumnya. Begitu cepat dan teramat singkat.

"Aku juga mencintaimu, Justin." Gumamku. Ia tersenyum. "Tapi kita tidak bisa seperti ini terus menerus."

Senyumnya memudar. "A-apa maksudmu?"

"Kau tahu apa maksudku," Ucapku.

Jemarinya menyisir rambut coklatnya. Ia selalu melakukannya jika ia sedang tertekan.

"Kau tidak akan meninggalkanku Alexis!" Ucapnya, sedikit berteriak. "Aku tak akan membiarkanmu pergi!"

Aku beranjak dari posisiku.

"Mungkin itu yang terbaik untuk kau dan aku,"

Aku menggenggam tangannya. Kuharap itu bisa sedikit membuatnya menjadi lebih tenang.

"Aku minta maaf jika kau merasa aku lebih mementingkan Brianna. Aku minta maaf jika aku telah melupakan janji kita. Aku minta maaf. Aku akan melakukan apapun agar kau memaafkanku. Beritahu aku Alexis. Apa yang harus ku lakukan?"

Ia membuat semuanya menjadi lebih sulit dari yang seharusnya.

"Aku tak meminta apapun. Aku hanya ingin kau meninggalkan wanita itu namun nampaknya itu terlalu sulit untukmu,"

Ia menggelengkan kepalanya. "Alexis.."

"Kau tidak bisa memilikiku dan wanita itu secara bersamaan,"

"Alexis, jangan lakukan ini padaku." Gumamnya.

Aku tak yakin jika ini yang kumau. Tapi aku sudah muak dengan semuanya, dan mungkin ini yang terbaik untukku dan ia.

"Aku minta maaf Justin tapi aku ingin hubungan ini berakhir sampai disini,"

Lie About Us | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang