Rinai Dandelion's POV
Di malam hari, sosok laki-laki menjulang tinggi tengah melakukan kewajibannya. Kerutinannya. Kesenangannya. Untuk kata yang terakhir itu, kalian dapat mempercayainya ataupun tidak. Aku menduga hal itu karena setiap harinya lengkungan senyuman miliknya tak pernah terbang dari wajah tirusnya itu.
Diriku ini telah menjadi pelanggan setia Coffee Buttera Cafe. Alias tempat dimana sosok lelaki itu mencari nafkah. Ada segudang pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Namun, dalam waktu yang tak mendukung ini, sangat tak mungkin pertanyaan-pertanyaan itu kutumpahkan sekarang.
Saat ini, aku masih berdiri di luar cafe itu. Karena cuaca di luar semakin dingin, kuputuskan untuk masuk ke cafe tersebut. Bunyi bel terdengar ketika pintu yang kugenggam terbuka. Dan, kedua mataku angsung terarah ke lelaki yang sejak tadi kita gosipkan di luar sana.
Seketika, kecangunggan luar biasa terjadi diantara kami. Aku mulai linglung. Kuperhatikan tangan laki-laki itu yang sedang menuangkan kopi (yang kuduga cappuccino espresso) ke sebuah cangkir kecil yang dipenuhi oleh ukiran kreatif berwarna biru laut. Kedua matanya masih melekat ke arah mataku. Akibatnya, dia tak menyadari kalau bagian tangannya yang menggenggam cangkir kecil itu terkena panasnya kopi. Diikuti juga oleh bunyi pecahnya sang cangkir tersebut. Aku melonjak kaget akan hal tersebut.
Kakiku berlari kecil ke arahnya. "Kau tidak apa-apa?" Tak kuduga kalimat tanya itu keluar dari mulutku. Kepalanya yang sejak tadi menunduk perlahan mendongak. Tangannya yang sedari tadi menahan rasa sakit mulai meraba lantai, mencari kepingan-kepingan cangkir yang sudah berserakan entah kemana. "Tolong menjauh dari sini! Saya takut bila nantinya kaki mulus Anda terluka. Maafkan atas kesalahan yang saya buat!" kata laki-laki itu panjang lebar. Aku bingung dibuatnya. Untuk apa dirinya memohon maaf pada diriku?
"Hey! Tak kena juga, kok! Justru, saya mendekat karena saya cemas dengan kamu,"ucapku, berjalan mendekatinya dan menunduk. Kubantu dirinya mengambil pecahan-pecahan cangkir. "Sebenarnya, cangkir yang berisi kopi ini tertuju ke Anda seorang. Saya melihat tubuh Anda berdiri di luar sana. Dan, mengigil. Jadi, kusiapkan secangkir kopi spesial," jelas si laki-laki itu saat ia kembali dari dapur milik Coffee Buttera Cafe. Kulihat dia mulai mebuat kopi lagi Kali ini porsi yang ia buat berjumlah 2. "Bolehkah, aku membantumu?" Aku menawarkan bantuan kepadanya. Tanpa mendengar jawabannya, tangan-tanganku langsung bergerak mengikuti apa yang dia lakukan. Tak peduli apa yang akan dia katakan natinya. Yang penting aku dapat membantunya. Dan, sedikit mempelajari cara kerja menjadi seorang barista. Kulihat kedua tangannya sangat mahir mencampurkan bahan-bahan yang telah tersedia. Cepat sekali gerakannya. Kira-kira, sudah berapa lamakah ia bekerja disini? Ah, sudahlah, pentingkah itu sekarang?
Kopi sudah jadi. Kuyakinkan pernyataan itu saat aku mencium aroma harum yang sangat mencolok dari 2 cangkir kopi yang berada di atas talenan sang barista di sampingku. Dia membawanya ke meja yang paling dekat dengan pintu juga dekat dengan kaca jendela. Aku tahu mengapa dia memilih meja itu. Ya, karena hanya dari meja situ lah kita dapat melihat jelas manusia berlalu lalang di depan toko ini. Bukan hanya itu, melainkan kita juga dapat pemandangan boneka salju yang sangat imut di luar sana.
Dia duduk di kursi yang menghadap ke arah pintu. Yah, padahal aku ingin sekali duduk di posisi itu. Walaupun, aku sudah sering sekali mengunjungi dan minum kopi disini, aku masih saja belum pernah berhasil tempat emas itu. Sekarang, giliran sepi saja aku masih saja terkalahkan dalam hal memperebutkan satu kursi. Alhasil, aku duduk di kursi yang berlawanan arahnya. Alias, menghadap ke arah wajah tirusnya.
"Jadi, Anda itu pelanggan toko kami, ya?" katanya, memulai pembicaraan lagi.
"Ya!"
"Ooo. Ya, sudah. Silahkan nikmati kopi Anda! Saya sengaja membuat 2 porsi karena saya tahu Anda kedinginan,"ucapnya kemudian berdiri.
"Hey! Aku tak kedinginan! Enak saja!" kataku marah, berbohong.
"Maaf! Namun, lain kali bila Anda mau berbohong sebaiknya, perhatikan terlebih dahulu kondisi tubuh Anda. Baru Anda dapat menjadi pembohong sejati," katanya, sambil menahan senyum.
Aku tergagap. Kulihat tubuh gagahnya membalikkan arahnya ke arah dimana dia harus berada. Hatiku berniat untuk menahannya untuk tetap kembali duduk bersamaku. Namun, sayang sekali aku harus membiarkannya pergi dahulu.
Malam Natal ini tak terlalu banyak manusia yang terlihat di toko ini. Hanya sekitar 4-5 orang yang termasuk diriku. Kutunggu mereka semua pergi dari kelontong ini.
Aku termenung. Sampai saat sang barista itu melewati diriku yang tak lain artinya ingin meninggalkanku dan menguncikanku dari luar. "Hey! Masih ada orang disini!" teriakku. "Oh, saya kira Anda mau menginap. Eh iya, jangan lupa membayar tagihan neraka ya!" katanya, kemudian kembali menutup pintunya. "Hey!" teriakku, kali ini lebih keras.
"Ssshhh! Ada tetangga yang sedang berhebrinasi disebelah! Tolong, jangan Anda gunakan pengeras suara Anda dulu." Laki-laki itu mengatakannya tanpa ekspresi secuil pun. Aku segera membangkitkan badan dan langsung ke luar dari tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Barista
FantasyAku melihatnya sepanjang hari disana. Bekerja bersama kopi hangat. Tiba-tiba saja dia sudah menjadi temanku seorang. Aku mulai mencari cerita mengesankanku dari pengalaman asliku. Tak lupa juga aku mencari penyemangat. Sepatah kalimat penyemangat ta...