Part 22

11K 967 263
                                    

23 Desember 2015
Perhatian!!!
Mohon dibaca!!!
Part ini terlalu banyak narasi, jangan di skip. Karena inti dari cerita ada di dalam narasi tersebut.

Lagu yang dipake untuk part ini:
Raisa - Pemeran Utama.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Atania Romaria?" panggil Aira mengejutkanku, membuatku harus mengerjapkan mata beberapa kali. Aku menoleh ke sumber suara, menatap kosong ke arah Aira yang sedang memerhatikanku dengan sunyum miris.

"Udah dong, Ta. Jangan bengong terus. Itu dimakan roti bakarnya, keburu gak enak," lanjutnya. Aku masih bergeming. Hanya mengangguk sekilas, tanpa minat merespon ucapan Aira karena fokusku saat ini lebih tertuju pada mading yang letaknya tak jauh dari tempat kami duduk.

Ini sudah hari kelima tanpa Zora. Melihat mading itu, rasanya ada sekeping rasa yang tidak bisa dijabarkan seperti apa rasanya. Mading yang berisi tentang pemberitahuan kalau universitas ini sudah mengirim beberapa mahasiswanya untuk menjalani program pertukaran pelajar dengan kerja sama salah satu kampus lain. Salah satunya ada Zora di sana.

Saat itu Zora pergi tanpa memberiku kabar sedikit pun, tanpa memberikan isyarat apapun kapan dia akan berangkat. Pilihan Zorama untuk mengikuti program itu sudah sangat bulat, itu berarti dia tidak bisa wisuda di Jakarta, dia belajar di sana hingga lulus perkuliahan jika dia memilih hal itu. Walaupun sebenarnya Zora bisa saja pulang untuk wisuda di sini, tapi aku yakin bukan itu jalur yang dia pilih.

Semenjak kepergian Zora beberapa hari yang lalu, aku seperti merasa ada yang kurang, ada yang menghilang dari hidupku. Aku merasa ada lubang besar yang menganga lebar di ujung hatiku. Lubang kosong tak kasat mata yang membiaskan hampa. Menyakitkan.

Lubang itu yang membuatku seolah terus menyalahkan diriku sendiri, menghancurkan segala prinsip yang kupegang teguh sejak dulu. Menghancurkan keyakinan diriku kalau aku tidak membutuhkannya. Dan ternyata keyakinan itu palsu.

Aku kalah.

Aku menginginkan Zora ada disisiku.

"Atania?" panggil Aira lagi, entah sejak kapan dia sudah berpindah duduk di sampingku.

Sejak hari pertama Zora pergi, aku tidak lagi bisa mengeluarkan air mata. Tidak ada lagi ekspresi yang bisa kukeluarkan. Hanya ada rasa perih dan bayang-bayang kalau Zora masih ada di sekitarku, dia tidak pergi. Dia masih di Jakarta, bersamaku.

"Kita capek, Ta liat lo kayak gini terus. Cuma bisa bengong, gak mau makan, minum doang itupun kalo lo haus, ngomong seadanya. Gue kayak gak kenal lo, Ta." Kali ini Deon yang mengeluarkan suaranya.

Aku mendengar helaan napas berat dari orang di sampingku--Levin, dia mengacak rambutnya sekilas. "Masih mending lo nangis kejer sehari dua hari deh, Ta ... daripada kayak gini."

"Lo udah coba ngehubungin dia?" tanya Deon.

Kali ini aku merubah posisi dudukku, menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Aku menghela napas berat, kalau saja Deon tahu kalau aku sudah mencoba menghubunginya, tapi untuk membalas pertanyaan Deon terasa berat. Akhirnya aku hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Yon!" bentak Aira. "Dia udah coba ngehubungin Zora dari hari pertama, tapi emang Zoranya aja yang gak mau ngerespon."

Deon membulatkan matanya, diikuti dengusan ringan dari Levin yang duduk di sebelahnya. "Sorry, Ta ... tapi kayaknya dia beneran mau coba pergi dari lo," ucapnya, membuatku menundukkan kepalaku dengan menghela napas berat. Ada kemungkinan itu benar.

"Wajarlah!" sahut Levin tanpa menoleh ke arahku, dia mendengus kesal sambil menaruh kacamatanya. Aku menangkap nada sarkas yang melebihi batasnya dari seorang Levin.

OreologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang