Trent sekarang tahu bagaimana rasanya mendapat lotere. Itu sedikit mirip perasaan terkejut dicampur dengan banyak rasa tidak percaya, kemudian diakhiri dengan kebingungan. Ditambah orgasme. Dia cukup yakin dia sudah mendapatkan salah satunya.
Mara, Mara kecil yang manis, memiliki vibrator. Sebuah vibrator. Ditambah satu laci benda-benda lain yang membuatnya terkejut karena Mara tahu tentang benda-benda itu.
Pintu ke kamar tidur tiba-tiba terbuka dan Mara berhenti melangkah ketika dia melihatnya. Otak Trent mengirimkan perintah untuk bergerak atau setidaknya menjelaskan padanya bahwa ia tidak bermaksud mengintip tapi hanya berusaha untuk meninggalkan hadiah ulang tahunnya di meja.
Tapi tidak, dia hanya berdiri di sana dengan mulut ternganga.
"Apa yang kau lakukan dengan semua ini..."
Trent berhenti, bingung untuk menggambarkan isi laci yang ia temukan sudah terbuka.
"Sex toys?" Mara Menawarkan jawaban dengan polos.
Miliknya langsung mengeras seperti batu hanya karena mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Keheningan membentang di antara mereka saat ia memikirkan semua benda-benda yang ada dalam lacinya. Dia melirik ke selimut ungu di tempat tidurnya. Membayangkan Mara telanjang, berbaring di atas selimut tebal, kakinya yang panjang menyebar sementara ia menggunakan sendiri vibrator memenuhi pikirannya. Dia mengerang dan memejamkan mata.
"Ya. Sex toys, jika kau bahkan dapat menyebutnya begitu." Dia memegang klem puting bertahtakan berlian imitasi. Mara bahkan tidak terlihat malu.
Di sisi lain, Trent merasa malu karena tertarik untuk tahu apakah dia pernah memakainya.
"Aku bukan anak kecil, Trent. Aku seorang wanita dewasa." Dia menyilangkan lengannya dan mendongakkan dagunya.
Trent mengepalkan tinjunya. "Percayalah, princess, aku tahu itu. Aku sudah berusaha untuk menjaga pikiranku tentang betapa dewasa kamu selama setahun terakhir."
Mara membuka tangannya dan berjalan ke arahnya. Tingginya tak sampai sedagu Trent. "Nah, jika kau berpikir tentang aku seperti itu, kenapa kau berhenti tadi? Dan kenapa kau tidak pernah bilang apapun?"
"Mara, aku bukan tipe orang yang menetap. Kau tahu itu."
Mara menatapnya cukup lama. Dia mengernyit di bawah pengawasannya, tapi setidaknya dia telah jujur. Mereka berdua bersama-sama adalah ide yang buruk karena banyak alasan, mulai dari hajaran yang akan ia terima dari kakaknya dan berakhir dengan fakta sederhana bahwa Mara layak mendapatkan yang lebih baik. Titik.
"Kau khawatir aku akan jadi terlalu lengket?"
Mara Terkekeh. Lalu berubah menjadi tawa terbahak-bahak.
"Aku tidak melihat humornya di sini." Trent merasa cemberut di wajahnya bertambah semakin lama dia tertawa.
"Siapa bilang aku mencari pasangan untuk menetap?" Mara melompat ke tempat tidur dan menyilangkan kakinya. Ketika Trent berhasil menjauhkan matanya dari pemandangan itu, Mara mengangkat alisnya.
"Kau pikir aku tidak punya kebutuhan seperti wanita lainnya? kau pikir aku tidak membutuhkan seseorang untuk mengurus kebutuhanku?"
"Kebutuhan?" Trent membeo, tenggorokannya langsung kering ketika Mara menggerakkan tangan menelusuri pahanya dan berhenti di sana. Dia menelan ludah dan berbalik. Dia mengambil napas dalam-dalam dan kemudian mengulanginya.
"Kenapa kau menceritakan semua ini?" Dia marah tapi ia tak tahu siapa yang harus disalahkan: Mara atau dirinya sendiri.
"Karena aku ingin orang itu adalah kau, Trent."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teasing Trent (Contemporary Romance) (The Alexanders, #0.5) by Minx Malone
RomanceSatu-satunya permintaan dari sahabat baik Trent yang pernah dilakukan untuknya adalah untuk mengawasi saudara perempuan kembarnya saat dia tugas militer di luar negeri. Menemani Mara pada hari ulang tahunnya pastinya jadi urusan yang biasa. Yang har...