"Dek, udah sampai." Sebuah tangan hangat menepuk tanganku lembut, menyadarkanku dari lamunanku.
"Eh iya, Kak."
"Kenapa? Ko dingin banget tangannya. Grogi yah." goda Kak Halimah membuatku segera mencubit lengannya pelan.
"Wajar kali kak aku grogi." ucapku tersenyum manis pada Kak Halimah yang memandangku sayang.
"Iya deh wajar. Tapi beneran udah siap kan, Dek?" tanya Kak Halimah serius sembari membenahi kerudungku yang pasti tidak beraturan karena posisi dudukku di mobil yang berubah-ubah selama di perjalanan tadi. Selain karena perjalanan ke rumah sakit yang terasa lebih lama disebabkan oleh macet, ditambah juga perasaanku yang semakin tidak menentu menjelang waktunya akad, jadilah aku tidak bisa duduk tenang tadi.
"Hhhh. Entahlah, Kak. Rasanya perut Hana mules. Macem-macem rasanya, campur aduk jadi satu." ucapku meringis ragu. Siap tidak aku jadi istri Bang Iqbal? Dan ketika terbayang wajah Abah yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit, hatikupun sedikit tenang. Siap tidak siap aku harus siap, demi Abah.
"Tapi Insya Allah Hana siap, Kak." jawabku berusaha yakin dan meyakinkan Kak Halimah.
"Siap juga nggak liat calon suamimu yang ganteng?" goda Kak Halimah lagi.
"Iiihh, Kak Halimah apaan ah." ucapku segera turun dari mobil setelah mencubit lengannya lembut. Entahlah, kurasakan sedikit aneh melihat Kak Halimah yang sejak kemarin terlihat bahagia menyambut pernikahanku. Sudah tidak lagi mengungkit-ungkit tentang Pak Fajar lagi seperti beberapa hari kemarin. Semenjak Abah di rumah sakit kulihat Kak Halimah seolah tidak ingin menambah pikiranku lagi.
Ah, tapi teringat Pak Fajar, teringat juga pada Celina. Bagaimana kabar gadis kecil itu? Terakhir kali aku melihatnya sekitar satu minggu yang lalu. Saat aku memberikan undangan pernikahanku pada keluarga Pak Fajar. Tiba-tiba rasa rindu terbersit di hatiku. Aku rindu Celina, rindu senyum manisnya, rindu celotehannya, rindu...
"Tuh kan, ngelamun lagi. Deg-degan ya ngebayangin gantengnya sang calon. Heum?" goda Kak Halimah yang segera menyadarkanku dari lamunanku tentang Celina.
"Ih, Kak Halimaaaahh. Udah ah, jalan yuk." ucapku dan segera menggandeng tangan Kak Halimah untuk berjalan bersama ke arah kamar Abah di lantai 2 rumah sakit.
Hari ini akad nikahku hanya akan dihadiri beberapa orang terdekat. Bang Abas yang sudah sedari tadi malam menjaga Abah di rumah sakit akan menjadi saksi pernikahanku bersama Paman Ahmad. Mereka berdua yang kami sekeluarga percayai untuk mengurus segala persiapan akad nikah kecil-kecilan di rumah sakit ini. Dan dari telponnya tadi, kutahu bahwa calon suamiku sudah menungguku di rumah sakit. Haaahh, hanya beberapa menit lagi dan aku akan menjadi istri Bang Iqbal. Ya Allah, berilah kelancaran dalam segala proses akad nikahku hari ini. Dan berilah ketenangan hati padaku supaya aku bisa melakukannya dengan lancar pula.
Berjalan bersama Kak Halimah, Paman Burhan dan Bibi Saidah menuju ke kamar Abah. Tidak henti-hentinya Kak Halimah menggodaku yang terkadang membuatku malu setengah mati. Namun aku senang, dengan begini aku tidak memikirkan hal yang tidak-tidak saat kami hampir sampai di kamar Abah.
"Pak Fajar?" kagetku saat tinggal beberapa meter aku sampai di depan kamar Abah. Terlihat sedang berdiri dengan gelisah di depan kamar Abah, Pak Fajar dengan pakaian rapi seperti saat beliau akan pergi ke kantor. Apa yang dilakukan Pak Fajar di sini?
"Sedang apa?" tanyaku pelan saat kulihat beliau menengok ke arahku, menyadari kedatanganku dan menyambut kami dengan senyum ragu-ragu.
Namun sebelum beliau sempat menjawabku, aku sudah menengok ke arah Kak Halimah. Pikiran buruk langsung saja merasuk ke otakku. Jangan katakan kalau...
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Alam
RomanceKeinginan manusia tidak boleh berlebih, tapi bagaimana jika dia ingin menggenggam alam? Apakah Sang Pemilik Kehidupan akan mengabulkannya?