Cahaya 6 : Aku Mau ke Orang Pintar

84 8 4
                                    

"Kita,"-dika mengusap rambutnya-,"bicarakan besok saja, Cha."

Bocah itu mengusap tengkuknya,  bingung. sebenarnya apa yang mereka berdua maksud? pikirnya. Apa mereka sudah tahu orang tua bocah itu? atau apa? pikiran itu masih membayangi otaknya. Hanya membayangi, karena bocah seusia dia pastilah tak sampai berpikir ke mana-mana.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cahaya 6


Dika, pemuda yang bisa melihat bocah itu, bersama Zahra kini sedang berada di sebuah kantin sekolahnya. Suasana riuh meriah yang disebabkan para penghuni kantin tak bisa memberikan sugesti kepada keduanya untuk sekadar ikut dalam suasana itu. Diam tanpa kata.

Dika, menghentak-hentakkan kakinya seirama dengan anggukan kepalanya, Seolah mengikuti sebuah lagu. Sedangkan Zahra, fokus pada smartphone yang ia pegang.

"Ak--"

"Ap--"

Mereka berdua bersuara bersama.

"Kam--"

"Ka--"

Sekali lagi, mereka berucap bersamaan. Takdir kah? Atau mungkin jodoh? Plak.

"Kamu dulu, Za," suruh Dika.

"Kamu aja gapapa." Zahra menjawab. Smartphone merah jambunya masih ia pegang erat.

"Udah kamu aja."

"Gapapa kalo kamu mau ngomong duluan."

"Za?!"

"Oh, oke,"-Zahra meletakkan smartphone-nya di meja-"jadi... Icha sudah tahu?"

Dika menyenderkan punggungnya di kursi kemudian menghela nafas. "Ya... Begitulah."

Angin berhembus pelan di kantin itu.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Entah. Pikiran-pikiran tersebut membuatku tak ingin memikirkan pikiran-pikiran tersebut."

"Hai," sentak Icha yang tiba-tiba datang. Ia kemudian menarik kursi lalu mendudukinya. "Udah nunggu lama?"

"Lumayan," jawab Dika.

"Aku tanya sama Zahra."

"Enggak kok, Cha. Baru aja."

"Syukurlah. Aku jadi gak terlalu jauh ketinggalan."

.

.

Bocah mulai membuka matanya yang agak bengkak. Dia kemudian merangkak lalu duduk di pinggiran kasur. Kedua kakinya yang tak setinggi tempat tidur itu ia ayun-ayunkan, sembari menebar pandangan ke segala penjuru kamar.

"Ka Dika udah berangkat ternyata," gumam bocah itu. Ia kemudian mendongakkan kepalanya ke langit-langit. "Mumpung nggak ada kaka ah, bisa menjelajah rumah ini. Hihi." sumringah jail terpampang di sana.

Hampir semua sudut ruangan ia hampiri. Sampai Ia terdampar di sebuah ruangan yang baru--menurutnya. Ia membuka pintu kamar itu lalu mulai melangkah masuk ke dalamnya.

"Hei, ini kenapa semuanya ditutupi kain?" ucap bocah itu.

Dengan penasarannya ia membuka satu persatu barang itu lalu dilihatnya satu persatu barang yang tadi tertutup kain. Mulai dari lemari, nakas, lampu, lalu... Pandangannya berhenti pada sebuah benda di sana. Benda itu berbentuk bujur sangkar dengan kaca di tengahnya lalu ada bingkai di keempat sisinya.

.

.

"Terus kita harus gimana?"

"Yang terpenting kita tahu dulu dia makhluk jenis apa, setan? Atau khayalan?" ucap Zahra.

"Setan deh kayaknya."

"Tapi dia itu mirip banget sama aku. Masa iya setan?!"

"Lantas apalagi?" keluh Icha.

"Halusinasi mungkin."

Ketiga remaja itu terdiam. Ketiganya fokus dengan pandangan masing-masing.

"Terus gimana ini? Kalo gini terus gak mungkin bisa cepet ilang tuh bocah, malah kitanya yang cepet stres."

"Enta--"

"HEII, dari kemarin jawab entah, entah dan entah. Kau ini cowok macam apa ha?! Tak bisa memutuskan, payah," sentak Icha. Ia juga sempat menggebrak pelan meja kantin sehingga bagi anak yang mendengar suara itu akan menoleh padanya. Icha menghela napasnya. "Oke besok aku mau ke orang pintar. Terserah mau ikut atau enggak. Aku cuma pengen memastikan supaya tidak terlalu lama larut dalam ketidakpastian dan am—"

Prank.

Terdengar suara gemercing gelas dan piring yang saling bertumbukan. Ketiganya sempat menoleh ke sumber suara tadi—dimana ada seorang laki-laki sedang meminta maaf pada petugas kantin karena ia tadi menabraknya—kemudian fokus kembali ke pembicaraan mereka.

"Kamu yakin, Cha?"

"Daripada ga berbuat apa-apa kaya orang di sebelah aku ini." Icha menyenggol Dika dengan sikunya.

"Aku bingung,Cha. Beneran. Gila, dia bener-bener mirip aku waktu kecil."

"Nah, makanya kamu ikut aku ke paranormal."

"Musyrik, Cha," sanggah Zahra.

"Ini Cuma memastikan dia setan atau apa, Za. Bukan yang gimana-gimana."

Dika mendengus pelan. "Oke aku ikut."

"Kalo aku...." ada jeda sejenak untuk Zahra menelan ludah. "Aku—"

.

.

Dika membuka pintu gerbang lalu masuk ke pelataran rumahnya dengan langkah yang cukup pasti. Yah, mungkin dengan bertanya ke paranormal yang dibicarakan oleh Icha itu dia bisa tahu misteri apa yang sudah menyelubungi dirinya beberapa waktu belakangan ini. Ia duduk lalu perlahan melepas sepatu ven-nya yang kemudian diikuti kaos kaki.

Semilir angin mulai merambahi pelataran rumahnya. Tak ayal Dika merasakan semilir angin itu. Inikah pertanda tanda tanya besarnya akan segera terjawab? Semoga saja.

"Aku kira aku akan segera mengetahui siapa kamu, bocah." Dika menyelipkan beberapa surai ke sela daun telinganya.

"Kakak... sudah tahu aku siapa?" ucap bocah itu tiba-tiba yang membuat mata Dika sedikit membulat.


--To be continued--

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

setelah sekian lama akhirnya apdet juga. ini juga dipaksain padahal ane lagi ada UTS dengan Preasure UKK :"V

sip, ane butuh banget nih komennya so don't fotget to comment, ya.

see you

Jazakallah


Bintaro, 10 Desember 2015


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

natsu no HOTARU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang