"Cinta yang egois sebenarnya hanyalah sebuah obsesi."
***
Kamar yang sekarang kutempati ternyata adalah kamar Petra. Kamar ini mencerminkan pemiliknya. Rapi, perfeksionis, dan tegas. Terlihat dari penataan barang-barang yang ada di dalamnya juga dari pemilihan warna. Kamar ini cukup luas—tentu saja, keluarga Petra cukup berada—memiliki kamar mandi di dalam, pendingin ruangan yang sudah menyala sejak tadi siang, lalu sebuah kulkas mini dan rak-rak buku di samping sebuah lemari pakaian yang berukuran tidak terlalu besar.
Ranjangnya spring bed kualitas terbaik, empuk bukan main, tapi tetap saja tak bisa membuatku nyenyak ketika tidur di sana. Begitu pun saat ini. Sembari menunggu kedatangan Jiro, kuputuskan untuk membaca koleksi buku Petra. Nyaris semuanya adalah buku ekonomi dan bisnis yang tidak kumengerti.
Aku berjingkat saat pintu terbuka. Petra. Mau apa dia? Ini sudah hampir tengah malam.
"Belum tidur?" tanyanya.
Aku pura-pura menekuri buku di tanganku, tak benar-benar membacanya. Tubuhku sudah siaga jika sewaktu-waktu Petra melakukan sesuatu.
Dia mendekatiku, merebut buku yang kutopang tinggi. Kalau aku tidak salah melihat, wajahnya tampak begitu sendu. Apa dia sudah memiliki itikad baik untuk mengantarku pulang?
Dibelainya pipiku lembut. "Tidurlah, kasihani dirimu sendiri," ucapnya.
Aku melengos.
"Aku tahu kamu marah padaku. Aku tahu ini salah, tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk memilikimu."
Kutelengkan kepalaku. "Kalau tahu ini salah, kenapa nggak lakukan sesuatu yang benar saja, Petra? Menyekap seseorang—meskipun itu orang yang kamu cintai, termasuk tindakan kriminal. Apalagi kalau kamu sampai melakukan sesuatu padanya."
Dia tertawa. Keras. "Aku nggak peduli ini kriminal atau bukan, yang jelas aku tahu ini satu-satunya cara untuk mendapatkanmu lagi," ujarnya setelah menghentikan tawa.
"Kamu gila."
"Aku gila karenamu, Da. Jadi, sudahkah memikirkannya lagi? Aku sudah memberimu kesempatan sampai malam ini."
"Kesempatan untuk apa? Jadi budakmu?" sahutku sengit. "Jangan pernah memimpikannya, Petra."
Sebuah tamparan mendarat telak di pipiku. Aku meringis, tanganku gemetar saat menyentuh bekas tamparan itu. Bahkan orang tuaku, belum pernah melakukan ini padaku.
"Dulu kupikir, aku benar-benar mencintaimu dan bisa menjadikanmu suamiku." Suaraku bergetar menahan tangis ketika mengucapkannya, "tapi sekarang aku baru sadar. Keputusanku untuk menolak lamaranmu adalah tepat. Belum jadi istri saja kamu sudah berani menamparku, bagaimana kalau aku benar-benar jadi istrimu nanti?"
Tawanya kembali menggema. "Sekarang aku sudah nggak menginginkanmu untuk jadi istriku. Aku sudah muak pada perempuan sok sepertimu. Sekarang, berharaplah ada yang akan membersihkan kehormatanmu setelah kunodai."
Mataku membelalak. Petra mengimpitku hingga punggungku menabrak lemari pakaiannya. Kedua tanganku dikuncinya ke atas kepala. Dengan tangan besarnya, aku tak bisa berkutik. Petra kembali melumat bibirku seperti yang dilakukannya siang tadi. Aku berusaha meronta sekuat tenaga, tapi kekuatan Petra jauh di atasku tentunya.
Dia lalu menyeret dan mengempaskan tubuhku di atas ranjang. Tubuhnya segera menindihku agar aku berhenti meronta. Tangannya dengan bebas menarik kemejaku hingga kancingnya terlepas satu per satu. Aku bahkan sudah tergugu sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANDAINYA CINTA
RomanceSeandainya cinta itu tak terlambat, mungkin kau akan memperjuangkanku sekarang ini. Dan seandainya juga aku tak egois, tentu kita sudah bersatu jauh-jauh hari. Tapi, memangnya kenapa kalau cinta ini terlambat? Perjuangan cinta itu baru saja akan dim...