20

5.4K 395 4
                                    

"Madison! Aku pulang!"

Aku menyeret kakiku dengan malas kedalam apartemen. Tak berapa lama Madison keluar dari dapur. Ia tersenyum lebar begitu ia melihatku.

Ia berlari kearahku dan langsung memelukku. "Aku sangat merindukanmu,"

Aku membalas pelukannya. "Aku juga merindukanmu, Mads."

"Kau melewatkan banyak hal selama kau pergi," Ucapnya, begitu ia melepaskan pelukannya.

"Benarkah?" Tanyaku. "Apa saja yang ku lewatkan?"

"Kemarilah,"

Ia menarik tanganku, lalu mendudukanku diatas sofa. Ruangan ini terlihat rapi dan bersih. Apa ia yang membereskan dan membersihkannya selama aku pergi?

"Aku diterima bekerja!"

"Benarkah? Selamat Mads. Kau harus mentraktirku makan dengan gaji pertamamu nanti."

Ia tertawa. "Tentu,"

Aku menyenderkan tubuhku kebelakang. Aku sangat kelelahan. Aku menutup mataku beberapa saat.

"Jaket siapa yang kau pakai? Aku tak pernah melihatmu membeli jaket ini?"

Oh, sial. Aku lupa mengembalikan jaket ini pada Justin. Aku cukup kedinginan semalam. Aku tak membawa baju hangat atau apapun, jadi aku meminjam jaketnya.

Aku kembali membuka mataku. "Ini pemberian ibuku,"

Ia mendekatkan wajahnya pada jaketku, menciumi baunya lalu menjauhkan kembali wajahnya.

"Benarkah? Tapi aku bisa mencium bau pria dari jaket ini. Apa jaket ini milik..." Ia menahan ucapannya.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Milik?"

"Milik Cody?"

Aku memutar bola mataku lalu beranjak dari sofa.

"Hey! Aku hanya bergurau. Apa kau marah padaku?"

"Aku kelelahan dan aku ingin tidur. Kau bisa membangunkanku jika makan malam sudah siap,"

"Apa kau tidak membawa apapun untukku?"

Aku bisa mendengar teriakannya dari belakangku, tepat sebelum aku masuk kedalam kamar.

"Tidak,"

Lalu aku menutup pintunya. Aku melepaskan tas yang sedari tadi berada di punggungku dan melempar jaketnya keatas lantai sebelum aku melemparkan tubuhku ke atas kasur.

Aku membenamkan wajahku diantara kedua bantalku. Aku mengangkat kepalaku begitu mendengar ketukan di pintu.

"Alexis, ada paket untukmu."

Madison berjalan kearahku dengan sebuah kotak berwarna merah muda di tangannya.

"Siapa yang mengirimnya?"

Ia membulak-balikkan paketnya kesegala arah. "Tidak ada nama pengirimnya,"

Aku mengambil kotaknya dari tangannya. "Terima kasih,"

Ia duduk di ujung kasurku. "Bukalah. Aku ingin melihatnya."

Aku menaruh paket itu diatas laci.

"Aku akan membukanya nanti. Aku ingin beristirahat terlebih dahulu,"

Ia mendengus, lalu keluar dari kamarku tanpa mengatakan apapun. Aku meraih kembali paketnya, dan dengan perlahan aku membuka pita merah dan merobek kain pembungkusnya.

Siapa yang mengirimkan ini?

Aku mengambil secarik kertas yang berada di dalam kotak. Jantungku berdebar dengan keras ketika aku membaca tulisan di kertas itu

Kau pikir aku tidak mengetahui semuanya?

Aku langsung melemparkan kertas itu. Apa ini? Apa ini semacam teror? Siapa yang menerorku? Dan mengapa orang ini menerorku?

Kau pikir aku tidak mengetahui semuanya?

Apa maksudnya?

-

Aku berjalan melewati kamar Madison. Pintunya terbuka, dan aku bisa melihatnya yang tengah merias dirinya di depan cermin.

"Kau nampak sangat rapi pagi ini Mads," Ucapku sambil masuk kedalam kamarnya.

"Aku akan pergi bekerja. Kau ingat?"
Aku duduk diatas kasurnya. "Aku tidak ingat jika kau sudah mempunyai pekerjaan,"

"Apa yang kau terima dari paket kemarin?" Tanyanya.

Sebuah teror, Mads.

"Bukan apa-apa," Gumamku. Aku menyelipkan helaian rambutku kebelakang telinga.

"Apa itu dari penggemar rahasiamu?" Tanyanya. Ia membalikkan badannya. "Atau Cody?"

Aku menggigit bibirku. "Cody,"

"Aku sudah tahu jika ia menyukaimu!"

Aku beranjak dari kasurnya. "Sudahlah Mads, jangan membahasnya. Kau akan terlambat jika kau tidak pergi sekarang."

Ia menatap arlojinya. "Oh, kau benar. Kalau begitu sampai jumpa."

Ia mencium pipiku sebelum keluar dari kamarnya, meninggalkanku dengan keheningan yang meliputiku. Aku kembali berbohong padanya. Tapi, aku tidak mungkin mengatakan jika seseorang menerorku bukan?

Aku keluar dari kamar Madison dan kembali kedalam kamarku. Kotak itu masih ada di tempat terakhir kali aku menyimpannya. Setiap kali aku melihat kotak itu, aku semakin ketakutan. Aku mengambil handphoneku dan memutuskan untuk menelepon Justin.

"Halo? Alexis? Ada apa? Mengapa kau meneleponku pagi-pagi?"

Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. "Seseorang menerorku, Justin."

"Seseorang apa?"

"Ada yang mengirim paket untukku kemarin. Dan isinya secarik kertas yang bertuliskan 'kau pikir aku tidak mengetahui semuanya'."

Hening untuk beberapa saat. "Aku akan menemuimu sekarang,"

Aku menutup teleponnya. Aku membawa kotak itu keruang tengah, sambil menunggu Justin datang.

Setelah lima belas menit berlalu, aku mendengar seseorang membuka pintu. Aku menoleh kebelakangku.

"Dimana kotaknya?" Tanyanya.
Ia menatapku, lalu tatapannya beralih pada meja.

Ia memegang secarik kertasnya, membacanya sebelum meremasnya dengan tangannya. Ia terlihat sangat... Marah.

"Aku takut, Justin." Gumamku perlahan.

Ia menoleh kearahku, lalu memelukku erat.

"Kau tidak perlu takut. Ada aku bersamamu." Gumamnya.

Aku menangis di dadanya. Aku tidak melakukan apapun. Mengapa siapapun yang mengirimkan paket ini padaku melakukannya?

"Bagaimana jika ia terus menerorku dengan mengirimkan paket lainnya?"

"Kau harus tinggal di rumahku,"

Aku menarik diriku dari pelukannya. "Apa?"

"Itu satu-satunya cara agar aku bisa melindungimu," Ucapnya. "Kau harus tinggal bersamaku. Sementara."

"Tapi bagaimana dengan Brianna? Bagaimana jika ia tahu?"

Aku memandang wajahnya dengan seksama. "Kita akan memikirkan itu nanti,"

Aku kembali memeluknya. Mungkin itu ide yang bagus. Aku tinggal bersamanya, di rumahnya selama beberapa hari. Mungkin dengan itu, terornya akan berhenti. Tapi bagaimana jika suatu hari Madison yang menerima paket yang di tujukan untukku?

"Aku sangat ketakutan Justin," Aku semakin memelukknya erat.

"Aku bersamamu Alexis. Kau tidak perlu takut,"

Tapi ia tidak selalu ada disisiku. Maksudku, ia harus pergi bekerja bukan? Sial. Alexis. Kau harus berhenti memikirkan hal-hal yang buruk. Kepalaku mulai terasa berat.

"Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitimu,"

Lie About Us | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang