DUA PULUH - END

701 40 3
                                    

"Dan tentu saja bintang akan selalu berkata jujur tentang biasannya."



***


Hari ini, aku sedang me-launching novel keempat di Tunjungan Plaza. Melakukan meet and greet dengan pembaca novel serta booksigning seperti saran dari penerbitku.

Sejak setahun lalu, saat Jiro berangkat ke Singapura, aku memutuskan untuk terus menulis. Menghabiskan masa penantianku dengan menghasilkan karya. Setelah wisuda, novel ketigaku terbit. Lalu disusul karya-karya selanjutnya. Ternyata rasa rindu yang menyesakkan dadaku bisa menjadi pemacu tersendiri untuk terus menyelesaikan naskah. Rindu itu juga memberikan nyawa pada setiap naskah yang kutulis.

Aku tidak butuh ketenaran sebenarnya. Hanya terapi untuk menyalurkan rasa rindu yang terlalu besar yang menjadi motivasiku untuk terus menulis. Aku ingin terus menunggunya. Menunggunya sembari menuliskan kisah-kisah kami yang manis dan getir.

"Dhida Arhela, anda kembali melakukan kebohongan publik pada novel anda kali ini."

Suara berat seorang lelaki yang cukup familiar di telingaku membuatku mendongak. Menghentikan aktifitas tanda tangan yang sedang kulakukan. Bolpoin yang tengah kugenggam jatuh menimpa buku yang sudah kutandatangani.

Wajah ini. Binar jenaka di matanya sama sekali tak berubah.

"Bisakah anda menjelaskannya pada saya? Tokoh utama cewek dalam novel ini seharusnya belum menerima lamaran si tokoh utama cowok. Kenapa anda menuliskan bahwa si cewek menerima lamaran si cowok?" tanyanya lagi. Bibirnya menyeringai jahil.

Ingin sekali aku menggaplok lengannya dengan tumpukan novel di hadapanku ini, tapi kutahan niatku itu. Aku menegakkan badan, mencoba profesional. "Saya pikir novel ini nggak ada hubungannya dengan kehidupan cinta anda. Jangan samakan. Ini fiksi, Mas. Dan saya berhak menuliskan apapun di sini."

Jiro tertawa. Kali ini aku tak tahan lagi. Kulempar bolpoinku padanya. Tawanya semakin menjadi. Aku berdiri dan menghampirinya.

"Kenapa sih kalau nggak mengejutkanku sekali aja? Kamu mau aku kena serangan jantung, hah?" semburku, sebal.

Tawanya berubah menjadi senyum. Lembut dan menghangatkan hatiku. "Aku emang suka bikin kejutan."

"Tahu dari mana aku sedang booksigning di sini?"

"Siapa sih yang nggak kenal Dhida Arhela sekarang?" godanya.

Sekarang aku benar-benar menggaplok lengannya. Keras. Hingga membuatnya meringis. Itu sebanding dengan rasa terkejut yang kurasakan ketika melihatnya tadi.

"Mamaku yang bilang, Sayang. Aduh, kamu tuh nggak bisa berubah ya? Tetep aja kasar sama pacar sendiri."

Mataku membelalak. Dia mengatakan hal itu tanpa beban di depan semua pembaca novelku yang sedang terbengong-bengong melihat adegan yang kami lakukan ini. Pihak penerbit pun seolah-olah memberikan kami waktu untuk "melepas rindu".

"Mumpung di sini ada pembaca bukumu, siapa tahu di antara mereka ada yang diam-diam naksir padamu. Aku akan mengumumkannya. Dhida Arhela, penulis favorit kalian ini, sebenarnya sudah memiliki pacar, aku. Dan sekarang, di depan kalian semua. Aku ingin melamarnya."

Kutelan ludahku dengan susah payah mendengar kalimatnya itu. Dan kulihat tangannya tengah merogoh sesuatu di saku jaketnya, seperti yang dia lakukan setahun lalu. Cincin yang sama dengan yang kukembalikan waktu itu, dia sematkan lagi di jari manisku. Kali ini di kanan.

"Kali ini aku nggak akan pergi lagi. Aku janji akan selalu menemanimu di sini, menjagamu. Kumohon, kali ini jangan kembalikan lagi."

"Dengan satu syarat," ucapku.

Dia mengangkat dagunya, bertanya.

Kuhamburkan diriku ke pelukannya. "No one. Aku menerimanya tanpa syarat apapun."

Dia mengangkat tubuhku dan memutarnya. Tentu saja ini mengundang keriuhan tepuk tangan tak hanya dari pembaca bukuku, tapi juga dari seluruh pengunjung mall yang tak sengaja melihat adegan a la Bollywood kami.

Jiro melepaskan pelukan kami, lalu mengecup keningku lembut. Seluruh tubuhku serasa mengejang karena kecupannya itu. Tapi aku tak peduli. Aku menyukainya, bahkan bila rasanya seperti disengat ribuan lebah sekali pun.

Dan setelah hari ini, kisah baru kami akansegera dimulai. Tanganku sudah gatal ingin menuliskannya. Biarlah Jiro selalumengatakan aku melakukan kebohongan publik dengan novel-novelku. Yang pasti akuselalu ingin menuliskan takdir manis lewat tulisanku.


SEANDAINYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang