"Aku mencintaimu.
Dan kuingin kau mendengarnya,
sebelum kehilangan itu datang menghambur."
***
"Jadi, kamu benar-benar nggak akan kuliah?"
Malam ini, Jiro dan Arhel sengaja bertemu. Mungkin untuk terakhir kalinya sebelum Arhel terbang ke Jakarta memenuhi panggilan bekerja dari sebuah perusahaan yang kebetulan 'beruntung' mendapatkan surat permohonan kerjanya. Beberapa bulan sebelum hari ini mereka sudah jarang sekali bertemu. Pertama, karena Jiro sudah mulai sibuk dengan kuliahnya. Kedua, bisa dikatakan Arhel sedikit menghindari sahabatnya itu.
"Yah, mungkin kamu bisa kuliah di Jakarta nanti kalau karirmu sudah oke," lanjutnya.
Arhel mendesah. "Entahlah. Aku pengin sekali tetap tinggal di Surabaya, kuliah di sini, tapi apa boleh buat. Aku nggak bisa memaksakan keinginanku ini kan?"
"Jangan mengeluh. Kalau menerima pekerjaan ini menurutmu adalah yang terbaik, lakukanlah. Jangan pedulikan apa kata orang lain. Kamulah yang tahu bagaimana hidupmu, bukan mereka."
"Tapi aku..., kita... masih bisa bersahabat, kan?"
Jiro tertawa keras. "Kenapa enggak, Rhel? Jarak itu bukan alasan untuk memutuskan sebuah persahabatan. Yang pacaran aja bisa kok long distance, masa kita yang cuma sahabatan nggak bisa?"
Lagi, sebuah desahan keluar dari bibir Arhel.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu katakan padaku sebelum kamu pergi besok?"
Arhel menggeleng lemah.
"Gimana kalau kita main sesuatu?" usul Jiro. Terlihat sekali dia begitu ingin mencairkan suasana yang terasa sangat canggung.
Kening gadis itu berkerut tebal. Merasa tak mengerti dengan maksud sahabatnya.
"Kita main Truth or Dare, gimana?"
Cukup lama Arhel memikirkan usul Jiro itu. Sebenarnya dia ragu akan menerima permainan ini atau tidak. Bagaimana kalau Jiro memintanya melakukan sesuatu yang tidak bisa dia lakukan? Atau menyuruhnya mengakui sebuah kebenaran yang tidak mungkin dia akui.
"Ayolah, anggap ini sebagai perpisahan kita." Jiro masih berusaha membujuk Arhel agar menyetujui usulnya.
"Oke, aku setuju dengan satu syarat. Sesuatu yang diminta si pemenang tidak boleh aneh-aneh atau melampaui batas. Setuju?"
Tawa Jiro kembali menggema. "Tenang aja, aku juga nggak berniat memintamu melakukan sesuatu yang konyol, kok."
Sebuah senyuman muncul di bibir Arhel.
"Mari kita mulai." Jiro mengangkat tangannya untuk memulai 'suit'. Arhel menyambutnya. Mereka bersuit untuk menentukan siapa pemenangnya. Yang kalah akan menuruti apapun permintaan si pemenang.
Jantung Arhel berhenti berdetak untuk sedetik lamanya saat mendapati Jiro adalah pemenang dari adu suit yang baru saja mereka lakukan. Itu artinya dia harus menuruti semua permintaan Jiro.
"Yes, Arhel. Truth or Dare?"
Arhel gusar. Dia harus memilih apa? Dua pilihan itu sama-sama memiliki risiko. Dia membutuhkan waktu cukup lama sampai dapat memutuskan untuk memilih Truth. Dia siap mengakui apapun yang Jiro minta.
Cowok itu tersenyum lebar mendengar pilihan Arhel. "Aku sudah menyiapkan pertanyaan yang harus kamu jawab dengan jujur. Nah, Arhel, kamu sudah siap?"
"Jangan bertele-tele, Jiro. Cepat tanyakan." Arhel begitu ingin waktu ini segera berlalu. Apapun yang akan ditanyakan Jiro, sudah cukup membuatnya berdebar-debar meski cowok itu belum mengucapkan apapun.
"Katakan padaku, siapa orang yang kamu sukai sekarang ini?"
Bibir Arhel mengerucut. "Janji dulu padaku, kamu nggak akan menertawakan apapun jawabanku."
"Sebenarnya siapa sih di sini yang menang?"
"Mau berjanji nggak?"
"Oke-oke, aku berjanji. Sekarang, katakan padaku siapa cowok yang saat ini sedang kamu sukai."
"Kamu."
"Hah? Apa? Bisa ulangi sekali lagi?"
Arhel tersenyum lebar. "No! Enggak ada siaran ulang. Sekarang kita suit lagi, aku yakin kali ini aku yang akan menang."
Meski masih sebal karena Arhel tak mau mengulangi jawabannya tadi, mau tak mau Jiro menuruti keinginan Arhel untuk kembali bersuit. Rupanya keberuntungan masih berpihak padanya. Jiro kembali menang.
Kali ini Arhel yang memberengut sebal. Bagaimana mungkin dirinya bisa kalah bersuit sampai dua kali?
"Karena tadi kamu sudah memilih Truth, sekarang gilirannya Dare."
Arhel menyiapkan dirinya untuk memenuhi apapun tantangan yang akan Jiro berikan padanya. Sambil berdoa dalam hati semoga cowok itu tidak memberikan tantangan yang konyol dan tidak mungkin dilakukannya.
"Sekarang, nyatakan cinta pada cowok yang kamu sukai."
Mata bulat Arhel membelalak. Mana bisa dia melakukannya?
"Ayo lakukan, Rhel. Aku hitung sampai tiga, kalau enggak aku akan menghukummu. Satu!"
Arhel gelagapan saat Jiro mulai menghitung.
"Dua!"
"I love you, Jiro!" seru Arhel cepat dan nyaris tanpa jeda yang jelas.
Senyum Jiro mencapai mata. Dia terlihat cukup senang dengan pengakuan Arhel ini.
"Ayo suit lagi!" Dengan wajah memanas, Arhel segera mengajak Jiro untuk melakukan suit kembali. Arhel lega karena kali ini dialah yang menang. Senyumnya melebar.
"Aku pilih Dare," ucap Jiro sebelum Arhel sempat memberikan pilihan.
"Oke, tantangan yang akan kuberikan padamu adalah, mencium cewek yang sedang kamu sukai saat ini. Waktunya sampai besok pagi sebelum aku berangkat. Kamu harus membawanya dan menciumnya di hadapanku." Konyol memang. Ini bukanlah tantangan yang disukai Arhel, tapi dengan ini setidaknya dia tahu gadis seperti apa yang sedang disukai Jiro.
Jiro beranjak. "Itu tantangan yang cukup berat, Rhel. Tapi okelah, akan kulakukan."
"Hei, mau ke mana?" seru Arhel saat Jiro mulai melangkahkan kaki keluar dari beranda rumahnya.
"Lho, waktunya sampai besok, kan? Aku harus pulang untuk mempersiapkan diriku sebelum menciumnya."
Arhel mencelos. Ternyata memang bukan dirinya gadis yang sedang disukai Jiro saat ini. Tiba-tiba dadanya terasa ngilu.
"Kamu berangkat jam berapa?"
"Sekitar jam dua belas siang," sahut Arhel dingin.
"Oke, kalau gitu aku akan melaksanakan tantanganmu itu di sini sekitar jam sebelas. Satu jam sebelum keberangkatanmu. Gimana?"
Arhel mengedikkan bahunya. Saat ini, rasa kesal sudah mulai menguasai hatinya. Rasa kesal pada dirinya sendiri tentu saja. Seharusnya tadi dia memberikan tantangan selain ini, yang tidak ada hubungannya dengan orang yang disukai. Walaupun tidak puas, setidaknya dia tidak akan merasa sakit hati.
"Kuanggap itu sebagai persetujuan. Kalau gitu, aku pulang ya."
"Hati-hati."
Jantung Arhel berdetak kencang saat Jiro mulai menyalakan mesin motornya. Ada perasaan takut kehilangan yang tiba-tiba menyergapnya. Hatinya gusar saat motor itu mulai menjauh dari rumah. Bagaimana kalau Jiro tak kembali besok?
Ah, apa sih yang kupikirkan? Jiro bukanlah orang yang gampang menyerah pada sebuah tantangan. Dia pasti akan datang besok bersama cewek itu. Dan aku..., aku harus siap menerima apapun resiko yang nanti akan kurasakan. Toh, setelah besok aku sudah tidak di sini lagi. Aku bisa memulai kehidupan baruku nanti di Jakarta. Tanpa Jiro sebagai bayang-bayangku. Dia tetap akan menjadi sahabat terbaikku. Selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANDAINYA CINTA
RomanceSeandainya cinta itu tak terlambat, mungkin kau akan memperjuangkanku sekarang ini. Dan seandainya juga aku tak egois, tentu kita sudah bersatu jauh-jauh hari. Tapi, memangnya kenapa kalau cinta ini terlambat? Perjuangan cinta itu baru saja akan dim...