Alam 4

1.1K 40 2
                                    

Akhirnya keputusan dibuat. Aku menerima pinangan Bang Iqbal. Hanya bisa berharap, semoga ini memang yang terbaik bagi semua orang. Setelah kata bersedia yang aku ucapkan, disepakati bahwa pernikahan kami akan digelar satu bulan lagi. Tidak perlu berlama-lama lagi kata Abah, karena kami berdua sudah saling mengenal dekat.

Satu bulan lagi dan aku akan menjadi Nyonya Muhammad Iqbal. Namun entah kenapa, bukannya menjadi lega, perasaanku justru semakin tidak karuan karenanya. Satu bulan, satu bulan, Ya Allah, hanya satu bulan lagi dan aku harus kehilangannya. Satu bulan yang juga 30 hari atau 1800 jam itu akan segera terlewati, dan bagaimanapun caranya dalam waktu yang tidak lama itu aku harus bisa menjauhi Celina. Tidak boleh lagi memberikan harapan-harapan semu pada gadis kecil tidak berdosa itu.

Namun kurasa itu pasti sangat sulit. Enam hari dalam seminggu mau ataupun tidak, aku harus bertemu dengannya di sekolah. Seperti pagi ini, dia dengan senyum lebarnya sudah memanggilku dari gerbang sekolah, meskipun wajahnya masih terlihat sayu karena sakitnya kemarin.

"Bu Nana." serunya di gandengan sang papa yang juga tersenyum melihatku. Celina melambai dengan semangat ke arahku.

Aku hanya bisa membalas senyum mereka dengan kikuk. Bingung bagaimana harus bersikap. Di satu sisi aku harus menjauhi Celina, di sisi lain aku ingin merengkuh gadis kecil itu, ingin memeluknya erat dalam dekapanku. Namun yang bisa aku lakukan hanya segera berbalik dan berjalan cepat menuju ke kantor guru. Semoga dengan semakin jarangnya interaksi di antara kami, semakin mudah juga Celina melupakanku.

Namun belum sampai aku masuk kantor guru, ketika kurasakan seseorang menarik rok yang sedang kukenakan.

"Bu Nana to nda nunggu Ceyi?"

Deg. Kutengok gadis kecil yang saat ini memegang erat rokku, dan kulihat wajahnya semakin sayu dengan beberapa tetes keringat di dahinya.

"Celina lari ngejar ibu?" tanyaku cemas dan segera mengambil tissue dari dalam tasku untuk mengusap peluh gadis kecil yang saat ini menganggukkan kepalanya menatapku dengan tatapan polosnya.

Ya Allah, gadis kecil ini sangat polos. Bagaimana aku bisa menghindarinya? Bagaimana sanggup aku menjauhinya?

"Bu Hana nggak bermaksud ninggalin Celina. Tadi ibu kira Celina mau masuk ke kelas dianter papa." jawabku beralasan. Padahal jelas sekali tidak begitu. Selama ini Celina masuk ke dalam kelasnya diantar olehku, itulah sebabnya kami memiliki hubungan yang sangat dekat. Papanya seolah selalu mengerti, hanya mengantarkannya sampai ke gerbang. Yah, meski beberapa kali juga beliau pernah mengikutiku dan Celina hingga sampai di depan kelas Celina. Tapi setiap pagi selalu ada aku dan Celina. Jika seperti ini, bagaimana aku bisa menjauhi gadis kecil ini?

"Oooo...gitu." ucapnya tersenyum lucu. "Ayo Bu Nana, antar Celina ke kelas." Dan gadis kecil itu menggandeng tanganku seperti biasa, dan menarikku menuju ke kelasnya.

"Bu Nana, Celina bole nanya?" tanyanya mendongakkan wajahnya menatapku.

"Tanya apa sayang?" tanyaku balik.

"Bu Nana tenapa nda jadi mama bayu Ceyi? Kemarin papa bilang, Bu Nana nda bakal jadi mama bayu Ceyi. Tenapa Bu?" tanyanya yang langsung membuat hatiku sakit mendengarnya. Langsung merasa lemas saat pertanyaan itu kudengar dari bibir mungilnya. Aku belum siap, bahkan sampai kapanpun tidak akan siap untuk mendengar itu. Aku hanya bisa terdiam, bingung harus menjawab apa. Celina hanya anak kecil, mana mungkin aku menceritakan tentang kenyataan yang terjadi. Pinangan ayahnya yang ditolak, dan bahkan saat ini aku harus menjauhinya karena aku akan menikah dengan orang lain, bukan ayahnya. Harus berapa kali lagi aku mengecewakannya.

"Bu Nana to diem. Bu Nana malah ya cama Ceyi. Bu Nana nda mau jadi mama Ceyi kalna Ceyi nakal ya." ucapnya polos. Astaghfirullahaladzim, apa yang harus kujawab? Rasanya tenggorokanku tercekat, tidak mampu menjawab apapun.

Menggenggam AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang