Sudah tiga hari ini tidurku tidak nyenyak. Terusik oleh mimpi aneh yang sama yang terus berulang dalam tiga hari berturut-turut. Mimpi yang paling tidak masuk akal. Mimpi yang aku anggap sebagian dari kegalauanku karena semakin dekatnya hari H pernikahanku. Segala persiapan sudah mendekati 70%. Hal-hal rumit menyangkut adat dan lain-lain pun sudah siap. Dan aku sudah mengajukan cuti selama satu minggu untuk segala persiapan dan pelaksanaan pernikahan. Undangan sudah disebar, namun masih ada satu undangan yang masih kusimpan rapi di laci mejaku. Undangan yang ditujukan untuk Pak Fajar dan keluarga.
Abah memintaku mengundang mereka. Bagaimanapun juga aku dekat dengan Celina dan papanya, jadi Abah berpikir sangat tidak sopan seandainya aku mengundang hampir semua orang-orang terdekatku namun tidak mengundang mereka. Tetapi sekarang, saat undangan sudah ada di hadapanku hanya satu pikiran yang terlintas 'sanggupkah aku?'.
Baru beberapa waktu yang lalu aku memberi luka pada hati mereka. Haruskah saat ini aku membalurkan garam di atasnya? Meskipun aku tahu, demi kesopanan, aku yakin Pak Fajar dan Celina pasti akan datang memenuhi undangan dariku. Mereka, orang-orang baik yang secara sial terjebak sebuah garis tipis takdir denganku 'si gadis bodoh'.
Hhhh. Lagi-lagi hanya bisa menghembuskan nafas menyesali semuanya, terlebih lagi kebodohanku. Orang bodoh tidak jauh berbeda dengan orang jahat. Yang membedakan adalah orang bodoh terlalu sering berbuat jahat dengan kebodohannya tanpa disadari, dan orang jahat penuh kesadaran untuk berbuat jahat. Sadar ataupun tidak toh mereka sama-sama berbuat jahat. Dan aku adalah manusia bodoh yang jahat.
"Kenapa Bu Hana? Calon pengantin ko malah lesu gitu?" Terkejut mendengar sapaan Bu Rani, dengan terburu-buru aku memasukkan undangan tadi ke dalam tasku.
"A...aa...i...ini nggak apa-apa ko Bu. Cuma i...tu..."
"Alah, saya ngerti ko Bu. Deg-degan kan yang mau nikah. Kurang dari 2 minggu lagi kan yah? Aduh, padahal saya kira Bu Hana bakalan nikah sama Pak Fajar loh, wali dari Celina kelas B. Soalnya rasanya cocok bangeeettt. Yah, tapi namanya jodoh ya Bu Hana, misteri." ucap beliau yang cukup mengagetkanku. Aku? Cocok dengan Pak Fajar? Kurasa tidak. Allahpun mengerti itu, orang baik akan berjodoh dengan orang baik, dan begitu juga sebaliknya. Dan tidak akan mungkin orang sepertiku seberuntung itu mendapatkan orang sebaik Pak Fajar, ditambah lagi bonus seorang anak semanis Celina.
"Ah, Bu Rani. Saya permisi dulu, mau mengajar. Mari." ucapku cepat-cepat berusaha mengakhiri pembicaraan tadi sebelum pikiranku bertambah kacau, dan segera menuju ke kelas.
==========
Rumah terasa lebih ramai dari kemarin karena saudara-saudara dari jauh sudah mulai berdatangan. Bahkan adik Abah yang tinggal di Ternate menyempatkan diri untuk datang. Namun aku langsung saja masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya berbasa-basi menyapa para saudara yang sudah dengan baik hati membantu segala persiapan. Benar-benar membutuhkan ketenangan untuk mengatasi kelelahan pikiranku saat ini.
Setelah sholat dhuhur, aku segera saja duduk bersandar di kepala ranjang. Tiba-tiba saja terbayang mimpi yang mengangguku akhir-akhir ini. Mimpi yang kurasa sangat absurd dan tidak mungkin. Sebuah mimpi saat aku bisa menggenggam alam. Bukankah itu aneh? Manusia mana yang bisa menggenggam alam? Mimpi yang sangat absurd didasarkan pada perasaanku yang saat ini juga absurd, kurasa.
Ck, sudahlah. Dari pada memikirkan mimpi yang kurasa tidak ada artinya, lebih baik aku mulai mengabari sahabat-sahabatku yang sudah tinggal jauh dari sini via phone. Yah, selain menghemat biaya dan waktu jika harus mendatangi mereka satu per satu untuk menyerahkan undangan, bukankah lebih baik menelpon mereka satu per satu. Sekalian mengabari, sekalian juga saling bertanya kabar. Namun baru akan mengambil handphone di dalam tas ketika mataku terpaku pada undangan yang tadi tanpa sengaja kumasukkan ke sana. Kutatap lagi undangan itu, dan lagi-lagi hatiku terasa nyeri. Kurasa aku tidak akan sanggup memberikan undangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Alam
RomanceKeinginan manusia tidak boleh berlebih, tapi bagaimana jika dia ingin menggenggam alam? Apakah Sang Pemilik Kehidupan akan mengabulkannya?