"Cinta tidak egois.
Dia hanya tak mengenal kompromi."
***
Aku dan Petra duduk bersisihan di beranda rumahku. Sudah lewat seminggu sejak dia datang melamarku bersama orang tuanya, Petra baru datang lagi ke sini, itu pun atas permintaanku. Mungkin pekerjaannya sedang banyak, makanya aku mengalah dengan menghubunginya terlebih dulu.
Kami masih saling berdiam sejak sepuluh menit yang lalu. Di atas meja kayu pendek yang berada di antara kursi yang sedang kami duduki ini, sudah tersaji setoples kue kering dan satu pitcher berisi jus jeruk serta dua gelas tinggi yang diletakkan di atas baki. Kami bahkan belum menyentuh mereka. Aku sudah membahas pertemuan kami ini secara garis besar di telepon, jadi kemungkinan Petra sedang menungguku memulai pembicaraan.
Sebuah dehaman keluar dari mulut Petra, akhirnya.
Tiba-tiba jantungku berpacu lebih cepat. Ada rasa takut menguasai hatiku. Takut akan reaksi Petra nanti ketika kukatakan aku tidak bisa menerima lamarannya. Tapi akal sehatku segera menguatkan perasaan yang mulai melemah. Kalau sekarang aku tidak memutuskan sesuai dengan hati nuraniku, maka selamanya aku takkan pernah merasakan bahagia.
"Jadi, ada apa sebenarnya Da?" tanya cowok itu tenang. Kuyakin dia juga sedang mati-matian menahan perasaannya.
Kuulurkan tanganku padanya, meletakkan cincin yang sedari tadi kugenggam di tangannya. Ujung gigi depanku refleks menggigit bibir. Menunggu reaksi Petra selanjutnya.
"Apa maksudnya ini, Da?"
"Aku...." Kutelan ludahku sebelum melanjutkan kalimat, "a-aku nggak bisa menerima lamaranmu."
"Kenapa baru mengatakannya sekarang?"
"Maaf Petra, aku perlu berpikir lagi. Dan inilah keputusanku setelah kupikirkan matang-matang. Aku..., aku nggak pernah benar-benar mencintaimu."
"Ya, aku tahu. Kamu mencintainya, kan? Dia yang nggak pernah ngerti perasaanmu itu, apa pantas mendapatkan cintamu yang sedemikian besar?"
Kepalaku menunduk dalam. "Kamu tahu sendiri, aku nggak pernah bisa berhenti memikirkannya. Bagaimana nanti kita bisa menikah kalau yang menguasai hatiku bukan kamu, tapi orang lain?"
Petra menyeringai. "Ya tentu saja, kamu nggak pernah mengizinkanku berada dalam hatimu. Menggantikan dia. Coba kalau kamu memberiku satu kesempatan saja."
"Bukan begitu masalahnya. Aku sangat ingin memberimu kesempatan. Selama dua tahun ini kupikir aku akan bisa melupakannya, tapi apa nyatanya? Dia masih jadi raja di hatiku."
Sebuah dengusan berat keluar dari hidung Petra. Terlihat sekali dia sangat kecewa padaku. Ya, aku selalu mengecewakannya. Tapi bukan salahku kalau dia tersakiti, aku sudah berkali-kali memintanya memutuskanku. Salahnya sendiri dia selalu bertahan meski sudah kusakiti.
"Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah kita tebak, Petra. Dia punya jalannya sendiri. Dia bisa melihat pada siapa akhirnya harus jatuh. Jika memang bukan orang yang tepat, maka dia akan pergi dengan caranya. Dan bila sudah jatuh pada orang yang tepat, dia akan bertahan meski kita mencoba untuk memaksanya pergi."
"Ya, dan kamu adalah orang yang tepat untukku. Kita bisa mencobanya lagi setelah menikah, Da. Kamu akan melupakannya nanti."
Aku menghela napas. Bagaimana lagi caranya aku menjelaskan pada cowok ini? Dia tetap bersikukuh untuk mengajakku mencobanya. Pernikahan, bagiku bukanlah sesuatu yang pantas untuk dicoba-coba. Dia sakral. Sekali menikah, maka kita harus bahagia apapun risikonya. Membagi suka duka bersama, berbagi hidup bersama. Lalu, apa jadinya kalau Petra terus saja mendesak seperti ini? Bukankah ini egois namanya? Sedangkan pantangan dalam pernikahan adalah rasa egois.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANDAINYA CINTA
RomanceSeandainya cinta itu tak terlambat, mungkin kau akan memperjuangkanku sekarang ini. Dan seandainya juga aku tak egois, tentu kita sudah bersatu jauh-jauh hari. Tapi, memangnya kenapa kalau cinta ini terlambat? Perjuangan cinta itu baru saja akan dim...