EMPAT

413 43 0
                                    

"Kutulisi lembar-lembar diary ini agar aku bisa

mengungkapkan apa yang tak bisa kuucapkan padamu.

Semua ini terjadi begitu saja

Seperti halnya jantungku yang berdebar kencang bila di dekatmu."




***

Arhel menyesap Cappucino-nya dengan perasaan tenang. Kopi selalu bisa menenangkannya. Entah sejak kapan dirinya kecanduan minuman berkafein itu. Dan beruntung sekali, kopi di kantin sekolahnya sangat enak. Seperti yang sedang dinikmatinya ini. Siang ini ada jadwal rapat dengan pimpinan redaksi majalah sekolah. Arhel sengaja tidak pulang dan memilih menghabiskan waktu sambil menyesap kopi di kantin. Sesekali tangannya bergerak-gerak, menuliskan sesuatu di buku catatan hariannya.

Ini tahun keempat sejak kurasakan perasaan ini menguat. Dan si bodoh itu masih bertahan dengan ketidak-ingin-tahuannya. Lalu kenapa? Aku masih bisa menahan perasaan ini hingga mencapai batasku. Tapi kapan? Bagaimana kalau besok adalah batas hidupku? Haruskah aku memendamnya sampai mati? Sinting!

"Ternyata di sini!"

Arhel menoleh ke arah suara familiar yang tiba-tiba berada di dekatnya. Jiro. Seharusnya dia tidak di sini kan? Mereka berbeda sekolah. Kenapa si bebal ini ada di dekatnya?

"Aku SMS, aku telepon, nggak ada satu pun yang kamu respon. Sudah sejak lima belas menit yang lalu aku nunggu kamu di depan gerbang, tahu."

Mata bulat Arhel membelalak. Se-sejak lima belas menit yang lalu? Dia sengaja menjemputku?

Buru-buru cewek itu memasukkan buku hariannya ke dalam tas, lalu mengubek-ubek tas ransel birunya itu untuk mencari ponselnya. Ketemu. Pantas saja dia tak mendengar dering benda itu. Ponsel mungil itu ternyata ada di dasar tas dan tertutupi oleh setumpukan buku-buku diktat besar.

5 Messages

5 Missed Calls

Jiro menyatukan tangannya di dada. Pura-pura marah. Arhel menggigit bibirnya, lalu nyengir. Dia benar-benar tidak tahu Jiro menghubunginya dan sengaja menjemputnya siang ini. Ini di luar kebiasaan mereka. Yah, Jiro tak pernah menjemput kecuali Arhel yang memintanya.

"Maaf," ucap Arhel tulus.

Sambil mengembuskan napas sebal, Jiro menarik sebuah kursi di samping Arhel dan dengan jahil menyesap kopi milik Arhel yang tinggal setengah. Cewek di sampingnya itu bahkan tak sempat mengucap protes saat dilihatnya cappucino itu tandas.

"Dengar nggak sih, aku bilang, ma-aaaaafff..." Arhel memainkan nada bicaranya untuk memancing perhatian Jiro yang masih saja diam.

"Dengan satu syarat."

"Apa?"

Jiro pura-pura berpikir keras. "Jadi pacarku?"

Mata Arhel menjengit. I-ini nggak mungkin. Pasti salah dengar.

Beberapa saat kemudian tawa Jiro membahana. "Wajahmu lucu kalau malu-malu gitu," ujarnya di sela tawa yang masih belum berhenti.

Rengutan di bibir Arhel seketika tercipta seiring dengan rasa panas yang menjalari pipinya. Pasti saat ini Jiro tengah menertawakan warna pipinya yang memerah. Ya, pasti begitu. Kulitnya tak bisa berbohong. Begitu rasa panas itu terasa menyengat, kulit pipinya pasti ikut memerah seperti stroberi matang.

Tangan besar Jiro terulur hingga ke puncak kepala Arhel. "Aku bisa gila kalau punya pacar super manja kayak kamu."

Bibir Arhel makin mengerucut. Itu bukan sesuatu yang ingin didengarnya saat ini. "Aku juga bisa gila kalau punya pacar yang bebalnya nggak ketulungan seperti kamu."

Oke, dan juga bukan kalimat seperti itu yang ingin diucapkannya.

Jiro tampak terkejut dengan jawaban Arhel itu, tapi cowok itu segera bisa menguasai dirinya. Mimiknya kembali normal. Tangannya mengacak-acak rambut Arhel sebelum mengangkatnya untuk memanggil pramusaji.

Tepat di saat itu, seorang senior memanggil Arhel karena rapat akan segera dimulai.

"Aku akan tunggu di sini, Rhel."

Arhel mengangguk sebelum berlalu dari hadapan Jiro. Debar di jantungnya kian menguat. Seolah ingin menjebolkan dadanya. Meruntuhkan pertahanan yang sudah dibangunnya selama bertahun-tahun.

***

Satu hal yang membuat Arhel tak bisa fokus, bahkan saat rapat sedang genting-gentingnya. Ada hal penting apa sehingga membuat Jiro tiba-tiba menjemputnya di sekolah? Ini bukan sesuatu yang biasa terjadi. Pasti ada yang diinginkan cowok itu jika mencarinya.

Arhel mengembuskan napas berat ketika melangkahkan kakinya keluar dari ruang rapat. Berjalan ke kantin untuk kembali menemui Jiro.

"Sudah?" sambut cowok itu begitu Arhel menunjukkan batang hidungnya.

Yang ditanya hanya mengangguk lesu. Seolah tak berselera untuk menjawab apapun pertanyaan yang akan dilontarkan Jiro.

Jiro mengerutkan keningnya dalam. Heran dengan perubahan raut wajah Arhel yang berlipat-lipat. "Ada apa?" tanyanya.

Arhel menggeleng.

"Katakan, Rhel. Kamu nggak bisa membohongiku."

Satu desahan keluar dari mulut Arhel. "Ada maksud tersembunyi apa sampai kamu bela-belain jemput aku di sekolah?" Akhirnya...

Jiro terpaku sesaat, lalu terbahak sampai harus memegangi perutnya.

Bibir Arhel mengerucut semakin panjang. Tangannya memukul lengan cowok yang tengah tertawa di sampingnya itu. Keras.

"Memangnya aku nggak boleh menjemputmu ke sekolah?" tanya Jiro setelah dia berhasil menghentikan tawanya. "Atau... pacarmu marah ya, kalau lihat kamu jalan sama aku?"

Sebenarnya Arhel ingin sekali menertawakan ekspresi Jiro saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir itu, tapi ditahannya. Kali ini gengsi berkuasa atas dirinya. Dipasangnya wajah kesal dan tidak suka.

Mata oval bermanik cokelat gelap itu membelalak. Mulutnya terbuka. "Ah, maaf kalau gitu. Aku nggak tahu kalau kamu punya pacar di sekolah, Rhel."

Pacar, gundulmu! Aku bukannya punya pacar yang marah ketika tahu aku jalan denganmu, Bodoh, tapi aku nggak suka kamu berlaku manis padaku hanya ketika kamu menginginkan sesuatu dariku. Seperti biasanya.

"Padahal tadinya, aku pengin minta bantuanmu untuk melatih anak-anak baru di klub reportasi sekolahku."

Tuh, kan.

Jiro juga sangat tergila-gila dengan dunia majalah dan reportasi. Sama seperti Arhel, dia merupakan ketua redaksi klub reportasi di sekolahnya. Cita-citanya adalah bekerja di koran atau majalah. Menjadi reporter sungguhan!

"Maaf, aku nggak bisa," jawab Arhel memasang tampang sok cool.

"Oke, aku nggak akan pernah menjemputmu ke sekolah lagi tanpa izinmu. Tapi please, bantu aku sekali ini aja." Jiro menyatukan telapak tangannya untuk memohon pada Arhel yang masih bersikukuh dengan jawaban tidaknya.

Bukan itu yang ingin kudengar, Bodoh. Jemput saja aku di sekolah kalau memang kamu ingin, jangan pedulikan pacarku-bahkan kalau 'mereka' benar-benar ada.

Binar tulus di mata Jiro akhirnya mampu meluluhkan Arhel yang sebenarnya cukup keras kepala. Selalu. Selalu seperti itu. Arhel tak pernah bisa benar-benar menolak permintaan Jiro. Dia tak pernah bisa benar-benar marah, bahkan ketika Jiro memintanya melakukan hal-hal konyol.

Jiro melonjak. Secara impulsif direngkuhnya tubuh Arhel, lalu dengan segera melepaskannya begitu sadar. Tangannya terulur ke belakang kepala dan bibirnya mengeluarkan cengiran lebar.

Arhel bahkan sudah tak tahu lagi bagaimana warna pipinya-wajahnya-saat ini. Karena dirasakannya rasa panas yang bermula dari pipi itu menjalar cepat hingga ke ujung kakinya. Keduanya diserang rasa jengah untuk sepersekian detik lamanya.


SEANDAINYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang