Alam 7

1.1K 50 14
                                    

Sudah berkali-kali aku menghubungi Kak Halimah atau Bang Abas dalam beberapa jam ini untuk sekedar menanyakan kabar Abah. Tapi masih hanya satu kabar yang kudengar ‘Abah belum sadarkan diri’. Sebenarnya ingin rasanya aku segera menyusul ke rumah sakit melihat bagaimana keadaan beliau, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada beliau, tapi bagaimana dengan Farah? Tidak mungkin juga aku membawanya ke rumah sakit. Anak sekecil Farah tidak baik berada di lingkungan rumah sakit.

Hhhh. Dadaku terasa sesak seolah ditindih oleh jutaan batu tidak kasat mata. Berjuta pertanyaan hilir mudik di pikiranku. Abah kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Bahkan beberapa pikiran buruk melintas di pikiranku. Jangan-jangan Kak Halimah dan Bang Abas mengetahui sesuatu yang buruk dan menyampaikannya pada Abah. Tetapi sesuatu yang buruk apa? Bahkan pikiran-pikiran yang selanjutnya masuk ke dalam otakku seolah terlalu absurd untuk menjadi kenyataan.

Kutatap wajah Farah yang tertidur lelap di sampingku. Mencoba menyerap segala ketenangan yang sedang dirasakannya. Dan seolah-olah pikiranku sudah cukup lelah dengan keadaan ini, sedikit demi sedikit mataku mulai terpejam. Rasa kantuk dan lelah yang tiba-tiba saja kurasakan membawaku jauh dari kesadaran dan kurasakan semua buram.

Aku sedang berada di suatu keramaian. Keramaian yang seolah-olah aku mengenalnya. Bunga-bunga yang tersebar di sekitar, aku juga mengenalnya. Bunga lily, bunga kesukaan Umi, bunga yang kupilih sebagai penghias pernikahanku. Jangan-jangan ini…

Kulihat di panggung di hadapanku seorang pria yang tidak bisa kukenali siapa dia karena posisinya membelakangiku, sedang menjabat tangan Abah dengan yakin saat beliau mengucapkan kalimat ijab. Yang segera disambung sang pria dengan kalimat qabul dengan yakin dan pasti. Suara itu, sepertinya aku mengenal suara itu. Berjalan dengan tergesa aku mendekati panggung, saat tiba-tiba semuanya berputar dengan cepat, segala yang ada di hadapanku tadi menghilang. Aku dihadapkan lagi pada sesuatu yang lain.

Saat ini aku hanya sendirian. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku ingin menangis, tapi aku merasa bahagia. Entahlah. Aku bingung dengan perasaanku sendiri, hingga tanpa sadar aku menangis, namun tangisku berteman senyuman. Aku tersenyum dalam tangis? Tapi kenapa?

“Dek…” Sayup-sayup kudengar suara memanggilku. Itu suara Kak Halimah. Ada Kak Halimah, tetapi di mana? Aku tidak melihatnya. Aku masih tetap menangis.

“Dek…Dek…” Tiba-tiba panggilan tersebut terasa lebih mendesak. Kak Halimah. Kak Halimah di mana?

Di sekitarku sangat gelap. Kuamati sekeliling dan kusadari di mana aku saat ini. Dan barulah aku tersadar kalau aku tertidur dan hanya bermimpi tadi. Tapi kurasa, yang memanggilku tadi bukan hanya mimpi.

Kamarku gelap. Dengan panik, kucari-cari handphoneku dan setelah kutemukan, segera kudekatkan ke telingaku.

“Assalamualaikum Kak Halimah. Bagaimana keadaan Abah? Apakah Abah sudah sadar? Apakah Abah baik-baik saja? Apakah Abah…” cerocosku langsung saat aku yakin kalau suara Kak Halimah tadi berasal dari handphoneku yang memang sedari tadi aku bawa dekat-dekat demi menunggu kabar tentang Abah.

“Dek…” Aku terkejut saat tiba-tiba lampu kamarku menyala. Dan Kak Halimah berdiri di dekat sakelar lampu.

“Lho Kak Halimah?” tanyaku dengan kebingungan tingkat tinggi. Bukannya tadi suara Kak Halimah berasal dari handphoneku? Tapi…Aduh, bodohnya kamu Hana! Mana bisa suara Kak Halimah terdengar di handphone kalau aku saja belum menyentuh tombol mengangkat panggilan di handphoneku tadi.

“Kenapa Dek? Kamu ngomong sama siapa di handphone?” tanya Kak Halimah ternyata sama bingungnya denganku tadi. Dan baru kusadari handphoneku masih menempel di telingaku. Hana bodoh! Benar-benar bodoh! Haish, semua ini gara-gara mimpi aneh tadi.

Menggenggam AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang