01

21.7K 1.6K 122
                                    


Kamu sudah tahu jika aku berpacaran dengan Bima. Sudah. Lalu kamu ingin apa lagi dengan kisah kami? Kalau kamu ingin tahu bagaimana cara kami bertemu, aku dengan senang hati akan menceritakan kepadamu.

Ada satu syarat yang harus kamu penuhi saat membaca tentang kisah kami : Jangan protes. Nikmati ceritaku dengan secangkir minuman hangat dan kue-kue manis untuk menemanimu. Hanya saja, aku tidak bertanggung jawab jika kamu akan diabetes karena paduan ini.

Kalian sudah masuk teritorial kami, duduk yang tenang dan jangan biarkan orang lain mengganggu kalian saat membaca.


[*]

Adalah sebuah hal klasik saat sebuah cerita diawali dengan pertemuan. Tapi memang begitulah fakta yang sudah pernah terjadi di antara kami. Klasik, memang. Namun, kalau dipikir-pikir dengan logika, kalau kami tidak bertemu, maka tidak akan ada kisah ini.

Aku bertemu dengan Bima saat tahun ajaran baru; aku naik ke kelas sebelas dan menjadi panitia MOS. Ini tahun pertama kali aku menjadi pendamping kelas untuk siswa baru dan kebetulan bertanggung jawab untuk kelas Bima, sepuluh-delapan, bersama dengan senior cewek.

Grogi! Meski saat SMP aku pernah ikut menjadi panitia MOS di sekolah lalu, tetapi saat ini berbeda.

Dulu, aku melihat anak-anak ingusan dengan seragam putih-merah dengan pikiran biasa. Asik-asik saja. Namun, sekarang pemandangan yang terlihat adalah cowok puber dengan bulu kaki yang mulai tumbuh dengan celana di atas lutut, dan cewek dengan bedak tipis di wajah mereka.

Aku merasa janggal saat melihat siswa cowok; terbesit dalam benak, apa aku dulu senorak itu?

Bisa dilihat jika mereka kucel, masih polos tanpa sabun wajah dan pelembab yang menempel di wajah mereka. Rambut mereka baru di potong pendek (ini kebijakan sekolah) yang meninggalkan kesan lugu. Seragam lengkap dengan dasi. Yaampun! Culun.

Aku bersyukur sekarang sudah kenal yang namanya merawat diri dan tebar pesona. Jadi, aku sekarang terlihat lebih stunning daripada siswa baru.

"Kalau kakak yang ini namanya...," sebuah suara di sebelah mengagetkanku. Kak Dina menyenggol bahuku, mengkode untuk memperkenalkan diri.

Aku tersenyum canggung. "Oh iya, nama saya..."

"Kak Pelix!" seru sebuah suara.

Aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Terkejut. Pun semua pasang mata ikut memperhatikan satu sosok tinggi kurus di bangku paling belakang.

"Eh? Adek orang Sunda? Cadel huruf F ya?" tanyaku.

Dia tertawa. "Bukan. Saya tetangga RT sebelah kakak, kok. Mau kenalan dari dulu, tapi malu. Cuma tau kalau nama Kakak itu Pelix."

Aku menggaruk kepala, bingung mau menjawab seperti apa. "Felix. Panggil saja Felix. Saya lahir pas Natal, ngomong-ngomong. Jangan lupa kasih kado kalau pas saya ulang tahun."

"Kalau saya Bima, Kak. Saya lahir pas hari Ibu. Kita lahir di bulan yang sama, lho. Jangan-jangan kita jodoh."

Aku melotot; para siswa baru di kelas tertawa, pun Kak Dina. Banyak yang men-ciye-kan si Bima yang terang-terangan menggodaku. Sial. Ini anak mulutnya pengen kusumpal pake lap pel sekarang juga.

"Wah, saya nggak minat sama cowok. Saya sudah punya pacar lho, ya. Cantik."

Kudengar beberapa anak perempuan mendesau kecewa. Aku terkikik geli dan mengedipkan satu mata ke arah kak Dina untuk mengikuti kebohonganku; aku masih jomblo.

My Pervert BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang