Part 18

7.4K 749 116
                                    

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan di otakku setelah siaran selesai. Aku dan Zora menutup acara siaran rutin kami.

Berusaha tetap tertawa walaupun terasa garing. Kosong. Dan beberapa kali tawa yang lolos dari bibirku terasa palsu.

Berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri; apa aku berhak menyalahkannya? Maksudku, menyalahkan Khamga yang memberikan kode keras kalau dia jatuh cinta lagi.

Jawabannya ... tidak sama sekali.

Tidak ada yang salah atau benar dalam situasi seperti ini. Tidak ada pihak yang harus disalahkan karena perasaannya. Tidak ada juga pihak yang harus dibela apalagi dikasihani oleh orang lain karena kesalahan satu diantaranya.

Tidak Khamga. Tidak Keanisa. Tidak juga aku yang berhak disalahkan. Terserah orang mau mengatakan apa tentang kami--tentangku lebih tepatnya.

Menghancurkan hubungan orang lain secara perlahan? Masuk ke dalam hidup orang lain yang sudah memiliki kekasih? Mengacak-acak hubungan orang lain hingga menyakiti salah satunya?

Bullshit.

"Lo lagi kenapa sih sebenernya? Gue perhatiin daritadi, sepanjang siaran lo tuh datar aja?" pertanyaan Zora seolah menghentakku kembali ke alam sadar. Sedari tadi saat siaran, aku sempat risih karena tatapan ingin tahu dari Zora, dan sepertinya terdapat tanda tanya besar di dalam otaknya.

"Nope," jawabku singkat. Tapi dari kilatan matanya, Zora tahu aku sedang berbohong. Cepat-cepat aku menundukkan kepala dan melepas earphone yang sudah mati sejak siaran berakhir, yang masih menempel di telingaku.

"Jangan bohong. Bukan gue yang lo bohongin, tapi diri lo sendiri."

Ucapannya membuat gelombang itu mengendap di telinga hingga pikiranku. Atau aku harus bercerita pada Zora mengenai ini semua? Apa mungkin? Apa harus?

Ah, cepat-cepat aku menepis pikiran untuk menceritakan tentang hal yang membuatku bingung tiap detik ini.

Zora menggeser kursinya, lebih mendekat ke arahku. Dia melirik sekilas pada jam tangannya. "Udah malem. Pulang yuk! Gue gak mau maksa lo buat cerita kalau emang lo masih berat buat ceritain," katanya, menampilkan senyum yang menghangatkan siapapun saat melihatnya.

Akupun ikut tersenyum--tidak sampai ke mata. Menggantung earphone pada gagang microphone kemudian meraih tasku.

"Ayo, pulang!" ajaknya lagi setelah mengenakan jaketnya dengan rapi, meraih tasnya dan menarik pergelangan tanganku dengan lembut, memasukkan tangan kananku ke dalam saku jaketnya.

***

Langit malam semakin gelap. Hanya lampu ibukota yang mampu menerangi perjalanan kami. Kesunyian masih merambat di antara aku dan Zora.

Dia menekan tombol play pada radio mobilnya. Melirikku sekilas, lalu tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan nyaris dipaksakan.

"Gue berasa lagi ditemenin manekin pasar malem," sindirnya, memecah kesunyian di antara kami. Suaranya tenggelam begitu saja, bercampur jadi satu dengan suara penyiar di dalam radio itu.

Dia melepas sabuk pengaman saat mobilnya tanpa kusadari sudah berhenti di pinggir jalan.

Zora meregangkan tubuhnya sambil menguap kemudian menyandarkan tubuhnya kembali bersandar di jok mobil. "Mau makan gak?" tawarnya.

"Engga ah, gak mood makan. Ngapain sih pake segala berhenti? Gue capek nih."

"Capek hati?"

Aku melongo bingung.

OreologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang