Alam 9

534 24 6
                                    

“Sudah tidak ada kesempatan lagi, Pak Fajar.” Dengan hanya jawaban itu aku meninggalkannya. Yah, bukankah memang tidak akan ada lagi kesempatan untuk kami? Takdir sudah digariskan. Hanya beberapa menit lagi aku akan melangsungkan akad nikahku dengan Bang Iqbal melalui Abah sebagai waliku. Jadi kesempatan yang mana lagi yang Pak Fajar bicarakan.
Masih dengan perasaan kacau aku berjalan menuju ke kamar Abah. Di depan kamar aku melihat Kak Halimah berdiri dengan cemas. Entah apa yang dicemaskannya. Jangan-jangan Kak Halimah berpikir bahwa aku akan kabur bersama Pak Fajar. Ah, Astaghfirullah, apa yang kupikirkan.
“Dek, dari tadi dicariin Abah.” ucap Kak Halimah terlihat sangat cemas.
“Memangnya ada apa dengan Abah?” tanyaku sekarang ikut cemas karenanya. Abah baik-baik saja kan? Atau Abah tahu tentang kedatangan Pak Fajar, dan beliau merasa panik karenanya.
“Abah nggak kenapa-napa. Cuma Abah khawatir sama kamu tadi. Udah cepetan kamu masuk dulu, temuin Abah. Sepertinya ada yang ingin Abah bicarakan sama kamu, Dek.” Dengan segera aku masuk ke kamar Abah, namun belum aku membuka pintu ruang rawat Abah saat Kak Halimah bertanya, “Pak Fajar mana, Dek?”
Dengan mengernyitkan dahi kutatap Kak Halimah. Untuk apa Kak Halimah mencari Pak Fajar? Bukankah urusanku dengan beliau seharusnya sudah selesai. “Kenapa nanyain Pak Fajar?” tanyaku curiga.
“Eh, nggak ko, Dek. Udah sana temuin Abah dulu.” jawab Kak Halimah terlihat salah tingkah dan mendorongku supaya cepat-cepat masuk ke ruang rawat Abah. Ck, mencurigakan sekali.
Begitu masuk ke kamar Abah kulihat Abah sedang memegang tasbih kesayangan beliau yang sengaja Bang Abas bawakan.
“Assalamualaikum.” ucapku begitu memasuki ruangan. Abah langsung tersenyum menyambutku. Kulihat keadaan Abah sudah semakin membaik. Wajahnya sudah terlihat lebih segar dari kemarin.
“Wa’alaikumsalam.”
“Abah udah baikan?”
“Alhamdulillah. Kamu gimana? Sudah siap?” tanya Abah.
“Insya Allah.”
“Duduk sini. Ada yang ingin Abah bicarakan.” Abah menunjuk kursi yang ada di sebelah ranjang tempatnya saat ini berbaring.
Aku duduk di sana seperti yang Abah minta. Dengan takzim segera mencium tangan Abah.
“Apa yang ingin Abah bicarakan?” tanyaku dengan senyum tulus. Aku senang melihat Abah perlahan-lahan sudah pulih dan terlihat penuh senyum hari ini. Lebih senang lagi saat menyadari bahwa aku menyumbang sekian persen dari kebahagiaan Abah ini.
“Sebelumnya maafkan Abah.” ucap Abah yang membuat keningku berkerut. Maaf untuk apa? Aku memang merasa sikap Abah keterlaluan pada Pak Fajar, tetapi aku kembalikan lagi, Abah melakukan semua ini demi aku. Demi putrinya yang pasti disayanginya. Tapi bukankah itu kewajiban orang tua? Menentukan yang terbaik untuk putrinya hingga ijab qabul diucapkan dan putrinya menjadi milik orang lain. Namun belum sempat aku bertanya apa maksud dari kata maafnya tadi, kudengar pintu kamar terbuka dan kulihat Kak Halimah melongok ke dalam kamar.
“Abah…” ucap Kak Hamilah.
“Suruh dia masuk.” ucap Abah mantap yang semakin membuatku bingung. Siapa yang akan masuk? Bang Iqbalkah? Dia sudah datang?
Namun betapa terkejutnya aku saat ternyata Pak Fajar yang masuk. Hah? Bukankah urusanku dengan Pak Fajar sudah selesai. Kenapa beliau masih ada di sini? Apakah keluargaku berniat semakin memperumit masalah ini lagi?
“Nak Fajar, sini Nak. Kebetulan saya juga baru mau menjelaskan semuanya kepada Hana.” Menjelaskan apa? Kebingungan demi kebingungan entah kenapa hari ini selalu mengikutiku. Mulai dari kehadiran Pak Fajar yang tiba-tiba, perkataan beliau tentang kesempatan yang kurasa tidak akan mungkin, dan keramahan Abah pada Pak Fajar yang tidak kulihat saat Pak Fajar mengajukan lamaran ke rumah kami. Apakah semua itu yang akan Abah jelaskan? Entahlah.
Dengan sedikit kaku aku segera berdiri dari kursi tempatku duduk tadi. Karena di kamar ini hanya ada satu kursi saat ini. Sebenarnya ada sofa panjang, tetapi karena ijab qabulku akan dilakukan di kamar ini jadi untuk membuat ruangan lebih luas sofa tersebut dipindahkan di depan kamar sementara. Lagipula sangat tidak sopan kan ada tamu aku malah tetap duduk manis dan membiarkan tamu tersebut berdiri.
Sesegera mungkin aku segera menyingkir ke sisi ranjang satunya. Bukan karena apa, tapi aku harus menjaga hatiku. Aku sudah membuat keputusan bulat, dan tidak ingin perasaan ini mengusikku dengan kebimbangan yang disukai setan.
“Ada apa sebenarnya, Abah?” tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dari keterkejutan dan kebingungan yang datang bertubi-tubi.
“Seperti yang Abah katakan tadi Hana, Abah minta maaf. Maaf karena Abah sudah menjadi orang tua yang egois dan berpikiran picik. Abah khilaf.” ucap Abah terlihat sangat bersalah. Refleks aku segera meraih tangan beliau dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin bahwa aku percaya padanya. Apapun yang beliau lakukan adalah yang terbaik untukku. Dan pertimbangan beliau bukan hanya untuk beliau semata, tapi untukku dan keluarga kami.
“Kemarin Abah mendapatkan kabar dari kampung Iqbal.”
Deg.
Apa yang terjadi dengan Bang Iqbal? Beliau baik-baik saja kan? Tidak ada hal buruk yang terjadi padanya? Entah kenapa pikiranku melantur ke hal-hal buruk yang mungkin terjadi.
Tanpa sadar aku menggenggam erat tangan Abah. Aku butuh kekuatan untuk bisa mendengarkan kelanjutan penjelasan dari Abah.
“Iq-bal …” Kulihat Abah terlihat ragu untuk melanjutkan penjelasannya.
“Bang Iqbal kenapa, Abah? Beliau tidak apa-apa bukan?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Iqbal tidak apa-apa, hanya saja dia … dia ketahuan menghamili gadis di kampungnya. Dan kemarin adalah akad nikahnya dengan gadis tersebut.” Penjelasan Abah tersebut benar-benar sangat mengejutkanku.
Astaghfirullahaladzim. Bang Iqbal?
Aku hanya bisa terdiam mendengar hal tersebut. Entah harus sedih atau marah. Berarti, hari ini aku tidak jadi menikah? Hatiku, kenapa terasa hampa? Sejak kemarin aku sudah meyakinkan hatiku dengan sangat supaya bisa menerima Bang Iqbal menjadi suamiku. Berusaha untuk berbakti padanya setelah ijab qabul diucapkan. Namun sekarang, aku tidak tahu lagi apa yang hatiku rasakan. Kecewa, sedih, dan marah kurasakan saat ini. Ya Allah, apakah memang ini jalan dari-Mu? Inikah yang terbaik menurut-Mu?
“Hana.” panggil Abah yang tidak ingin kuhiraukan.
“Hana … maafkan Abah, Nak. Maaf.” Kurasakan jari kasar Abah mengelus tanganku lembut. Tanpa kusadari kurasakan setetes air mata mengalir di pipiku. Aku bingung aku harus bagaimana.
“Bu Hana …” Tiba-tiba kudengar suara Pak Fajar yang sejak tadi diam mengamati kami. Aku tidak menghiraukannya. Satu hal yang saat ini menjadi pikiranku. Apa kata orang-orang nanti? Ternyata calon suamiku sudah menikah dengan wanita lain. Dan aku …
“Abah … tapi bagaimana nanti? Segala keperluan pernikahan sudah disiapkan. Undangan sudah disebar. Apa kata saudara kita? Tetangga kita? Paman? Bibi? Kenapa Abah baru mengabari Hana. Kenapa Abah …”
“Bu Hana … menikahlah dengan saya.” Pak Fajar memotong perkataanku dengan perkataan yang membuatku menatapnya marah. Apa maksudnya ini? Apakah pernikahanku ini seperti permainan catur, yang bisa berganti biduk sesuka hati?
“Bu Hana, saya tahu waktunya mungkin sangat tidak tepat saat ini untuk saya mengajukan lamaran. Tetapi bukankah untuk menjalankan niat yang baik semakin cepat dilakukan semakin baik. Dan di hadapan wali Bu Hana saat ini, saya meminta ijin untuk melamar Bu Hana menjadi istri saya dan ibu anak saya. Maukah Bu Hana menerima saya dan Celina dalam kehidupan Bu Hana?” ucap Pak Fajar mantap.
Aku benar-benar tidak tahan lagi. Kebingungan dan kebimbangan yang kurasakan sudah benar-benar memusingkanku saat ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Namun satu yang pasti, aku butuh waktu. Kemarin mungkin aku berharap kejadian seperti ini terjadi, tetapi saat ini … aku bingung.
“Abah, bolehkan Hana keluar dulu? Hana rasa … Hana …”
“Iya. Pikirkanlah dulu. Yang pasti Abah akan mendukung apapun yang akan menjadi keputusanmu.”
Tanpa menunggu lama aku segera keluar dari kamar tanpa berani memandang Pak Fajar. Aku harus memikirkan ini dengan baik-baik. Kebahagiaanku ada di tanganku, namun kebahagiaan keluargaku juga ada di tanganku. Lalu apa yang harus kulakukan. Ya Allah bantulah aku memutuskan yang terbaik.

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menggenggam AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang