SEPULUH

288 35 2
                                    

"Kehilangan serupa air mata yang akan terganti

Seiring perjalanan sang waktu."

***




Arhel menerima telepon yang masuk ke ponselnya dengan tergesa. Tanpa melihat nama si penelepon terlebih dulu. Beberapa detik kemudian benda mungil yang menempel di telinganya itu terlepas dari genggaman. Jatuh mengempas lantai menjadi berkeping-keping. Berserakan seperti hatinya saat ini.

Kabar buruk yang baru saja dia terima ini datang dari Angin, adik Jiro. Dia memberitahukan bahwa Jiro mengalami kecelakaan semalam dan belum sadarkan diri hingga saat ini.

Ekor mata Arhel melirik sekilas ke arah jam dinding. Pukul enam lebih seperempat. Dia bersyukur Angin memberitahunya sepagi ini. Arhel masih punya cukup waktu sebelum berangkat ke Jakarta.

Oh, bagaimana dia masih bisa memikirkan Jakarta sementara di sini Jiro sedang terbaring kritis?

Lima belas menit kemudian, Arhel sudah bersiap untuk berangkat ke rumah sakit di mana Jiro dirawat. Ibu menemaninya, takut kalau Arhel pingsan sewaktu-waktu di jalan katanya. Arhel ingin tertawa mendengar alasan ibunya itu, tapi ketika bayangan Jiro yang tengah tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tawa itu berubah menjadi tangis.

Mereka sampai di rumah sakit saat seluruh keluarga Jiro berkumpul. Ayah dan ibunya, lalu kakak dan juga adiknya. Wajah mereka tampak tegar meski sisa-sisa tangis terlihat jelas di mata mereka. Apa sebenarnya yang terjadi pada Jiro? Batin Arhel bertanya-tanya.

"Tante, gimana keadaan Jiro?" tanyanya pada ibu Jiro.

Wanita seusia ibunya itu menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. "Dia belum juga sadar, Rhel. Kata dokter, masa kritisnya belum lewat. Terjadi benturan keras di kepalanya yang seketika membuat Jiro koma."

Tangan kanan Arhel terangkat hingga menutup mulutnya. Matanya seketika berkaca-kaca. Setetes air mata tak bisa lagi ditahannya. Meluncur dengan bebas hingga mencapai dagu.

"Kalau kamu ingin melihatnya, nanti setelah dokter selesai melakukan pemeriksaan ya. Kita diperbolehkan melakukan interaksi dengan Jiro selama lima belas menit dan secara bergantian. Kami semua sudah melakukannya sejak semalam. Nanti giliranmu, Rhel. Buat dia membuka matanya ya, Nak." Suara ibu Jiro terdengar bergetar. Tangisnya pecah.

Arhel hanya bisa mengangguk, menyanggupi permintaan ibu Jiro itu. Meski dirinya sendiri tak yakin bisa membuat Jiro membuka mata. Sebuah tepukan di pundaknya menyadarkan Arhel bahwa sedari tadi dia sedang bersama ibunya.

"Jangan khawatir, Jiro pasti akan bangun."

***

"Jiro, buka matamu. Kamu lupa ya, hari ini kamu punya janji padaku. Ayo bangun! Katanya mau ngenalin cewek itu padaku?"

Saat ini Arhel mendapat kesempatan untuk menemui Jiro dan membuatnya membuka mata jika beruntung. Semua peralatan medis yang terhubung ke tubuh Jiro menimbulkan bunyi berdenging yang membuat telinga Arhel sakit. Bunyi-bunyi itu juga membuat hatinya gusar. Untuk apa semua peralatan ini? Apa kondisi Jiro sedemikian parahnya sehingga untuk bernapas saja dia membutuhkan bantuan semua peralatan itu?

"Jiro, tiga jam lagi aku berangkat. Kamu nggak mau mengantarku?" Pipi Arhel mulai berurai air mata. "Jiro bodoh! Ayo bangun!"

Arhel menangkupkan kedua tangannya hingga menutupi wajahnya yang basah. Air matanya sudah tak terbendung lagi.

"Aku ingat janjiku, kok." Sebuah suara lirih-nyaris tak terdengar, membuat Arhel mengangkat wajahnya. Tangannya terbuka, begitu pun dengan mulutnya. Menganga karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.

SEANDAINYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang