Menuju detik-detik pernikahanku. Tinggal tiga hari lagi pernikahanku, tidak akan ada bisa yang mengubah apa yang terjadi selain Allah SWT. Aku sudah pasrah akan apa yang terjadi karena kurasa Allahpun mendukung segala rencana ini, dengan segala kelancaran persiapan acara. Bahkan seolah-olah memang inilah yang diatur-Nya dalam hidupku. Terlalu lancar, tenang dan aman, jadi kurasa memang Bang Iqbal lah jodohku. Tidak boleh lagi ada keraguan Hana!
Saat ini aku sedang disibukkan dengan segala tetek bengek tentang perawatan tubuhku. Atas paksaan Kak Halimah aku melakukan ritual luluran, maskeran, mandi susu, dll. Sesuatu yang sebenarnya sangat malas kulakukan. Tapi memiliki kakak seperti Kak Halimah tidak membuatku bisa menghindari ritual wajib calon pengantin (kata Kak Halimah).
Merasa mengantuk selama seseorang kenalan Kak Halimah sibuk meluluri tubuhku saat tiba-tiba kudengar panggilan Abah dari luar kamar.
"Hana...Nak...bisa keluar sebentar? Abah ingin bicara."
"A...ah, iya Abah. Sebentar lagi Hana keluar." ucapku dari dalam kamar tanpa keluar menemui Abah. Ck, benar-benar tidak sopan kelakuanku ini. Tapi bagaimana bisa keluar kalau apa yang kukenakan saat ini sangat tidak sopan. Hanya mengenakan kemben yang hanya menutupi dada sampai pahaku saja.
"Mbak mbak, udah dulu lulurannya. Aku harus ke depan dulu." ucapku segera masuk kamar mandi untuk membersihkan tubuhku dari krim-krim yang dioleskan tadi. Dan setelahnya segera mengenakan daster seadanya dan jilbab buluk kesayanganku yang sering sekali kupakai saat di rumah. Berkaca sebentar dan segera keluar kamar mencari Abah.
Tidak susah menemukan Abahku tersayang di rumah sederhana kami ini. Kulihat beliau sedang duduk di kursi kesayangan beliau membaca koran hari ini. Di dinding belakang Abah duduk kulihat foto besar kami berempat, Abah, Umi, Kak Halimah dan aku tersenyum bahagia. Andai Umi masih ada, saat ini aku pasti ada di dalam kamar beliau, mendengarkan nasehat-nasehat tentang kehidupan pernikahan ala beliau (mungkin).
"Abah." panggilku pelan, yang membuat Abah menyadari kedatanganku dan segera meletakkan korannya di meja di hadapannya.
"Duduk, Nak." ucap beliau dengan senyum meneduhkannya. Anak mana yang sampai hati menyakiti orang tua sebaik, setulus dan sebijak ini. Dan aku pernah berniat seperti itu, Astagfirullah.
"Ada apa Abah memanggil Hana?" tanyaku sembari mengambil posisi duduk di dekat beliau.
"Tidak ada apa-apa. Abah hanya ingin berbicara denganmu. Sudah lama kan kita tidak mengobrol santai begini. Apalagi setelah persiapan pernikahanmu ini." ucap beliau yang hanya kujawab dengan senyuman. Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan Abah untuk bisa mengobrol santai dengan beliau. Karena biasanya jika kami mengobrol, ujung-ujungnya kami akan berselisih paham tentang sesuatu yang pada akhirnya akan dihentikan oleh Kak Halimah.
Mungkin karena karakterku dan Abah sama, jadi di antara kami berdua tidak akan ada yang berniat mengalah dengan pendapat kami. Beruntung kami memiliki Kak Halimah yang menuruni karakter Umi. Mereka berdualah yang selalu menjadi penenang kami berdua. Dulu Umi yang selalu menenangkan Abah saat Abah sedang dalam puncak emosi. Dan kini, Kak Halimah yang menjadi penenangku dan Abah saat kami sedang dalam puncak emosi karena perbedaan pendapat yang sering terjadi di antara kami.
"Bagaimana perasaanmu Hana? Sebentar lagi hari pernikahanmu. Apakah kamu siap menjadi seorang istri?" tanya Abah perhatian.
"Hhhh. Seharusnya hari ini menjadi sesi antara Umi dan Hana untung saling bertukar cerita dan memberi nasehat." tambah beliau lagi membuatku tersenyum menatap foto keluarga kami di dinding. Bukan hanya aku yang merindukan Umi, Abah pasti juga lebih merindukan beliau. Sebentar lagi seharusnya menjadi hari bahagia kami seandainya Umi masih ada bersama kami. Ditambah lagi setelah pernikahanku nanti, selesai sudah segala tugas Abah sebagai wali kami, putri-putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Alam
RomanceKeinginan manusia tidak boleh berlebih, tapi bagaimana jika dia ingin menggenggam alam? Apakah Sang Pemilik Kehidupan akan mengabulkannya?