Aku masih terisak pelan sembari membelai-belai sayang bidadari kecilku, Celina Alamsyah, saat kudengar suara pintu kamar Celina terbuka pelan. Kulihat Pak Fajar berdiri terpaku di pintu, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca. Terburu-buru aku menghapus air mataku.
"Ma...maaf, Pak Fajar." ucapku pelan, menundukkan wajahku dan masih berusaha mengusap air mata di wajahku.
"Maaf untuk apa?" tanyanya pelan yang sarat dengan kelelahan tidak tersirat.
"Ma...af untuk semuanya." jawabku disertai rasa sesak di hatiku. Entah bagaimana, katakan aku terlalu percaya diri. Tapi aku merasa semua kelelahan yang beliau rasakan, akulah yang menyebabkannya. Karena penolakan dari keluargaku, sehingga Celina menjadi sakit begini. Gadis kecil ini sangat berharap aku bisa menjadi mama barunya, melihat dari senyum lebarnya tempo hari saat mengatakan bahwa akulah calon mama barunya. Pasti dia juga tersakiti karena keputusan keluargaku.
"Ini bukan salah Bu Hana. Ini salah saya. Saya yang memberi Celina harapan yang bahkan Allah pun belum menyetujuinya. Saya terlalu sombong, mengira Bu Hana dan keluarga akan bisa menerima proposal saya." ucap Pak Fajar tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku.
"Ta...pi...saya..."
"Sudahlah Bu Hana, bukan salah Ibu." potong Pak Fajar sebelum aku bisa menyelesaikan perkataanku disertai dengan senyum menenangkannya.
"Kemarin saya hanya berpikir bahwa keputusan ini yang terbaik. Kedekatan Bu Hana dan Celina membuat saya nekat mengajukan proposal itu. Berpikir bahwa kita bertiga pasti bisa membentuk keluarga kecil yang bahagia, karena kebahagiaan Celina pasti akan menjadi kebahagiaan saya. Dan Celina sudah beberapa kali meminta saya menjadikan Bu Hana sebagai mama barunya. Tapi saya lupa, masalah ini bukan hanya menyangkut saya, Celina dan Bu Hana. Tetapi juga menyangkut keluarga Bu Hana." jelas beliau menghela nafas panjang.
"Saya rasa Allah sedang menegur karena kesombongan saya ini. Jadi seharusnya, saya yang meminta maaf kepada Anda, Bu Hana."
Kulihat Pak Fajar menatapku tulus. Membuat hatiku semakin merasa sesak. Merasa bodoh, karena selama ini hanya berdiam diri tentang masalah proposal Pak Fajar. Hanya berpikir bahwa apapun keputusan Abah, itu yang terbaik untuk kami semua. Namun kenyataannya tidak, banyak pihak tersakiti karenanya. Bukan hanya Pak Fajar dan Celina, namun baru kusadari, aku dan hatiku juga. Rasanya sakit melihat gadis kecil berwajah pucat di hadapanku ini berbaring tak berdaya, dan semua ini karena sikap ragu-raguku.
"Sa-ya..."
"Kurasa ini memang keputusan yang terbaik bagi kita semua, Bu Hana." potong Pak Fajar lagi sebelum aku bisa melanjutkan perkataanku. Kutatap mata beliau lekat, mencoba mencari keragu-raguan dari kalimatnya tadi.
Namun hasilnya, hati kecilku mengerang, membaca tidak ada keragu-raguan di matanya saat ini. Jadi, beliau sudah menerima keputusan Abah dengan ikhlas. Tidak, bukan ini yang terbaik bagi kami, terlebih bagiku. Sekarang aku yang tidak terima. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menjadi manusia egois saat ini. Aku menginginkan mereka menjadi bagian hidupku. Dan aku akan mencoba memperjuangkan mereka. Yah, aku sudah memutuskan, aku akan mencoba berbicara lagi pada Abah, mencoba meyakinkan beliau lagi.
==========
Aku sampai di rumah menjelang Ashar, setelah sebelumnya menyuapi Celina dan mengobrol dengan gadis kecil itu beberapa lama. Hatiku agak merasa tenang setelah melihat senyum kecil bidadariku. Satu keinginanku saat ini, kebahagiaan Celina yang insya Allah akan menjadi kebahagiaanku juga. Membulatkan tekad untuk meminta Abah mempertimbangkan lagi keputusannya tentang proposal Pak Fajar. Mungkin aku akan terlihat bagaikan gadis tidak tahu malu yang akan mengemis-ngemis proposal yang sudah secara tidak langsung ditolaknya. Tapi aku ingin, dan aku harus melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Alam
RomanceKeinginan manusia tidak boleh berlebih, tapi bagaimana jika dia ingin menggenggam alam? Apakah Sang Pemilik Kehidupan akan mengabulkannya?