"Bagaimana pun, takdir akan tetap berjalan
Meski kau memilih untuk berhenti."
***
Aku terbangun saat telingaku menangkap suara ayam berkokok lamat-lamat. Sontak aku terduduk ketika menyadari aku tidur dalam dekapan Jiro. Rasa panas menguasai tubuhku, seolah-olah darahku mendidih karena malu.
Mungkin karena gerakanku yang tiba-tiba, Jiro ikut terbangun. Dia mengucek matanya beberapa kali. "Udah bangun?" sapanya, masih dalam posisi tidur.
Aku mengangguk dalam.
Lalu Jiro mengangkat tubuhnya dan duduk di sampingku. "Aku nggak melakukan apa-apa kalau itu yang mau kamu tanyakan. Semalam, aku nggak tega melihatmu tidur di lenganku. Wajahmu kelihatan capek, makanya aku memilih tidur di sini biar nggak membangunkanmu."
Penjelasannya itu justru membuatku salah tingkah.
Tangan besarnya kemudian beralih menyentuh kepalaku, mengacak rambutku pelan. Lalu dia beranjak dari duduknya untuk membuka gordyn berwarna kuning gading yang menutup jendela kamarnya. Di luar masih cukup gelap. Sudut mataku melirik ke arah jam dinding yang menempel di atas lemari. Masih pukul empat. Itu artinya aku hanya tidur tiga jam saja.
"Mau sarapan di sini, atau kuantar pulang sekarang?"
"Antarkan aku ke kos, aja. Aku nggak enak sama keluargamu."
"Oke." Jiro beranjak membuka pintu kamarnya.
Kulihat cowok itu berjingkat saat pintu terbuka.
"Bang, dipanggil mama tuh." Itu suara Angin, adik Jiro satu-satunya. "Eh, Mbak Dhida di sini?" serunya saat melihatku.
Aku hanya meringis mendengar seruannya. Cowok yang masih duduk di bangku SMA ini memang begitu heboh. Tak jauh berbeda dengan Jiro.
"Hus-hus, pergi sana! Iya, nanti aku temuin mama."
"Abang ngapain sama Mbak Dhida? Hayo, kubilangin mama lho."
"Apaan sih, anak kecil jangan mikir macem-macem. Belum apa-apa pikiranmu udah kotor melulu," sungut Jiro. "Udah, pergi sana. Abang mau antar Mbak Dhida pulang dulu."
Aku tersenyum kecil melihat interaksi aneh kakak beradik ini. Jiro sampai harus mengeluarkan selembar lima puluh ribuan untuk menyuap dan mengusir pergi adiknya.
"Ayo," ajaknya sambil mengulurkan tangan padaku. Aku kembali mengenakan jaket milik Jiro yang kupakai semalam, lalu menyambut uluran tangan Jiro dan mengikuti langkahnya keluar dari kamar.
Jiro membawa motornya pelan. "Aku ingin menikmati kebersamaan kita lebih lama sebelum kamu menyelesaikan skripsimu," katanya.
Aku tak menyahut. Jadi, dia benar-benar akan menjauh sementara aku menyelesaikan tugas akhirku? Kupikir setelah kejadian ini dia akan mengatakan untuk menjagaku.
"Aku minta maaf. Pembicaraan kita kemarin berakhir nggak menyenangkan. Sekarang rasa bersalah pada cowok bajingan itu udah kabur. Aku nggak merasa bersalah lagi, justru aku merasa benar telah merebutmu darinya."
Bibirku melengkungkan senyum.
Tiba-tiba Jiro menghentikan motornya. "Kenapa diam? Kamu marah padaku?"
"Setelah semua ini bagaimana mungkin kamu menganggap aku bisa marah padamu? Bodoh." Aku terkekeh.
"Kalau nggak marah, bicaralah seperti itu. Dhida yang kukenal adalah cewek yang banyak bicara. Kalau tiba-tiba kamu jadi pendiam, aku jadi takut. Jangan-jangan kamu bukan Dhida-ku." Dia kembali menjalankan motornya.
"Dhi-da-mu?" ejaku.
"Ya, kamu milikku."
"Emang aku barang? Seenaknya aja nempelin hak milik." Tak bisa kuhindari, bibirku kembali tersenyum. Merasa senang dengan pernyataan Jiro barusan.
"Emang cuma barang yang punya hak milik?"
"Apa lagi? Hewan peliharaan? Jadi kamu menganggapku sebagai peliharaan?"
Jiro tertawa kencang. "Kalau kubilang calon istriku, kamu senang?"
Salah tingkah, kugaplok punggungnya keras.
"Sakit, Sayang," ritihnya lembut.
Sekali lagi kupukul punggungnya, kali ini lebih pelan. Kudengar tawanya kembali berderai, mencoba mengalahkan deru mesin motornya. Aku melingkarkan tanganku ke perutnya dan menyandarkan kepalaku di punggungnya.
"Coba dari dulu kayak gini," celetuknya tiba-tiba.
"Tapi aku bukan cewek bodoh yang mau memejamkan mata bila berhadapan denganmu. Aku nggak akan sanggup melakukannya."
"Kenapa tiba-tiba kamu membahas itu?"
"Karena cewek yang bisa membuatmu jatuh cinta adalah cewek seperti itu."
"Bukankah udah pernah kubilang dulu, lupakan aku pernah ngomong seperti itu. Terkadang, prinsip dan teori itu nggak sesuai dengan kenyataan. Buktinya aku malah jatuh cinta pada cewek bodoh yang nggak mau memejamkan mata ketika bersamaku."
"Karena bagiku, cinta itu nggak buta, Jiro. Cinta yang buta hanya akan membawa kita pada obsesi."
"Aku senang kamu mengingatkanku untuk hal itu. Ingatkan aku lagi kalau cintaku berbelok arah menjadi obsesi."
Kueratkan tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku senang mendengarnya bicara seperti itu. Memang cinta harus saling mengingatkan, bukan? Jika salah satu di antaranya telah melampaui batas mencinta, maka yang lain harus mau mengingatkan. Jangan sampai cinta membuai dan membawa pada obsesi berlebihan seperti yang terjadi pada Petra. Dalam hal ini akulah yang telah membuatnya buta. Sejak awal aku memang tidak mencintainya. Dan inilah kesalahanku sepenuhnya.
Kami sampai di depan kosku dua puluh menit kemudian. Kami saling terdiam selama beberapa saat. Aku berdiri di samping Jiro yang masih duduk di atas motornya. Memilin-milin ujung kaus yang sedang kukenakan.
"Jangan pikirkan kejadian kemarin lagi. Anggap aja apa yang Petra lakukan kemarin sebagai bukti bahwa dia tergila-gila padamu."
Kutundukkan kepalaku dalam, lalu terlihat olehku kaki Jiro menjejak tanah. Turun dari motor, lalu berjalan mendekatiku.
"Kubilang jangan pikirkan lagi, kan?" Direngkuhnya tubuhku hingga menabrak dadanya. Dalam diam air mataku merembes membasahi kaus Jiro.
"Perlakuan kasarnya kemarin nggak bisa kulupakan, Jiro. Kalau kamu memintaku memaafkannya, mungkin bisa kulakukan. Tapi aku nggak mungkin melupakan semua perlakuannya itu. Itu sangat menyakitkan," ujarku semakin terisak.
"Kalau tahu itu menyakitkan, kenapa masih ngeyel nggak mau melupakannya?"
Kudongakkan kepalaku. Mata kami bersirobok, senyumnya seperti menimpakan sebongkah es di atas hatiku yang terbakar. Sejuk.
"Sesuatu yang menyakitkan, sudah seharusnya dibuang jauh-jauh. Jangan lagi diingat. Kalau masih saja kamu mengingatnya, bisa-bisa dendam akan terbit di hatimu yang terluka. Maafkan dia, lupakan perlakuannya. Kita mulai semuanya dari awal."
Aku menarik tubuhku. "Entahlah. Mungkin aku memang butuh waktu untuk merenungkan semuanya."
Jiro membelai rambutku lembut. "Boleh saja kamu merenungkannya, tapi jangan lama-lama. Ingat masih ada aku yang menunggumu."
Bibirku kembali melengkungkan senyum.
"Aku pulang, ya. Cepat mandi dan istirahatlah."
"Tumben nggak menyuruhku cepat-cepat mengerjakan skripsi?" godaku.
Dia menempelkan telunjuknya di dahiku. "Tenangkan pikiranmu dulu, Sayang."
Saat aku mencebik, dia malah tertawa lebar. Sekali lagi dia berpamitan sebelum kembali memacu motornya keluar dari area kosku. Baru saja aku memutar tubuhku untuk masuk ke kamar, sebuah suara mengejutkanku.
"Bisakah menemuinya sekali lagi, Da?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANDAINYA CINTA
RomanceSeandainya cinta itu tak terlambat, mungkin kau akan memperjuangkanku sekarang ini. Dan seandainya juga aku tak egois, tentu kita sudah bersatu jauh-jauh hari. Tapi, memangnya kenapa kalau cinta ini terlambat? Perjuangan cinta itu baru saja akan dim...