Epilog

13.8K 1K 206
                                    

"Gue harap, analogi Oreo yang gue ceritain tadi bisa bikin kalian mikir; kalau sebuah prinsip nggak selamanya benar. Bisa aja prinsip yang lo punya malah menjatuhkan lo, kemudian membiarkan lo terhanyut hingga akhirnya penyesalan yang datang menghampiri."

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, menghela napas lega setelah akhirnya menyelesaikan cerita masa lalu yang sangat melekat dan memberiku pengalaman─ah, penyesalan hingga saat ini.

"Seperti yang gue bilang, don't judge me really as hell after you listen my analogy yang bikin telinga kalian panas," kataku sarkas, diselingi tawa karena meremehkan ucapanku sendiri.

Sejak awal, aku sudah yakin akan ada banyak orang yang membodohiku karena berperilaku plin-plan dan bersikap keras kepala, maupun prinsip menyebalkan yang dulu kupegang teguh.

Karena aku pernah berkomitmen tanpa punya kebebasan, aku menginginkan suatu hubungan yang tidak saling mengekang. Tapi itu semua tidak kudapat saat bersama orang itu—Zorama. Hingga yang terjadi aku mengabaikan perasaannya, hanya karena satu hal; aku takut jatuh di lubang yang sama, apabila aku menerimanya kembali lebih dekat di hidupku.

Tapi yang ada, saat ini aku justru menyesali pernah menggenggam erat prinsip itu hingga akhirnya aku kehilangan sosok itu. Sosok yang mengajariku tentang makna itu, tanpa syarat. Dan orang itu adalah Zorama. Dia yang mampu mengajariku apa itu mencinta, menghargai, hingga melindungi.

Saat aku terus mengabaikannya, hingga akhirnya dia lelah dengan pengabaian yang kulakukan dan memilih pergi hingga saat ini.

"Terimakasih untuk kalian yang sudah rela mendengarkan analogi Oreo ini dan mungkin saja di antara kalian pastinya membenci gue. Silahkan. Karena gue gak bisa memaksa seseorang untuk menyukai pemikiran gue, prinsip gue, hingga analogi Oreo yang gue sampaikan." Mencoba menghela napas panjang. Aku membiarkan para pendengar mendengarkan instrumen yang menenangkan untuk menemaniku.

"Berhubung sekarang udah malem banget, kita sampai di penghujung acara. Gue tutup aja ya Oreolove ini. Jangan lupa ... besok, kirimkan analogy kalian untuk gue pilih lalu akan gue bacain, kita sharing tentang Analogi Oreo yang kalian punya."

Setelah menjelaskan, aku beralih pada layar komputer di sampingku, memilih beberapa lagu agar para kru mau juga bisa menikmati lagu yang kupilih sebagai penutup.

"Kalau begitu, sebagai penutup ... gue akan puterin lagu Everything Has Changed by Taylor Swift. Karena gue ngerasa semuanya udah berubah. Tapi gue masih terus berharap kalo keadaan gak beneran berubah setelah apa yang gue lakuin dulu. Then, see you later and ... check it out!"

****

Jangan tanya apakah aku merindukannya. Karena aku sangat merindukannya, aku menginginkan dia kembali di sini bersamaku. Setelah tiga tahun lamanya kami tidak saling bertukar kabar. Selama ini yang kutahu hanya kabar mengenainya dari teman-temanku semasa kuliah dulu. Dia baik-baik saja. Sepertinya dia menikmati hidupnya di sana tanpa adanya aku.

Bagiku, itu adalah hal setimpal, dan rasanya aku pantas mendapatkan kenyataan itu─kalau dia bahagia tanpaku.

"Udah mau balik, Ta?" tanya Deon yang kusahuti dengan senyum tipis sambil mengangguk. Ah ya, Deon juga bekerja di bawah naungan Oreo Company sama sepertiku. Bedanya dia menduduki posisi produser. "Hati-hati ya, udah malem nih," pintanya, lalu aku berpamitan padanya.

Sambil menunggu taksi yang lewat di depan kantor ini, aku memijat sesekali kakiku yang terasa kebas akibat sepatu heels yang kugunakan.

"Mendingan lo balik bareng gue aja, daripada nungguin taksi gak jelas," ucap seseorang di belakangku. Membuatku langsung bergerak refleks untuk mengeratkan tas yang kubawa.

Ada perasaan tidak mengenakkan saat aku mendengar langkah sepatu semakin mendekat. Aku bergerak menjauh, tanpa niat untuk mengintip siapa orang itu.

"Lo takut? Lo kenapa pulang sendirian? Emang gak ada yang jemput lo?" tanya orang itu, meyerbuku. Langkah kaki itu semakin mendekat dan setelahnya, orang itu menarik tasku, membuatku menjerit pelan karena tasku sudah berada di genggamannya.

"Bangsat!" hardikku membabi buta, langsung saja kupukul orang itu menggunakan heels yang kugunakan. Dia meringis, ikut berteriak dan mengaduh kesakitan.

"Ta! Anjrit lo kok brutal banget sih? Ini gue, Zora. Woy! Dengerin gue, ini gue ... Zorama Gerandika!" teriaknya masih menutupi wajahnya dengan tasku.

Tersadar akan teriakannya, aku menurunkan heels kupakai untuk memukul tubuh tegap itu. Tubuhku mematung. Aku memerhatikan postur tubuh lelaki di hadapanku. Ia masih meringis, menunduk tanpa niat memperlihatkan wajahnya padaku.

Tubuh tegap itu. Wangi tubuh itu, wangi tubuh yang sangat familiar di indera penciumanku. Mataku menyipit, memerhatikan hidung mancungnya.

"Udah? Gak mukulin gue lagi?" tanyanya retoris. Aku menggeleng samar, aku hafal dengan suara bariton khasnya. Dan saat mata hazel itu menatapku, tubuhku membeku seketika. Dia berhasil mengunci mataku hanya dengan tatapannya.

Dia berdecak, membuatku tersadar lalu memutuskan pandangan kami. "Lo kenapa dah? Kaget liat gue makin ganteng? Biasa aja dong, iya ... gue tau gue ganteng, gue ngangenin, gue─." Menjijikan, dengan refleks aku mendekap bibir tipis itu. Apapula dia ini, sikap percaya dirinya itu tidak berkurang sedikit pun.

"Bangkek lo, Zo! Gue kira tadi copet. Lo kapan balik? Kok gak ngabarin? Lo kenapa ilang? Kok lo ngelupain gue? Kok lo jahat? Kok lo sialan? Terusin aja, Zo ... terusin, gak usah balik aja sekalian."

"Mmmppphhh mmm hm hmmmppp."

"Apaan sih lo, ngomong yang bener dong!" tangan besarnya melepaskan tanganku yang sejak tadi masih menutupi mulutnya.

"Gimana gue bisa ngomong kalo mulut gue dibekep? Itu pertanyaan mau dijawab yang mana dulu?"

"Terserah!"

"Okay, gue jawab ... gue balik kemaren, trus nyokap gue cerita katanya lo diterima kerja di Oreo Company, dan asal lo tahu, gue gak ilang. Gue merhatiin lo dari anak-anak, mereka yang ngabarin gimana keseharian lo ke gue. Rasanya setengah mati gue nahan buat ngelupain lo, karena kata anak-anak setelah beberapa minggu gue pergi lo udah balik kayak biasanya, berarti lo udah bahagia tanpa gue, lo udah mandiri," sahutnya, sambil menghela napas panjang. Dia menatap mataku, lekat. Membuatku lagi-lagi terkunci pandangannya.

"Dan ... gue gak jahat, gue setengah mati nahan kangen, dan rasanya sekarang ... udah gak ada kata-kata lagi gimana senengnya gue bisa liat lo." Dia mengusap tanganku yang menggantung di sisi tubuhku, masih dengan senyumannya yang belum memudar.

Aku menundukkan kepalaku, karena rasanya ... ada banyak sekali yang ingin kukatakan padanya, tapi itu semua kata-kata itu lenyap dan pergi entah kemana.

Zora merentangkan tangannya. "Lo yakin gak kangen gue? Gak mau meluk gue?" tanyanya meledek, membuatku tertawa sekencang-kencangnya. Kutenggelamkan wajahku pada dada bidangnya, rasanya jantung kami beradu saat ini, melepaskan segala rasa yang tidak bisa diungkapkan lagi.

Dia, Zorama Gerandika. Sudah kembali. Dan aku tidak mengharapkan apapun selain melakukan sebuah tindakan yang sudah seharusnya kulakukan sejak dulu, mempertahankannya. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk melupakan prinsip itu, kalau aku masih diberi kesempatan lagi olehnya, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

"Ta?" panggilnya, membuatku mendongak. "Lo mau nikah muda gak?" tanyanya, membuatku melongo karena terlalu terkejut. Kurasa aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaannya.

====================================================================================







27 Desember 2015

ALHAMDULILLAH TAMAT! HUTANG GUE LUNAS KAN YAAAAAAA

Makasih yang udah nebak prinsipnya Ata secara benar yang gue sembunyiin.

edvietteanakcl, megapuspita20, megapuspita20, luke-ntutartmiza





OreologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang