Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja hadapanku dengan tidak sabar, mataku terus menatap pintu café dengan gelisah. Berharap orang yang kutunggu-tunggu datang walaupun kemungkinannya kecil mengingat café ini sebentar lagi akan tutup. Sepertinya dia akan membatalkan janjinya lagi. Ah tidak, aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak.
Aku kembali menekan nomor orang itu untuk ke 28 kalinya. Percuma, selalu mesin operator yang menjawab. Kusurukkan hp ku ke dalam tas dengan emosi, kemudian menopang dagu dengan satu tangan di meja sambil mendengus. Seorang pelayan café menatapku prihatin, dia tahu aku sudah menunggu orang itu sejak lama. Kulempar senyum kepada pelayan itu, seolah ingin mengatakan aku baik-baik saja. Pelayan itu membalas senyumanku ragu lalu segera pergi untuk membersihkan meja yang baru saja ditinggal pergi oleh seseorang. Pasti aku mengeluarkan senyum aneh tadi.
Tak lama kemudian, tepat satu menit sebelum jam sepuluh aku mendengar bunyi pesan masuk di hp ku. Dengan semangat aku meraih hpku dari dalam tas dan senyumku langsung terbit begitu mengetahui siapa pengirimnya.
Sayang, maaf ya aku terpaksa membatalkan janji kita kali ini. Ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan. Nanti aku telepon, ok?
xoxo
Senyumku langsung lenyap, aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk mencerna pesan Myungsoo. Dia adalah orang yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Kekasihku setahun belakangan itu benar-benar kelewatan kali ini. Setelah 2 jam menunggu di café ini sendirian dia tiba-tiba saja membatalkan kencan?What a nice guy. Aku langsung memencet tombol speed dial nomor 1, nomor Myungsoo. Tapi yang terdengar selanjutnya adalah suara mesin operator. Cih, setelah mengirimkan pesan langsung mematikan hp nya kembali. Apa-apaan dia.
Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi sambil menghela napas berat. Sudah berkali-kali dia membatalkan acara kencan kami secara tiba-tiba. Alasannya sama: urusan mendadak. Well, pekerjaannya sebagai reporter berita pasti membuatnya sering mendapat urusan mendadak. Mungkin saja ia tiba-tiba disuruh meliput rekonstruksi sebuah tindakan kriminal, rumah yang terbakar, kecelakaan, dan peristiwa-peristiwa mendadak lainnya. Aku mengerti itu.
Tapi bisakah urusan mendadaknya itu tidak datang di saat kami sedang ingin kencan? Terkadang aku ingin sekali menghabiskan waktu berdua dengan Myungsoo seharian. Beberapa bulan ini kami sudah sangat jarang seperti itu. Jujur, aku sekarang sedikit iri ketika melihat pasangan yang begitu mesranya. Walaupun hanya sekedar berpegangan tangan, setidaknya mereka tahu bahwa mereka saling ada untuk satu sama lain.
" Tsk sial." Umpatku, merasa bodoh karena kembali membandingkan hubungan pasangan lain dengan Myungsoo. Aku seharusnya bersyukur punya pacar seperti Myungsoo. Dia memiliki fisik yang cukup tampan: Rambut berwarna hitam pekat yang dipotong dengan gaya maskulin, mata yang memiliki tatapan dingin sekaligus lembut, dan kulit putih selembut salju. Tidak hanya itu, Myungsoo juga sangat perhatian padaku. Bahkan untuk hal-hal kecil. Aku ingat beberapa bulan yang lalu saat aku memotong rambutku sedikit. Dia orang pertama yang menyadari perubahan pada rambutku. Padahal sebelumnya aku bertemu dengan beberapa orang termasuk kedua orang tuaku. Tidak ada satupun yang menyadarinya.
Lalu sedetik kemudian aku teringat, sejak saat itu, dia tidak pernah memberi perhatian lagi padaku. Kalaupun iya itu hanya setengah hati.
Aku memegang kepalaku yang mendadak terasa berat. Sebaiknya aku pulang saja. Sepertinya suasana disini membuatku terlalu banyak memikirkan hal aneh. Setelah membayar kopi hangatku -yang sudah menjadi kopi dingin karena terlalu lama menunggu- kepada pelayan, aku segera keluar dari café.
Udara hangat langsung menyambutku ketika aku keluar. Ah, ini jauh lebih baik. Café yang kukunjungi tadi memakai pendingin ruangan yang cukup banyak, aku hampir mengigil tadi kalau aku tidak meminum kopi hangatku. Teleponku kembali berbunyi, ah itu mungkin Myungsoo! Dengan semangat aku melihar Caller IDnya. Ck, tak seharusnya aku berharap tadi.
" Ada apa Youngjae?" Aku berbicara dengan malas sambil berjalan menuju halte bis yang tak jauh dari sini. Moodku sedang tidak baik hari ini. Kuharap ini adalah hal yang penting.
" Cepat datang ke sini. Aku sedang berada di kafe tempatku bekerja. Kau tahu kan?" Suara sahabatku sejak SMP itu terdengar, sepertinya ia sedang menahan emosi.
" Aku tahu. Memangnya ada apa?" Aku menautkan kedua alis. Tidak biasanya ia memintaku datang ke tempat kerjanya.
" Pokoknya, datang saja ke sini. Cepat, sebelum bagian terbaiknya berakhir. " Youngjae berkata dengan nada sinis lalu segera menutup telepon. Penasaran, aku setengah berlari menyebrangi jalan menuju café tempat Youngjae bekerja.
Aku sampai di café Youngjae 2 menit kemudian sambil terengah-engah karena habis berlari. Youngjae yang sedang menjaga kasir menyadari kedatanganku dan memberi kode mata untuk melihat ke arah kanan belakangnya.
Aku menuruti arahannya dengan bingung. Mataku melebar saat menemukan Myungsoo sedang tampak berciuman dengan seorang wanita di pojok café. Posisinya membelakangiku sehingga ia tak tahu kehadiranku. Cih, rupanya dia sedang berduaan dengan wanita itu sementara aku menunggunya seperti orang bodoh dan bersikap naif.
Dengan menahan emosi, aku melangkahkan kakiku menuju meja mereka. Si wanita melihat kehadiranku dan langsung melepaskan ciumannya.
" Ada apa?" Myungsoo bertanya heran kepada wanita bermake up tebal yang tampak terganggu dengan keberadaanku. Myungsoo memutar kepalanya dan tersentak begitu melihatku yang sedang tersenyum sinis sambil melipat tangan di dada.
" Kenapa? Lanjutkan saja urusan mendadakmu ini. Aku akan menontonnya sampai selesai." Aku mendengus melihat tangan Myungsoo yang masih menggenggam tangan wanita itu.
Myungsoo melihat arah pandangku dan langsung melepaskan genggamannya. Ia bangkit berdiri dan menghadapku. " Ini hanya salah-"
" Hubungan kita berakhir. Pria brengsek!" Aku langsung berkata dengan pandangan bengis. Percuma mendengar omong kosong pria ini.
" Tidak-"
" Kau bisa memiliki dia seutuhnya. Chukkae." Tanpa mengabaikan omongan Myungsoo, aku memberi selamat dengan nada sarkastik kepada wanita berambut blonde itu dan membalikkan badan.
" Suzya. " Myungsoo memanggil namaku. Pria ini...berani-beraninya dia bersikap sok akrab denganku setelah mengkhianatiku. Kuhenti langkahku dan berkata lambat-lambat tanpa perlu repot-repot membalikkan badanku.
" Jangan panggil lagi namaku. Aku benci itu. " Setelah mengatakannya, aku kembali melangkah. Kali ini dengan langkah yang lebih cepat agar tidak perlu mendengar panggilan Myungsoo lebih banyak.
Sayup-sayup aku mendengar suara tamparan disusul dengan suara makian. Masa bodoh, aku tidak mau mempedulikannya lagi. Untung saja tempat ini sedang sepi, kalau tidak aku bisa jadi tontonan gratis.
Pintu kaca café sampai berderit ketika kudorong. Biarkan saja, toh tidak sampai rusak ini. Oke, hampir rusak tapi nyatanya tidak kenapa-kenapa. Aku melangkah dengan bar bar, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang memandangku seolah aku kurang waras. Pohon-pohon yang berjajar rapi di tepi jalan tidak berhasil menyejukkan hatiku. Langkahku makin melambat begitu mengetahui rongga dadaku terasa sangat sesak. Baru pertama kali aku dikhianati seperti ini. Rasanya menyakitkan.
Aku terduduk lemas di halte bus terdekat dan menatap kosong jalanan di hadapanku. Kucoba meredam sesak di dadaku dengan menarik napas dalam-dalam kemudian melepasnya perlahan. Tapi percuma, dadaku malah makin terasa sesak. Bahkan sekarang kepalaku terasa sangat berat.
" Ini." Tahu-tahu segelas green tea latte tepat berada di depanku. Aku menengok ke sampingku. Youngjae sedang tersenyum tipis.
" Minuman hangat akan membuatmu lebih rileks. " Ujarnya. Aku menerima minuman yang diberikan Youngjae dan menyeruputnya sedikit.
" Kau bukannya sedang bekerja? " Aku baru menyadari Youngjae sekarang tidak memakai seragam kerjanya. Seingatku tadi, dia masih melayani pesanan dari sekelompok remaja yang baru datang bersamaan dengan kepergianku.
" Menurutmu?" Yougjae balik bertanya, membiarkanku mengambil hipotesis sendiri. Aku mencibir. Dasar, selalu saja pelit bicara.
Youngjae menemaniku dalam diam. Kami memperhatikan jalanan yang masih ramai walaupun sudah hampir tengah malam.
" Terkadang, ada hal yang harus kita korbankan untuk mendapatkan kebahagiaan. Aku yakin kau pasti akan jauh lebih bahagia tanpa Myungsoo." Ia tiba-tiba berkata. Walaupun terkadang ia pelit berbicara, tetapi ia selalu mengeluarkan kata-kata bijak di saat yang tepat. Seperti yang barusan misalnya.
" Iya, kau benar. Aku hanya perlu menikmati hidupku saat ini." Aku tersenyum tipis. Youngjae ikut tersenyum sambil mengelus pelan kepalaku. Aku kembali menyeruput minumanku. Kata-kata bijak Youngjae selalu membuatku tenang.
" Ayo kita pulang." Youngjae bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku membalas uluran tangannya.
Kim Myungsoo, adalah nama lengkap dari Myungsoo. Umurnya hanya terpaut dua tahun dariku, yaitu 19 tahun. Dia kakak kelasku di Hope High School. Kami berpacaran tepat saat aku berada di tahun pertama dan dia menginjak tahun ketiga. Saat dia lulus, kami jarang bertemu. Kami hanya saling berkomunikasi lewat social media. Sekalinya kami bisa berkencan, ia selalu malas-malasan. Terkadang membatalkan janjinya tanpa sebab. Kupikir dia terlalu lelah karena jadwal kuliah yang padat dan pekerjaan part-timenya sebagai reporter di stasiun tv ternama. Sekarang aku tahu penyebabnya. Aku tidak akan pernah mempercayai orang itu lagi. Tidak akan.
" Nah, di sini tak ada orang. Menangislah, tapi kau harus berjanji ini adalah tangisan terakhirmu untuk si brengsek itu." Youngjae kembali bicara, membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat sekitar, rupanya Youngjae mengajakku ke sebuah taman kecil di dekat rumahku. Di sini memang tak ada orang, yang ada hanyalah suara berisik yang ditimbulkan oleh aliran air di air mancur yang diletakkan di sudut taman.
Aku tertawa hambar. " Aku tidak akan menangis kok." Youngjae menatapku serius. Membuat tawaku terhenti.
" Aku tahu kau hanya pura-pura kuat sejak tadi karena kau tidak mau mempermalukan dirimu di depan orang-orang. Sekarang hanya ada kita berdua disini. Jadi menangislah, luapkan kesedihanmu. " Youngjae memegang kedua lenganku. Ia sangat mengenalku dengan baik. Ia tahu sejak tadi aku tidak mau menangis karena aku tidak mau menjatuhkan harga diriku.
Aku terduduk di bangku taman dan menangis sejadi-jadinya. Youngjae melepas pegangannya dari lenganku dan ikut duduk sambil mendesah kesal. Mungkin ia kesal karena Myungsoo telah membuatku menjadi menyedihkan seperti ini.
Setelah beberapa saat, aku sudah lebih tenang. " Terima kasih sudah mau menemaniku." Aku tersenyum kepada Youngjae, ia membalas senyumanku sambil menyodorkan selembar tisu yang sudah terlipat tak karuan. Aku menangis sejak dari tadi dan ia baru menyodorkan tisu kepadaku?Selembar pula. Betapa manisnya.
" Daripada aku tidak memberikan sama sekali? Tisunya masih bersih kok." Youngjae berkata cuek, membuatku mendengus dan menerima tisu pemberiannya.
" Terima kasih banyak ya untuk hari ini. Kalau kau tidak meneleponku tadi, mungkin aku tidak akan pernah tahu kebusukan Myungsoo." Aku tersenyum tulus kepada Youngjae yang segera mengacak rambutku pelan.
" Tidak usah dipikirkan. Itulah gunanya sahabat." Kemudian ia menepuk bahuku pelan, untuk memberiku sedikit kekuatan. Ah, tidak, tidak sedikit tapi banyak kekuatan.
" Jangan bergerak. " Tiba-tiba Youngjae berkata dengan singkat dan tegas. Aku yang sedang menatap kosong lampu taman sambil menopang daguku dengan sebelah tangan segera menatapnya heran. Tapi ia malah membalikkan posisiku seperti semula.
" Kubilang jangan bergerak." Ujar Youngjae dengan nada rendah. Tidak biasanya dia menggunakan suara rendah seperti ini. Itu membuatku sedikit merinding.
Youngjae bangkit lalu melewatiku dan berdiri di sampingku. Ia membungkuk sedikit kemudian memegang rambutku dan mengaturnya ke samping. Aku sudah lelah untuk berdebat dengannya. Biarkan saja dia mau melakukan apa.
" Apa yang kau lakukan?" Aku langsung menegakkan badan ketika mendengar suara pengait dibuka. Tahu-tahu kalung yang kupakai sudah lepas dan berada di tangan Youngjae. Sebelum aku sempat berkata lagi, ia sudah membuang kalung itu ke tempat sampah yang ada di sebelahnya. Kalung itu tidak benar-benar masuk, hanya sebagian yang masuk ke tempat sampah sehingga membuat bandul dari batu Safir yang menggantung di tepi tempat sampah berpendar lembut tertimpa cahaya lampu taman.
Youngjae tidak menyadarinya. Ia kembali duduk disampingku yang masih memandangnya tak berkedip karena terkejut akan perbuatannya. Kemudian ia kembali merapikan rambutku. "Aku tahu tindakanku barusan keterlaluan. Tapi sebaiknya kau tidak menyimpan benda dari si brengsek itu. Aku tidak mau kau tersakiti lagi. " Youngjae berkata dengan tegas lalu membelai rambutku dengan sekali gerakan lembut. Tidak ada raut penyesalan dari wajahnya karena ia merasa tindakannya itu benar.
Aku masih tak sanggup untuk berbicara. Kalung itu. Kalung emas putih dengan bandul Safir berbentuk kepala kucing. Yang diberikan Myungsoo padaku saat hari Valentine, kini sudah berada di tempat sampah. Pilihanku hanya dua: mengambilnya atau membiarkannya.
" Aku tidak peduli kau marah sekarang. Ini demi kebaikanmu. Kau lihat sendiri betapa kejamnya dia mengkhianatimu. " Youngjae kembali berkata dengan nada yang sama. Aku menatap Youngjae sendu, teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan Myungsoo tadi.
Aku tertawa hambar, mengingat diriku yang naif. Mengira Myungsoo terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak punya waktu untukku. Nyatanya dia bermain mata di belakangku.
" Tidak, justru aku senang kau membuang kalung itu. Myungsoo sudah menyia-nyiakan kepercayaan yang kuberikan padanya. Kalung itu pantas berada di tempat sampah." Aku mencoba tersenyum. Tidak menyesali keputusan yang kubuat.
" Bagus. Aku akan membelikan yang jauh lebih bagus dari itu." Youngjae ikut tersenyum. Sebaliknya, senyumku langsung lenyap.
" Jangan! Jangan paksakan dirimu Youngjae. Lebih baik uangnya kau gunakan untuk keperluan yang lebih penting." Aku tahu jika Youngjae serius dengan ucapannya, dia akan melakukannya.
Youngjae mengetuk dahiku pelan sambil mendengus geli. " Aku hanya bercanda, tahu. Mana mungkin aku mau membeli kalung pengganti kalung dari si bodoh itu?"
Aku menghela napas lega. Beban Youngjae sudah terlalu berat. Youngjae harus membiayai sekolahnya sendiri dan mengurus kedua adiknya yang masih duduk di bangku SD. Orang tuanya meninggal saat sedang menjadi relawan di Afrika beberapa tahun yang lalu karena penyakit. Aku tidak mau menambah bebannya yang sudah berat itu hanya demi sebuah kalung bodoh yang tak ada artinya.
Pandanganku turun ke jam tangan yang dikenakan Youngjae dan melotot saat melihat angka yang ditunjukkan jarum pendeknya.
" Astaga sudah jam 2 pagi! Kita bisa terlambat kerja besok." Aku segera bangkit dan menarik Youngjae yang masih terduduk. Kami satu tempat kerja di sebuah minimarket.
" Sebaiknya kau pakai ini dulu." Youngjae ikut berdiri dan mengulurkan kaca mata hitamnya yang tadi diselipkan di saku celananya. Aku menurutinya, pasti aku terlihat buruk dengan mata bengkakku sekarang. Untung saja orang tuaku sedang pergi ke luar kota dan adikku sedang menginap di rumah Paman Song. Kalau tidak, aku pasti dimarahi orang tuaku karena pulang selarut ini.
Ponselku berbunyi, Myungsoo yang meneleponku. Aku langsung me-rejectnya lalu mencabut baterai ponselku. Aku muak sekali dengan orang ini. Setelah beberapa jam baru ia meneleponku? Tsk, dasar bodoh!
" Bagus Suzy." Youngjae tersenyum puas, dia memperhatikan kegiatanku rupanya. Aku tersenyum bangga mendengar perkataan Youngjae.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Crazy
FanfictionSemenjak putus dari pacarnya, Suzy merasa semua pria itu sama sama.Brengsek. Hingga suatu hari muncul lelaki baru dalam kehidupannya. Pria dengan perilaku anehnya yang ternyata tidak seaneh yang Suzy duga. "Aku sangat membencimu. Sampai-sampai aku t...