7

6.4K 447 1
                                    

From: Justin.
Aku ada di depan pintu apartemenmu.

Aku hampir mengeluarkan kembali teh yang baru saja masuk melewati kerongkonganku. Mataku melirik pada jam. 12:15. Untuk apa ia datang sesiang ini? Handphone yang berada di tanganku kembali bergetar.

From: Justin.
Apa kau akan membukakan pintunya, Alexis?

Dengan sedikit tergesa-gesa aku berjalan kearah pintu. Aku tahu jika ia tidak suka menunggu. Ia langsung masuk begitu saja setelah aku membukakan pintunya.

"Kau tidak pergi bekerja hari ini?" Tanyanya.

Aku menutup kembali pintunya secara perlahan. "Tidak,"

"Aku pergi ke tempat kerjamu tadi," Gumamnya. "Dan aku tak dapat menemukanmu. Itu sebabnya mengapa aku kemari."

"Aku mengambil cuti selama seminggu penuh,"

"Dan kau tidak memberitahuku?"

"Aku minta maaf karena tidak memberitahumu,"

Ia terdiam. Aku pun terdiam. Apa ia marah karena aku tidak memberitahunya?

"Apa kau ingin kubuatkan minum?" Tanyaku setelah keheningan meliputi kami cukup lama.

"Aku tidak haus," Gumamnya. Lalu ia berjalan begitu saja. Aku mengikuti langkahnya dari belakang.

Ia duduk di atas sofa, lalu meneguk habis teh yang baru saja kubuat. Aku memutar bola mataku. Oh, tentu saja, ia tidak haus.

"Apa yang kau lakukan disini?" Gumamku. "Bagaimana jika pegawaimu mencarimu?"

"Aku hanya ingin menemui kekasihku," Ucapnya yang membuat jantungku berpacu keras. "Apa itu salah?"

"Tidak, tapi Just—"

"Shh, Miss Johnson, bisakah kau menutup mulutmu untuk beberapa menit?" Gumamnya. "Atau, apa kau ingin aku yang melakukannya untukmu?"

Aku mengernyitkan dahiku.

"Aku tidak mengerti," Gumamku. Ia tertawa melihatku yang tengah kebingunan.

Ia mendekat kearahku. "Kau ingin aku menunjukannya?"

Wajahnya hanya beberapa senti saja dari wajahku. Sebuah seringai kini menghiasi wajahnya dan kini aku baru mengerti.

"Buat aku diam, Mr Bieber."

"Tentu, Miss Johnson."

Hembusan napasnya menerpa wajahku. Ia meraup wajahku dengan lengannya. Aku memejamkan mataku setelah aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Sebuah ciuman yang lembut dan penuh cinta, kini berubah menjadi ciuman yang penuh nafsu saat ia membawaku ke pangkuannya.

"Jadi itu caramu untuk membuatku diam?" Gumamku sembari mencoba untuk mengatur deru napasku.

Ia menyingkirkan helaian rambutku yang berada di wajahku. "Kurasa itu satu-satunya cara untuk membuatmu diam,"

Aku memutar bola mataku lalu aku mengalungkan tanganku pada lehernya. Sesekali aku meremas rambutnya dengan jemariku. Aku menyukai rambutnya karena rambutnya sangat lembut.

"Esok acara kelulusanku," Gumamku perlahan. "Kau akan datang, bukan?"

"Tentu saja," Gumamnya. "Aku sudah berjanji padamu bukan?"

Aku tersenyum mendengar jawabannya.

"Aku merindukanmu," Ucapku. Aku menatap kedua mata coklatnya yang indah.

Ia memegang pinggangku dengan kedua tangannya. "Aku juga merindukanmu,"

Aku bermaksud untuk memberinya sebuah ciuman singkat di bibir namun ia menahan kepalaku agar tidak melepaskan ciumannya. Lidahnya kembali bermain-bermain di dalam mulutku.

"Mmhm," Sebuah desahan kecil keluar dari dalam mulutnya setiap kali aku—secara tidak sengaja, tentu saja—bersentuhan dengan daerah miliknya.

Ia melepaskan ciumannya. Aku tak yakin jika ia datang ke apartemenku hanya untuk menemuiku saja. Ia memejamkan matanya untuk sepersekian detik lalu kembali membukanya. Matanya menatap lurus kedepan, kebelakangku. Kurasa ia sedang menatap jam.

"Kita masih memiliki waktu 30 menit lagi,"

"Kita?"

"Kau dan aku,"

"Tidak, maksudku, apa arti dari 'kita masih memiliki waktu selama 30 menit lagi'?" Tanyaku mengutip ucapannya.

Ia mengedipkan matanya padaku namun tak mengatakan apapun. Tangannya mulai menyusup ke kedalam bajuku, mengelus lembut punggungku.

"Aku merindukanmu," Gumamnya. Ia menarik bajuku melewati kepalaku. "Aku juga merindukan sentuhanmu,"

Ia memberikan ciuman-ciuman kecil pada leherku. Aku mengigit bibirku dengan cukup kuat untuk menahan mulutku untuk tak mengeluarkan desahan apapun. Tangannya mulai menyusup kebalik celana pendek yang kupakai.

"Justin," Aku mencengkram jas yang ia pakai dengan tanganku.

Disaat aku tengah menikmati semua sentuhannya, handphonenya, yang berada disaku celananya berdering.

"Sial!" Sebuah sumpah serapah kecil keluar dari mulutnya.

Dengan perlahan aku turun dari pangkuannya. Ia mengeluarkan handphonenya dari dalam celananya. Ia menatap layarnya selama sepersekian detik.

"Bisakah kau menungguku di kamarmu?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Ia mengecup bibirku lagi sebelum aku pergi menuju kamarku.

Aku melemparkan tubuhku keatas kasurku yang empuk. Aku membuka celanaku, sehingga kini aku hanya memakai bra dan celana dalamku. Aku menunggu Justin dengan sabar.
"Aku minta maaf atas gangguannya," Ucap Justin yang berdiri diambang pintu. Ia berjalan kearahku.

"Permintaan maaf di terima," Ucapku yang membuatnya tersenyum.

Aku beranjak dari kasurku. Aku berdiri di depannya lalu dengan perlahan aku mulai membuka bajunya. Aku membuka dasinya terlebih dahulu, lalu jasnya. Kemudian jemariku mulai melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Kini ia hanya memakai celananya.

Aku menarik rel seleting celananya. Ia membantuku untuk melepaskan celana panjangnya. Kini ia hanya memakai celana Calvin Klein miliknya.

"Kau sudah tidak sabar, huh?"

Aku terkekeh pelan. "Kurasa begitu,"

Ia mendorong tubuhku dengan lembut keatas kasur. Jemarinya menggenggam tanganku, lalu ia meletakan kedua tanganku di samping kepalaku. Matanya tak pernah lepas dari mataku.

"Aku mencintaimu," Gumamnya. "Aku sangat beruntung bisa memilikimu,"

Itu hal termanis yang pernah ia ucapkan padaku.

"Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri, Justin."

Ia melepaskan genggaman tangannya. Tangannya beralih pada punggungku. Ia melepaskan pengait braku, lalu ia menyeringai.
Dan ia melakukan hal yang sama pada celanaku. Aku mengangkat pinggulku agar memudahkannya untuk menarik lepas celanaku.
Kini aku tak memakai apapun yang menutupi tubuhku.

"Kita akan melakukannya dengan cepat dan... Keras."

Lie About Us | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang