DUA

663 49 4
                                    

"Bila cinta berarti memejamkan mata, lalu apa yang kurasa ini?

Atau ini artinya aku tak pantas mencintaimu?

Atau mungkin juga aku tak pernah terlihat di matamu,

sebagai seorang yang pantas dicintai."

***



"Uhuk."

Seorang anak lelaki menekan dada teman perempuannya dengan dua tangan. Air terciprat dari dalam mulut si anak perempuan itu bersamaan dengan batuknya tadi. Perlahan-lahan matanya terbuka. Dengan napas masih terengah-engah, si anak lelaki itu segera memeluknya.

"Ji-Jiro," desis Arhel, si anak perempuan itu.

Jiro melepaskan pelukannya. "Bodoh!" Ia menjitak kening Arhel pelan, "sudah tahu belum bisa berenang, main nyemplung aja ke kolam sendirian. Aku udah bilang kan, tunggu aku sebentar," omelnya panjang lebar.

Arhel cemberut. Dirinya memang belum bisa berenang dan Jiro berjanji akan mengajarinya. Tapi hari ini dia tak sabar menunggu teman lelakinya itu. Diputuskannya untuk masuk ke air sebelum Jiro datang. Tidak tahunya dia malah kram di bagian kaki dan membuatnya nyaris tenggelam di kolam sedalam dua meter itu. Beruntung Jiro cepat datang, kalau tidak....

Sekali lagi Jiro memeluknya. "Jangan ulangi hal bodoh kayak gini lagi, oke?"

Arhel mengangguk dalam pelukan Jiro. Dadanya berdebar hebat. Berada dalam pelukan Jiro membuatnya serasa meleleh. Oke, dia tahu mereka masih SMA, masih ABG. Tapi perasaan ini, bukan hanya perasaan suka biasa. Arhel jatuh cinta pada Jiro sejak mereka masih SMP. Meskipun Jiro tak pernah menyadari itu.

Cowok itu merenggangkan pelukannya. Kemudian tiba-tiba terkekeh saat melihat wajah Arhel yang tampak pias. Tangannya terulur hingga menyentuh kepala cewek yang sudah menjadi sahabatnya sejak kelas dua SMP ini. Diacaknya poni lempar yang kini basah seluruhnya itu seperti kebiasaannya.

Arhel menepis tangan besar di kepalanya itu dengan sigap. Bibirnya mencebik. Dia tahu Jiro sedang mengejeknya.

"Sebelum kita latihan, mending kita sarapan dulu," ajak Jiro kemudian.

"Aku udah sarapan kok," balas Arhel sengit.

"Ya udah, kalau gitu temani aku makan." Tanpa menunggu jawaban dari Arhel, Jiro segera menarik lengan gadis itu hingga tubuhnya terangkat dan dengan terpaksa harus mengikutinya.

Mereka duduk di sebuah gazebo yang menjadi fasilitas di kolam umum ini. Seorang pelayan kafe terlihat mendatangi keduanya dengan senampan menu sarapan yang ternyata sudah dipesan oleh Jiro sebelumnya.

Sejenak Arhel tergoda dengan aroma setumpuk pancake berwarna hijau yang ditengarainya sebagai pancake pandan dengan saus karamel yang meleleh di atasnya. Dia sampai mengendus-endus penganan itu karena aroma sedap menggelitik hidungnya.

"Sudahlah, sarapan lagi aja deh. Nih." Jiro menyodorkan seporsi pancake beraroma moka yang disiram dengan saus cokelat kesukaannya.

Gadis itu menggigit bibirnya. Bagaimana bisa dia akan tahan pada aroma kopi yang menjadi kegemarannya? Tidak. Akhirnya Arhel pun menyerah dan ikut melahap setumpuk pancake di hadapannya seperti yang dilakukan oleh Jiro.

Cowok di depannya mengulum senyum. Dia tahu Arhel takkan bisa menolak setiap makanan atau minuman beraroma kopi seperti ini. Dia tahu benar, temannya ini takkan tahan jika semenit saja mengendus aroma sedap tanpa memakannya.

"Jiro."

"Hm. Apa?"

"Aku boleh tanya sesuatu nggak?"

SEANDAINYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang