TIGA BELAS

211 28 6
                                    

"Sebuah kejahatan akan tetap menjadi kejahatan

Meski mengatasnamakan CINTA."

***





Kulemparkan tubuh ke kasur begitu sampai di dalam kamar kosku. Kata-kata ibu yang kutemui di angkot tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Dari mana dia tahu kalau Jiro itu pacarku? Aku tak mengenalnya, dan kuyakin dia juga tak mengenalku. Apa perasaan kecewa itu tergambar jelas di wajahku sehingga orang bisa dengan mudah menyimpulkannya?

Tak beberapa lama, saat masih enak-enaknya rebahan, pintu kamarku diketuk. Pasti Jiro. Dia pasti ingin meminta maaf. Senyumku terkembang. Menuruti gengsi sih, aku tak ingin memaafkannya. Tapi mana kubisa? Aku akan selalu memaafkan kesalahannya. Sekalipun itu sangat menyakitiku.

Kuangkat tubuhku dan berjalan untuk membuka pintu. Mataku seketika membelalak saat melihat siapa yang ada di ambang pintu. Sekejap kemudian, aku sudah tak sadarkan diri setelah meronta-ronta sesaat ketika salah satu dari mereka membekap mulutku dengan saputangan.

***

Mataku mengerjap, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang menyergapku tanpa ampun. Kurasakan perih di pergelangan tangan dan kakiku, juga di mulutku.

"Ukh...." Hanya rintihan yang keluar saat kupaksa untuk berteriak.

Lalu aku tersadar kalau mulutku tengah dibebat oleh kain. Begitu pun dengan tangan dan kakiku, diikatkan pada pinggiran ranjang dengan merentangkan kedua sisinya. Aku seperti sapi yang sudah siap dikuliti. Aku sama sekali tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku. Saat kucoba memaksa menarik salah satunya, rasa nyeri seolah membelah lenganku.

Kupejamkan mataku, mencoba untuk tenang. Aku tahu ini perbuatan siapa. Petra. Dia yang tadi datang ke kosku dengan beberapa orang bertubuh kekar. Salah satu dari mereka itu yang membekapku. Untuk apa mereka, oh bukan, Petra melakukan ini?

Lamat-lamat telingaku menangkap sebuah suara di luar kamar.

"Apa yang akan kamu lakukan padanya, Petra? Memperkosanya? Membunuhnya? Hah? Aku nggak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi, ini sudah tindakan kriminal namanya."

Suara seorang perempuan dewasa. Mbak Asti, kakak Petra, ya, aku hafal suara manisnya itu. Jadi keluarga Petra bersengkongkol untuk melakukan ini padaku?

"Dia sudah membunuh ayah, Mbak. Apa aku salah kalau aku ingin menghancurkannya?"

Deg.

Membunuh ayahnya? Oh, jangan katakan ayah Petra meninggal karena serangan jantung setelah mendengar aku menolak lamaran mereka.

"Tapi apa yang kamu lakukan ini sudah melampaui batas, Petra. Kamu sudah melakukan tindak kriminal. Ayah belum meninggal, beliau hanya terserang stroke ringan. Dan ini nggak ada hubungannya dengan Dhida." Mbak Asti masih berusaha melunakkan hati adiknya.

"Kumohon untuk kali ini Mbak nggak usah ikut campur. Aku ingin dia merasakan bagaimana sakitnya ditolak, setelah memohon-mohon. Aku ingin dia merasakan malunya saat nanti aku menolak menikahinya."

A-apa yang akan dia lakukan padaku? Tiba-tiba aku merasakan seluruh tengkukku meremang. Aku merasa ngeri. Di-dia ingin mengambil kehormatanku?

"Aku sudah memperingatkanmu. Jangan salahkan dia lagi kalau nanti Jiro yang akan bertanggung jawab atas semua perbuatanmu."

"A-apa maksud Mbak?" Suara Petra terdengar gugup.

"Jiro mencintai Dhida. Dia pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Termasuk menerimanya nanti ketika kamu sudah menodainya."

SEANDAINYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang